29/08/11

importir


Mengenaskan. Namun, masih terbuka peluang bagi reformasi pendidikan baik melalui jalur formal maupun jalur antiformal. Jambi termasuk provinsi yang memiliki sedikit perguruan tinggi dan sangat sedikit sekolah berkualitas cukup baik, berbanding terbalik sekali dengan Yogyakarta atau Jakarta. Mutu pendidikan Jambi saya kira lebih rendah dari Aceh, Padang, atau Palembang.

Dari perguruan tinggi yang sedikit itu, kita pun belum mungkin mengharapkan munculnya sarjana-sarjana yang minimal memiliki reputasi keilmuan skala nasional, yang dapat cepat menyerap dan mengkritik wacana global arus utama paling mutakhir, yang intensif menggali bahan-bahan ilmiah dari tanah sendiri untuk disandingbandingkan dengan temuan para profesor dari universitas terkemuka.

Banyak sebab mengapa kondisi perguruan tinggi di Jambi sampai sedemikian bangkrut. Kawan saya yang tekun mengamati proses pendidikan Jambi menilai, hal itu terjadi karena para doktor dan profesor Jambi lebih mengejar karir birokratis ketimbang bersetia dalam riset dan pengembangan keilmuan. Saya kurang sependapat.

Saya duga, kurangnya etos belajar dan etos ilmiah adalah biang keladi kesuraman pendidikan Jambi. Sebagian sangat besar masyarakat Jambi yang pada dasarnya berwatak ekonomistis, memasuki dunia pendidikan hanya untuk mempelajari kemampuan teknis belaka.

Setelah mendapat kemampuan teknis memadai, meraka akan memperebutkan lapangan pekerjaan kerah biru yang disediakan oleh sektor industri , dagang, dan formal. Bekerja sebagai pegawai kantoran, meski hanya sebagai pesuruh, mendudukkan mereka pada posisi priyayi dalam hirarki sosial. Kekotaan masih merupakan idaman bahwah sadar bagi masyarakat bermental agraris.

Sementara itu, lapangan pekerjaan kerah putih sebagian besar ditempati oleh para pendatang dari luar, barangkali terutama dari Pulau Jawa, yang memang piawai dalam perkara filosofi dan konsepsi. Orang Jambi jadi kuli di tanah sendiri.

Ini tentu akan berdampak negatif, berpotensi menimbulkan bencana struktural. SDM impor, misalnya Rektor IAIN STS yang baru, Dede Rosyada, tidak benar-benar paham apa dan bagaimana Jambi. Cetak biru pembangunan yang dirancang oleh orang seperti ini dalam jangka panjang akan membuat anak muda Jambi tercerabut dari akar sosial-budayanya. Orientasi pembangunan tersebut sangat mungkin tidak membumi, dan mengeliminir warna lokal yang seharusnya dijadikan fondasi bagi pembangunan, sekali lagi, “dijadikan fondasi”, bukan slogan atau iklan semata.

Mayoritas anak muda Jambi sekarang sudah mulai lupa diri. Mereka “meniru” apa yang menurut pasar disebut baik dan hebat, tidak mengikuti apa yang menurut ukuran akal dan moral disebut benar dan baik. Jambi tengah butuh para pelawan arus.

Saya sedih sekaligus tersenyum kecut ketika mengetahui Amin Abdullah, teolog dan epistemolog UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berkunjung ke IAIN STS untuk mempresentasikan paradigma pengembangan keilmuan Islamnya yang ia namai integrasi-interkoneksi. Sedih bukan karena rangka epistemologi paradigma tersebut rapuh dan karena latar belakang perumusannya penuh kepentingan, tetapi karena dalam peristiwa tersebut terselip semacam keotoriteran ilmiah.

Saya mengamati ada usaha sengaja untuk menginternalisasi integrasi-interkoneksi ke dalam tubuh IAIN STS. Padahal, setting geobudaya di mana integrasi-interkoneksi lahir jauh berbeda dengan setting geobudaya Jambi. Demi mendukung internalisasi ini, dan demi menyeragamkan model perguruan tinggi Islam se-Indonesia, Dede Rosyada dikirim, dengan cara yang korup, dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke IAIN STS Jambi. Barangkali Dede Rosyada diserahi tugas meng-UIN-kan IAIN STS Jambi. Peng-UIN-an IAIN sejatinya bertujuan positif, namun jangan lupa, juga berekses negatif berlimpah.  

Minimnya tradisi kritik masyarakat Jambi memang akan memudahkan proses penerimaan paradigma integrasi-interkoneksi, tetapi bila kelak masyarakat Jambi memahami seluk-beluk paradigma ini, maka insya allah akan meletus gesekan budaya, dan tidak menutup kemungkinan pula akan meledak konflik sosial. Toleransi, pluralisme, dan demokrasi Yogyakarta terbilang tinggi, sementara masyarakat Jambi sejujurnya masih belum senang hati menghayati kata-kata yang diserap dari Bahasa Inggris itu. Nalar orang Yogyakarta pada khusunya dan Jawa pada umumnya berbeda dengan nalar orang Jambi.

Agar IAIN STS menyatu dengan batin, dan memberi kontribusi lebih kepada pembangunan, masyarakat Jambi, kepada beberapa teman saya sempat mengutarakan: IAIN STS perlu menyusun paradigma keilmuan, atau sekurang-kurangnya visi keilmuan, yang indegenious, berprinsip dari, oleh, dan untuk Jambi; tetapi tetap membuka diri kepada dan terhadap unsur-unsur luar. Demikian pula UNJA.

Jambi, 28 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam