25/08/11

manusia


Manusia senantiasa menghendaki keadaan menjadi lebih baik. Ini tabiat nir-sadar yang netral dan natural. Tabiat ini berfungsi negatif maupun positif. Bagaimana seseorang mengfungsikan tabiat ini akan menentukan bagaimana riwayat hidupnya: berjalan menuju keadilan dan surga atau berjalan menuju kezaliman dan neraka.

Berada dalam gelap, manusia menciptakan terang dari api. Dalam gelap, manusia mencari api, merindukan cahaya. Maka gerakan mistis dan mesianistis tak mungkin ditiadakan. Seiring bangkrutnya ideologi lama, lahir sekte-sekte baru dengan imam dan jemaatnya sendiri-sendiri. Tiap imam atau nabi mendeklarasikan imannya masing-masing, membutuhkan pengikut dan pembenaran, merencanakan kemenangan dan kebangkitan, menghalalkan, bahkan mewajibkan, perang.

Hidup dalam kekacauan, manusia membuat tatanan yang teratur. Maka terbentuk tata budaya yang indah di mana manusia merasa nyaman dan kerasan tinggal di dalamnya. Keindahan sering harus dimanifestasikan dengan cara kekerasan. Kita ingat Lenin dan Mao. Mereka membumikan keindahan dengan cara yang sama sekali tidak indah: membunuh, menghancurkan.

Tenggelam dalam kesamaran, manusia menggapai-gapai kejelasan. Mau dijelaskannya apa yang telah dan apa yang akan terjadi. Ia pikir, segala misteri dapat ia pahami, segala teka-teki dapat ia jawab. Padahal ada banyak sekali persoalan, dari yang sepele sampai yang sublim, yang tidak mungkin dijawab manusia. Bahkan kadang manusia tak paham kenapa kemarin berbuat begitu dan hari ini bertindak begini. Sedikit sekali manusia yang menyerah di hadapan yang tak terbatas. Sedikit sekali manusia yang jujur mengakui keterbatasan dan kelemahan dirinya. Sedikit sekali manusia yang ikhlas beribadah.

Tersungkur dalam kehinaan, manusia ingin mulia. Terbenam dalam kemiskinan, manusia ingin kaya. Tak tahan dalam kebodohan, manusia ingin pandai. Dilanda kecemasan, manusia membuat teknologi peniscayaan berupa, misalnya, mitologi, astrologi, dan sains. Ditakdirkan fana, manusia ingin abadi.

Manusia selalu ingin merubah keadaan menjadi lebih baik, senantiasa ingin yang baik-baik, sembari menghindar, bahkan melarikan diri, dari keburukan. Jarang ada manusia yang mampu menerima baik-buruknya keadaan dan berpuas diri dengan apa yang ada. Ia cenderung melihat kebaikan dan kelebihannya saja, buta terhadap keburukan dan kekurangannya. Sementara itu, menjadi-baik adalah mengetahui buruk, menjadi-lebih adalah menerima kekurangan. Terhadap orang lain, yakni sesuatu di luar dirinya, manusia cenderung melihat keburukan dan kekurangannya saja. Manusia susah sekali memuji dan hormat kepada orang lain dengan tulus.

Mayoritas manusia kufur, minoritas manusia sukur. Sayangnya dan ironisnya, hanya manusia yang pintar bersukur yang dapat merubah keadaan menjadi lebih baik. Sebab, manusia semacam ini berwatak positif, objektif, kreatif, dan aktif. Manusia kufur hanya menghitamkan situasi yang sudah sedemikian hitam. Ia tak pernah mentas dari pesimisme, prasangka, dan kepasifan. Kufur adalah perbuatan si kafir. Oleh karena itu, agama Islam mengharamkan bunuh diri yang merupakan ekspresi pesimisme.

Ringkasnya, persis seperti kata Tuhan, siapa bersukur akan bahagia, siapa kufur akan menderita. Saya lebih mudah kufur daripada sukur, karena saya sombong: mengklaim diri lebih daripada yang-lain. Faktanya, saya punya amat banyak kekurangan, bukan? Saya tak mungkin meramal kapan, di mana, dan dalam keadaan bagaimana saya akan mati. Manusia diberi dua pilihan: sombong atau rendah hati. Pilih mana? Saya memilih puisi.

Puisi, konon, mengembara mendaki dari lembah kematian menuju puncak kehidupan. Sedangkan manusia, biasanya, melarikan diri dari puncak kehidupan untuk terjun ke lembah kematian.

Jambi, 19 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam