04/03/11

para dara-dara rapuh, puluhan tahun lalu


dari pedagang timbangan, seharga darah, dibeli kerudung suwung ini di kota mata, pukul satu, hari sabtu. ah malang: silet yang kebelet sayat menjerat merak yang sedang mekar. anak-anak daun tersapu puting beliung, leleh ke tanah yang basah nanah sambil memanggul malu dan masygul yang berat, rusak dan berkarat hingga sekarat.

penaku mengaku penat dan litak mencatat jangat-jangat cacat dan tiang-tiang miring. namun kalau pohon melulu beton, atau perdu belum mau merdu, arus situ harus putus supaya rumah-rumah yang pernah ramah akan kembali didiami para dara-dara. semoga.


jogja, 22 Januari 2011


***


Puisi ini adalah resensi atas “Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer” (KPG, 2001). Pramoedya Ananta Toer menulis buku yang berformat surat ini pada 1979 ketika ia menjadi eksil di Pulau Buru. Buku ini adalah catatan, barangkali catatan pertama, tentang sekitar 200 ribu perawan Jawa yang diseksploitasi oleh para serdadu Jepang saat Perang Pasifik. Setelah menyerah tanpa syarat pada sekutu, Jepang menelantarkan mereka begitu saja. Republik Indonesia yang sibuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diperoleh, juga menghiraukan mereka. Para perawan itu lalu hidup tersia-siakan dengan menanggung beban masa lalu yang gelap dan berat. Para dara-dara rapuh, puluhan tahun lalu...

Bila pun kini masih menghirup napas, entah bagaimana nasib mereka. Yang jelas, Jepang enggan menuturkan dokumen masa lalunya yang buruk bin busuk ini pada publik dunia. Jepang juga belum digelandang ke mahkamah internasional untuk mempertanggungjawabkannya.

lebih banyak lagi dan akan lebih banyak lagi para perawan Indonesia yang sedang dan bakal mengalami nasib pahit seperti para perawan remaja Jawa itu. Traffickking yang tak pernah diusut serius oleh pemerintah, sehingga seolah-olah menjadi praktek legal dan halal, tiap hari menambah jumlah perawan kita yang terpaksa kehilangan kesucian dan hari esok yang cerlang. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak. Ratna Sarumpaet, melalui Jamila dan Sang Presiden, sebuah film yang mengkritik habis institusi hukum yang mandul, menyinggung-nyinggung soal traffickking ini.

Para dara-dara kita memang terlalu rapuh, bukan hanya pada puluhan tahun lalu, bahkan sampai saat ini ketika kita suka berkicau tentang HAM, keadilan dan demokrasi. Apa kita terlalu sibuk berkicau saja sehingga sempat absen menyimak cerita mereka? Saya tidak tahu. Anda lebih tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam