25/08/11

suisida dan sebagainya


Bunuh diri. Mengapa bunuh diri? Orang memutuskan bunuh diri karena berbagai sebab berbagai niat, dengan beragam cara, dalam berupa bentuk, menghasilkan beraneka akibat.

Saya mungkin bunuh diri karena putus asa. Saya tak tahan menghadapi cobaan hidup yang sangat sulit. Saya menyerah. Saya takut hidup, sebenarnya juga takut mati, tapi karena tidak menemukan cara lain untuk segera mengakhiri penderitaan dan ingin segera—semoga saja—bahagia di alam selanjutnya, saya memutuskan bunuh diri. Saya bunuh diri pakai cara yang gampang saja: melompat dari tower setinggi 50 meter, membeset putus urat nadi, dan sebagainya.

Saya mati, mati dalam kepengecutan, mati secara terhina. Setelah itu, sebagian kecil tetangga dan sejawat yang masih hidup akan mengasihani saya, sementara sebagian besar lainnya akan menyumpahi dan mencibir saya. Manusia terlatih sekali dalam merendahkan sesama dan kurang ahli dalam meninggikan sesama.

Orang tua saya akan sedih, marah, menyesal, malu, barangkali lantas berbesar jiwa atau justru mengikuti jejak saya: berputus asa, kemudian turut serta bunuh diri juga. Bila ruang menyempit dan pandangan mengkerut sedemikian rupa, dan bila waktu mengabadikan hanya masa lalu, maka mata akan gelap, mulut akan terkunci, telinga akan tuli, mati sebelum mati.

Sebab dan niat bunuh diri istri Tuan A lain lagi. Malam, sekitar pukul satu dinihari, segerombolan orang mengendap-endap di sekitar rumah keluarga itu. Mereka masuk sembunyi-sembunyi, berusaha untuk tak mencipta bunyi apapun. Mereka masuk ke kamar tidur, membuka lemari, dan yes, di situ mereka menemukan kotak berisi perhiasan dan duit ratusan ribu dolar—seperti adegan di sinetron-sinetron.

Tetapi tiba-tiba, kelutak, kotak itu terjatuh ke lantai. Mendengar suara itu, seketika Tuan A dan istrinya bangun. Mereka kaget, berteriak. Para maling juga kaget. Mereka kontan menodongkan senjata api ke arah Tuan A dan istrinya.

Istri Tuan A, kebetulan sekali, malam itu tidur hampir telanjang, tubuhnya—yang kebetulan seksi sekali—hanya ditutupi dengan sehelai bra dan pakaian dalam warna merah darah. Hot banget. Seorang maling, kira-kira berumur 20-an, naik berahi. Saya yakin dia pemimpin gerombolan ini. Kepada dua kawannya, dia bilang: “Biar aman, habisi lelaki ini. Perempuan ini nanti akan kuhabisi juga, tapi sebelumnya, aku kucicipi dulu.”

Istri Tuan A jelas mendengar dialog itu. Di sampingnya, suaminya telah tewas. Sejenak dia memikirkan apa yang harus dilakukan. Tak mungkin memberontak dan menyerang maling yang gede-gede dan bersenjata itu. Tak boleh berdiam diri dan menyerahkan tubuhnya begitu saja. Dia mengambil gunting di atas meja rias kemudian dengan gunting itu dia menusuk perutnya sendiri, mati. Perempuan ini bunuh diri demi menjaga kehormatan. Niatnya bunuh diri mulia. Dia mati secara amat terhormat. Saya percaya, Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun tidak akan sedemikian dungu sehingga menghukumnya di neraka.

Beberapa bulan berikutnya, polisi menangkap gerombolan maling itu. Mereka cerita mendetail mengenai kejadian di rumah Tuan A. Para polisi kagum dan bersimpati kepada istri Tuan A yang setia terhadap suami dan konsisten menjaga kehormatan diri, demikian pula para tetangga dan sejawat. Istri Tuan A adalah hero sejati dalam tragedi tersebut. Namanya harum. Namanya dikenang sebagai simbol kesetiaan dan kehormatan.

Tidak semua bunuh diri bernilai buruk sebagaimana tidak semua ibadah puasa bernilai baik. Semua perilaku hendaknya juga dinilai dari sebab, niat, dan maksud tindakan. Sebaiknya kita meneliti proses (genesis), bukan menghakimi hasil; menyelami alam metafisik dan tidak berhenti di alam fisik semata.

Untuk meneliti proses, untuk menyelami metafisika sebuah tindakan atau perilaku, kita perlu berguru kepada para seniman. Seniman adalah pekerja kreatif yang selalu berpikir literar. Penjelajahan dan penggalian ide hanya mungkin dilakukan jika seseorang mahir berpikir literar, out of box, tak terkurung dalam satu kotak saja, tak tunduk pada hanya satu garis lurus. Hanya dengan jalan ini kemungkinan-kemungkinan kreatif tersingkap di hadapan kita. Karena berpikir literar, seniman selalu tidak setuju dengan ideologi-yang-tertutup.

Lawan dari berpikir literar adalah berpikir linear. Bagi para pemikir linear, di masa depan cuma terdapat dan tersisa satu kemungkinan, cuma ada satu sebab bagi satu akibat, jika begini maka harus begini dan tidak bisa begitu, apalagi begini-begitu. Mereka menampik kontradiksi internal dan ambivalensi. Dunia adalah tempat bagi kepastian-kepastian, bukan kebetulan-kebetulan. Padahal, diri manusia tidak pernah tidak terbelah. Konsekuensinya, para pemikir linear tidak mampu memahami kompleksitas perilaku manusia. Mereka puas dengan penilaian terhadap hasil tanpa mencermati proses kejadian. Kalau mereka mengarang cerita, cerita itu akan sangat membosankan dan kaku. Kalau mereka berceramah, ceramahnya akan kurang sedap didengar. Di mata mereka, bujur sangkar tidak elastis dan tidak bisa meleleh sedemikian rupa untuk menjelma sebagai segitiga atau jajaran genjang.

Bunuh diri adalah satu dari sekian banyak perilaku manusia. Barangkali terdapat ribuan atau bahkan puluhan ribu kata kerja dalam kamus. Dalam kehidupan sehari-harinya, manusia makan, minum, tidur, berak, kencing, berbicara, memukul, menangis, marah, mencintai, membenci.... tangisan, air mata, dapat merupakan pernyataan sedih, sesal, duka, gembira, cinta, takut, dan seterusnya.

Marah bisa dinyatakan dalam berbagai ekspresi: menyumpah serapah, memelototkan mata, berbicara dengan nada tinggi, atau berbicara dengan santun dan sopan, lembut, halus, puitis sekali tapi tajam menikam. Orang Jawa menyatakan marah dalam tiga tahap tiga cara, pertama ngalah, kedua ngalih, dan ketiga ngamuk. Ini, sebagai catatan, adalah mekanisme bawah sadar. Bila sahabat saya yang berdarah Jawa mendadak pergi dari forum setelah sebelumnya forum tersebut cekcok tiada akhir, bisa jadi dia sedang marah, bisa jadi juga perutnya lagi bocor sehingga tergesa-gesa pergi ke toilet tanpa sempat pamit kepada forum. Ada orang mengungkapkan cintanya dengan membenci, misalnya tokoh Severus dalam novel Harry Potter. Ada orang mengungkapkan bencinya dengan mencintai, misalnya dia bermaksud balas dendam terhadap kekasihnya. Hati orang, siapa yang tahu! Maka, mari buka mata hati dan berhati-hati.

Jambi, 22 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam