05/01/12

pendidikan 16


Sekilas Pendidikan di Finlandia

Oleh: Munif Chatib*

Tidak ada salahnya kita mengintip sejenak model pendidikan di Finlandia. Saya mencoba merangkum informasi yang diperoleh dari hasil video conference dengan Dewan Guru di Finlandia pada Januari hingga Mei 2008.

Di Finlandia, anggara pendidikan mendapat prioritas utama, meskipun bukan yang tertinggi di antara negara-negara Eropa lainnya.  Pada 2003, anggaran pendidikan Finlandia mencapai € 5,9 miliar (€ 1.100 per kapita). Leo Pahkin, Konselor Pendidikan dari Badan Pendidikan Nasional Finlandia, terus memacu mutu pendidikan di Finlandia yang dia pandang sebagai aset kemajuan bangsa. “Kami menanam investasi yang besar di bidang pendidikan dan pelatihan agar bisa mencetak tenaga ahli dan terampil yang kelak menghasilkan inovasi,” ujarnya.

Kegiatan sekolah di Finlandia rata-rata hanya 30 jam per minggu, berarti hanya 6 jam per hari. Pelajar akan masuk sekolah pukul 08.00 dan pulang pukul 13.00. Artinya, di sana berlaku sekolah non-asrama, bukanlah full-day school. Ternyata, jumlah waktu untuk bertemu keluarga di rumah menjadi prioritas yang paling penting. Di Finlandia, interaksi keluarga dianggap sebagai proses belajar penting yang tidak akan dijumpai di sekolah. Bayangkan!

Tidaklah mudah menjadi guru di Finlandia. Untuk dapat kuliah di jurusan pendidikan saja, seseorang harus bersaing sangat ketat. Fakultas Pendidikan dikatakan sebagai fakultas paling bergengsi dibandingkan dengan fakultas lainnya. Rata-rata dari 7 orang peminat, hanya 1 orang yang akan diterima di Fakultas Pendidikan. Tak heran, fakultas tersebut begitu diminati karena gaji guru di Finlandia rata-rata mencapai $ 2.311 per bulan. Negara dan rakyat Finlandia menempatkan guru sebagai profesi terhormat dan mereka yang menyandang profesi itu pun merasa mendapat sebuah prestise dan kebanggaan tersendiri. (Sampai di sini, saya ingat sebuah guyonan klasik di negara kita, “Jangan cari menantu seorang guru untuk anak perempuan kita, biasanya hidupnya akan susah! Gajinya kecil dan perlu waktu sangat lama untuk sukses, bahkan profesi guru itu dianggap tidak punya jenjang karir. Kasihan nanti anak perempuan kita.” Pasti guyonan seperti itu tidak berlaku di Finlandia.)

Guru-guru di Finlandia dibebaskan menyusun kurikulum dan silabus sesuai dengan visi dan misi sekolah. Dengan kreatif, mereka merancang buku teks yang aplikatif. Hampir semua guru menjadi penulis, minimal penulis buku pelajaran yang mereka gunakan di kelas. Mereka juga menggunakan strategi belajar-mengajar yang beragam dengan memperhatikan multiple intelligences semua siswa. Guru juga menentukan model evaluasi dan penilaian setiap aktivitas belajar-mengajar. Dan akhirnya, gurulah yang menjadi penilai terbaik para siswanya. Dampak dari otonomi guru tersebut menjadikan guru-guru Finlandia sangat bertanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan para siswanya. Bahkan, moto guru di Finlandia, “Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa, itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya.”

Kewibawaan guru demikian tinggi di mata para siswanya. Mereka sangat menghindari memberi kritik terhadap pekerjaan siswa, tetapi mereka mengajak para siswa untuk membandingkan dengan nilai sebelumnya yang pernah diraih (konsep ipsative). Para guru menghindari memvonis siswa dengan mengatakan “Kamu salah!” karena mereka menganggap sebagai hal biasa jika siswa melakukan kesalahan, termasuk dalam mengerjakan soal-soal.

Proses belajar-mengajar berjalan dua arah. Suasana sekolah boleh dibilang jadi lebih cair, fleksibel, dan menyenangkan. Dan, efektif. Siswa di Finlandia juga diarahkan mampu mengevaluasi secara mandiri hasil belajar masing-masing. Hal itu diterapkan sejak dini/pra-TK. Mereka didorong bekerja secara individu, tak peduli apa pun hasilnya. “Ini akan membantu siswa untuk belajar bertanggung jawab atas pekerjaan mereka sendiri,” kata Sundstrom, seorang kepala sekolah dasar di Poikkilaakso, Finlandia.

Sampsa Vaurio, seorang guru di Torpparinmaki Comprehensive School, Finlandia, menjelaskan bahwa sistem pendidikan di negaranya dijalankan sangat demokratis. Penekanan belajar fokus pada proses, bukan pada hasil belajar. Remedial tidak dianggap sebagai kegagalan, tapi untuk perbaikan; sedangkan pekerjaan rumah (PR) dan ujian tak harus dikerjakan dengan sempurna—yang penting murid menunjukkan adanya usaha. Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental siswa. Tidak ada sistem peringkat (ranking) sehingga siswa merasa percaya diri dan nyaman terhadap dirinya. Sistem peringkat dipandang hanya membuat guru terfokus pada murid-murid terbaik saja, bukan kepada seluruh murid.

Kesimpulannya, Finlandia telah sukses menggabungkan kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi, dan komitmen dengan keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi.

NB: tulisan ini dipetik dari buku terbaru Munif Chatib, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara (Kaifa: 2011), hal. 26-27.

*Konsultan pendidikan. Pakar-praktisi Kecerdasan Majemuk dan Quantum learning ini telah menulis dua buku pedagogis yang wajib dimamah dan dihayati oleh para guru dan calon guru, Sekolahnya Manusia (Kaifa, 2009) dan Gurunya Manusia (Kaifa, 2010). Dia ingin menulis buku ketiganya, Sekolahnya Orangtua. Emailnya: munif.chatib@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam