04/03/11

Opera van Gagap

   SEJAK pertama menonton Opera Van Java (OVJ), saya sudah tertarik dengan acara itu. Bagi saya OVJ semacam teater postmodern. Ia tak menampik pasar. Ia merayakan artifisialitas, banalitas, dan brutalitas. Ia tak hendak tertib dan rapi seperti acara wayang semalam suntuk yang biasa dihelat di Gedung Sasana Budaya Yogya, atau seperti sinema hollywood dan sinetron keluarga yang menggeruduk malam lengang kita melalui televisi. OVJ tidak sok suci, atau sok mau mencerahkan masyarakat dengan teknologi teater katarsis yang canggih dan berarahtujuan. OVJ jujur: ingin mencari uang dan menghibur. Itu saja.

   Pada OVJ batas antara dalang, pemusik, pelawak, dan penonton amblas. Parto, si dalang yang kadang tak tahu dan tak mau tahu akan arah skenario, seringkali masuk ke panggung, berbincang atau menegur para aktornya, bahkan ia juga memainkan peran dalam narasi-narasi asing yang secara spontan disisipkan. Parto bisa tiba-tiba terlibat cekcok dengan penabuh gamelan atau penggebuk drum, atau guyon dengan dua sinden yang selalu duduk di kanan dan kirinya. Parto pun, pada beberapa episode, duduk di bangku penonton, berjawilan dan bergurau dengan mereka.

   Para pelawak OVJ tak hanya memainkan semata-mata satu narasi tunggal. Sule, dengan kecerdasan dan kreativitasnya, sekonyong-konyong mengganti narasi. Bila episode kali ini bertema Legenda Tangkuban Perahu, dan Sule berperan sebagai Sangkuriang, ia secara sengaja, dengan memanfaatkan properti yang ada, meniru pokal Roma Irama yang asyik menggitar dan mendendang lagu Bujangan. Andre, Nining, dan Aziz, menyambut inisiatif Sule. Maka narasi pun berubah, berpindah, bergerak, dari Legenda Tangkuban Perahu menjadi Balada Roma Irama. Dan kita senang dengan ulah mereka. Dan kita suka dengan tayangan OVJ yang centang-perenang itu.

   Tapi bagi saya, yang paling impresif dan otentik dari OVJ adalah Aziz. Bukan saja karena ia berakting gagap—kegagapan adalah ruh bagi alam postmodernisme, artinya, sukma dari zaman ini—namun juga karena apa yang tak pernah ditampilkan Aziz di atas panggung OVJ: pencarian jati diri, penjejakan makna hidup. Mungkin itu sebabnya ia senang berakting gagap, dan hobi melawak.

   Manusia, dalam hidupnya, akan tersandung berbagai problematika yang menyebabkan perjalanan eksistensinya tak lagi lancar dan fasih. Jalan hidupnya akan gagap, terbata-bata, cedal. Sang pencari jati diri akan merenungi problematika hidup tersebut. Setumpuk problematika yang membikin ia gagap, dapat berujung pada sikap: pesimisme dan sedih yang berkepanjangan, seperti tokoh Mansur dalam salah satu novel Takdir Alisjahbana, Tak Putus Dirundung Malang; optimisme yang heroik, seperti tokoh utama Sampar, novel menumental karya Albert Camus; atau sikap rendah hati yang suka pada tawa, jenaka, lawak.

   Nampaknya, Aziz memilih sikap ketiga. Ia memilih lawak, kerendahan hati, dan menetap dalam kegagapan. Sebab barangkali Aziz tahu, sebagai manusia biasa, ia tidak mampu untuk tidak gagap (dalam menjalani hidup).

   Kerendahan hati bak sebuah kandil yang dapat menerangi rumah jiwa manusia. Kerendahan hati, oleh karena itu, adalah kondisi yang memungkinkan manusia untuk selalu belajar menekuni menyapa isi hati orang lain.

   Husserl memang telah menemukan fenomenologi. Tapi tanpa kerendahan hati, seseorang belum akan bisa mempraktekkan fenomenologi, dan menyelami derita sang korban—mereka yang terus-menerus dikebawahkan dan dipinggirkan. Untuk berempati terhadap sang korban, kita tak perlu capek-capek mempelajari fenomenologi. Yang kita perlukan adalah kerendahan hati. Dan agaknya Aziz Gagap dianugrahi mukjizat itu, sesuatu yang membawanya pada cita-cita membangun lembaga pendidikan alternatif, dan membimbingnya agar tidak terlena dalam popularitas dan keberlimpahan kekayaan.

   Aziz Gagap dan OVJ-nya, oleh para pendukung seni adilihung, atau para akedemikus sastra yang berwatak kepadri-padrian, dilecehkan dan dianggap brutal, suka kekerasan teatral, banal, dan artifisial belaka. Menurut mereka OVJ hanya percik dari kebudayaan massa. OVJ bukan teater modern yang bermaksud menyehatkan masyarakat yang mengidap multipatos.

   OVJ, lebih-lebih Aziz Gagap, membantah tuduhan mereka dengan hanya diam. Ternyata kepada kita OVJ mengajarkan kerendahan hati dan empati, dua sifat yang demikian sukar kita temukan di sanubari para politisi dan negarawan kita saat ini, dua perangai yang jarang muncul dari para pendukung seni adiluhung dan akademikus sastra.

Jogja, 4 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam