25/08/11

berita duka


Kaget. Cemas. Takut. Kapan saja di mana saja ia bisa datang. Ia bisa pergi kapan saja di mana saja. Suka-suka. Kita tahu bahwa kelahiran dan kematian adalah peristiwa sehari-hari yang rutin, seperti makan dan tidur. Kita juga tahu bahwa awal dan akhir adalah fakta yang kita terima kebenarannya secara alamiah. Justru karena diterima secara alamiah begitu saja, kita lupa mempersoalkannya: mengapa ada kelahiran dan ada kematian? Mengapa ada awal dan ada akhir? Mengapa ada kedatangan dan ada kepergian? Mengapa ada perkenalan dan ada perpisahan? Mengapa aku hidup untuk sekadar mati pada suatu saat nanti?

Kewajaran kehidupan—yang rupanya sangat misterius—mengalahkan kemampuan akal manusia, seberapun canggih manusia merekayasa akalnya. Dengan kecerdasan buatannya yang disusun sedemikian rupa dari dan berdasar angka-angka ketuhanan, manusia hingga saat ini belum sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan kanak-kanak di atas, juga belum mampu secara pasti dan presisi meramal kapan dan di mana aku mati, kapan dan di mana anakku lahir. Pengetahuan manusia belum berhasil menembus pintu langit, bahkan belum cukup mujarab untuk menjawab “siapa itu manusia?” secara komplet-lengkap. Manusia tampaknya “tidak tahu diri” (sendiri).

Asas suka-suka selain dapat menjelaskan sejarah bahasa, ternyata dapat pula menerangkan sejarah kehidupan yang misterius. Asas suka-suka meregulasikan jalannya kehidupan yang teratur dan indah (!) ini. Tetapi ada masalah, suka-suka adalah sifat, prediket. Prediket tidak pernah berdiri sendiri, ia berada di antara dan bergantung kepada, pertama-tama subjek, selanjutnya objek. Apa saja yang nyata-nyata hidup dan kemudian mati adalah objek dari prediket “suka-suka”. Siapa subjeknya?

Tentu bukan manusia. Kesuka-sukaan atau kebebasan mutlak ratusan juta manusia tidak mungkin meregulasikan kehidupan. Kebebasan manusia yang tak dibatasi hanya akan mengakibatkan kekacauan yang maha berantakan, sama sekali tak indah, kecuali bagi orang yang jiwanya telah mati.

Bahkan karya seni paling surealistis sekali pun masih mengandung unsur harmoni dan komposisi, meskipun si seniman secara sadar bermaksud menciptakan karya seni paling chaotic dalam rangka pemberontakan/pembongkaran. Jika tidak demikian, Freud tidak dapat menafsirkan mimpi, ujaran latah, igauan, racau orang gila, dan tulisan otomatis. Kondisi chaotic sebenarnya juga adalah sistem yang memiliki rumus. Maksud atau tujuan sudah merupakan bagian dari komposisi. Selama seorang manusia masih bernapas, jiwanya tak benar-benar mati, kendati ia menghuni rumah sakit jiwa atau berjalan telanjang sepanjang jalan. Artinya, manusia hidup tidak akan sampai kuat hati untuk mendefiniskan keindahan sebagai keadaan kacau maha berantakan yang disebabkan oleh kebebasan mutlak.

Subjek dari prediket “suka-suka” tentu pula bukan binatang yang tidak pandai berpuisi atau tumbuhan yang tidak tukang berhitung. Selain manusia, binatang, dan tumbuhan, siapa lagi subjek dari sifat suka-suka?

Akhirnya aku harus mengaku kalah sebelum mengawali langkah. Aku takluk. Aku takut. Aku runduk. Aku tunduk. Hamba menyerah. Hamba menyerahkan diri, hambar berserah diri. Hamba angkat tinggi-tinggi bendera putih di medan-perang (mihrab) ini.

Jambi, 25 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam