29/08/11

anarkis


Tolstoy melangkah lebih jauh dan lebih radikal daripada Jefferson. Persekongkolan antara gereja dan negara, pikir Jefferson, menimbulkan anekaragam permasalahan struktural. Warga takut memberontak terhadap negara untuk menuntut keadilan karena gereja, sebagai institusionalisasi tuhan, menyokong negara. Pada dasarnya, orang Perancis dan Amerika agamis. Agar warga negara menikmati keadilan, geraja dan negara mesti dipisahkan. Dengan demikian, tuhan tidak lagi melegitimasi praktik korupsi kekuasaan yang diperbuat para aparat negara.

Lahirlah negara Amerika yang sekuler dan meterialistis. Mekanisme demokrasi mendudukkan rakyat sebagai satu-satunya legitimator dan pemberi mandat kekuasaan yang sah menurut hukum. Kekuasaan sejati tidak berada di tangan tuhan atau presiden, tapi di tangan rakyat. Presiden harus pertama-tama bertanggungjawab terhadap rakyat, kemudian, jika mau, bertanggung jawab terhadap tuhan. Sejarah mengajarkan, untuk mendirikan pemerintahan yang baik dan bersih, kesadaran pribadi dan kesadaran relijius saja tidak cukup, sebab, sebagaimana pandangan Machiavelli, manusia cenderung lupa dan pongah. Presiden harus diawasi dari segala sudut, dari atas oleh tuhan, dari bawah oleh rakyat, dari samping kiri dan kanan oleh lembaga kenegaraan yang selevel dan lain-lain lembaga demokratis.

Model Amerika sebagai negara sekuler diadopsi oleh negara-negara lain di dunia. Sekarang kita saksikan, model ini ternyata juga gagal memberi keadilan. Negara sekuler sudah sama buruknya dengan negara gereja, atau bahkan lebih buruk. Warganegara yang mengalami kegersangan jiwa karena ketidakadilan sosial tidak menemukan ruang pengamanan batin alternatif yang sebelumnya disediakan oleh agama.

Sebagai antitesis dari kesewenang-wenangan negara, muncul para anarkis. Mereka menolak eksistensi negara dalam segala lapangan kehidupan. Sejak sebelum abad XX atau barangkali beberapa saat saja setelah negara sekuler pertama berdiri, para anarkis sudah muncul. Mereka memilih liar dan merdeka dari formalitas politik apa pun. Di Amerika kita kenal Thoreau. Di Perancis kita kenal Proudhon.

Proudhon adalah salah satu rujukan Karl Marx dalam menyusun teori pemberontakan atau teori revolusi yang ia sebut sosialisme ilmiah. Sebuah judul tulisan Proudhon, Le Guerre et la Paix, dipinjam oleh Tolstoy untuk menjuduli fiksitamanya, War and Peace. Selain antigereja sebagaimana Jefferson, Tolstoy ialah seorang antinegara yang tidak antikristus. Dalam sepucuk surat yang ia kirim kepada kawannya, Vasili Botkin, Tolstoy menulis: “The truth is that the State is a conspiracy designed not only to exploit, but above all to corrupt its citizens ... Henceforth, I shall never serve any government anywhere”.

Pandangan Tolstoy terhadap negara tampaknya hampir cukup senada—meski tak sama persis—dengan “Baju Baru”, satu puisi dari Joko Pinurbo. Saya heran, belakangan ini hidup kita seperti tanpa agama tanpa ulama, tanpa negara tanpa presiden, tapi anehnya, kita tak merasa merdeka. Kenapa ya?

Baju Baru

Oleh: Joko Pinurbo

Hari ini bapak gajian.
Gaji bapak naik sedikit,
harga-harga naik banyak.
Bapak belikan aku baju,
hadiah naik kelas.
Bajuku bagus, bagus bajuku,
bergambar presiden naik becak,
tukang becaknya mirip bapak.
Presidennya tertawa,
bang becaknya pura-pura tertawa.
Presidennya berteriak “Merdeka!”,
tukang becaknya berteriak “Meldeka!”
Seminggu dipakai terus,
bajuku dicuci ibu.
Ibu bingung, habis dicuci
bajuku rusak gambarnya.
Becaknya masih,
tukang becaknya masih,
tapi presidennya entah ke mana.

(2011)

Jambi, 29 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam