14/03/11

dua garuda



Siang sedang dahaga darah. Bunga-bunga padma padam harumnya. Tanah resah. Pohon-pohon kering gusar mendengar gagak berkoak-koak menyebar warta derita. Di tegalan gersang, bermain-main anak-anak ayam mungil. mereka berkejaran, tertawa, berciat-ciat. Mereka tak sadar, hati ibunya gundah melihat langit yang tambah gelap.

Seekor garuda bermata pisau, berparuh belati, bersayap pedang, bercakar keris, terbang merendah. Dikitarinya tegalan gersang. Diincarnya seekor anak ayam tak berdosa. Lalu secepat kilat ia sambar anak ayam itu. Secepat kilat pula ia terbang menjauh-meninggi mencengkeram anak ayam yang berteriak meminta tolong pada  ibunya.

Dari bumi yang diam, ibu ayam hanya dapat menatap pasrah dan kalah. Keras ia berkotek-kotek cemas. Kemudian tertunduk lemas. Sayang, ibu ayam tak pernah punya air mata... “Sekejam itukah kau garuda? Kau rebut anakku yang tak berdosa untuk kau santap di malam kegagahanmu,” gugatnya dalam hati.

Garuda, setelah menelan anak ayam, mendengar gugat itu. Ia tersenyum menyeringai. Tapi entah kenapa, tak berapa lama kemudian, tubuhnya gontai, dan airmatanya leleh. “Sebenarnya aku tak tega menyambar dan melahap anakmu, duh ibu ayam.  Namun aku bukan dewa burung yang tak kenal lapar. Aku juga lapar, teramat lapar. Sudah hukum alam bahwa ketika aku lapar aku harus mencari mangsa. Dan dari balik awan-awan kulihat anak-anakmu yang gemuk-gemuk. Air liurku jatuh. Dengan nafsu yang maha, aku terbang menukik ke tegalan, menyambar seekor anakmu, memakannya.... Oh, ibu ayam yang rahim, telah berdosakah aku memakan anakmu? Aku akan mati bila tidak melakukan perbuatan itu. Bukankah mencintai kehidupan dan membenci kematian adalah keutamaan juga?”

Garuda membela diri dari gugat ibu ayam. Lama ia terbenam dalam napasnya sendiri. Sampai terdengar satu suara bisu, datang jauh dari kedalaman sukma garuda. “Aku garuda. Aku pernah menolong balatentara kera Ramawijaya saat dililit naga-naga Indrajit. Dengan apakah aku, burung yang lemah ini, dapat menolong Rama saat itu? Tidak. Tidak cukup dengan cinta pada kehidupan dan benci pada kematian. Aku menolongnya dengan daya yang lahir dari kerinduan akan kesempurnaan. Betapa pedihnya merindu. Rindu adalah cerita derita dan telaga ludira. Dalam telaga itu, aku harus mematikan diriku sendiri. Aku harus rela mati, juga mati karena lapar. Bila lapar mematikanku, tak akan kusambar anak ayam itu, tak akan aku memakannya, dan ibu ayam akan bersukacinta bersama anak-anaknya. Kehidupan pun terbit. Kasih sayang pun kumandang.”

“Aku garuda, kau tahu, aku garuda.”

Jogja, 14 maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam