07/03/11

Masjid, Universitas, dan Sunan Kalijaga yang Absen

 


SAYA kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Baru beberapa bulan lalu, masjid universitas selesai dibangun. Masjid yang konon berasitektur postmodern ini diberi nama: Masjid Sunan Kalijaga. Masjid gede ini berbeton tebal dan berpagar tinggi. Tepat di luar pagar masjid, ada pos satpam, yang juga bertembok beton tebal.

  Orang yang baru pertama kali datang ke kampus saya, dan menoleh ke sosok masjid itu, barangkali akan mbatin begini: kok rasanya masjid itu angkuh betul, kering sekali, tertutup benar, serem banget.  Angkuh, kering, tertutup, serem. Apa predikat-predikat itu cocok disandang kata “masjid”, apalagi Masjid Sunan Kalijaga yang postmodern?

  Postmodern bagi sebagian orang adalah tengara bagi gaduh, kisruh, dan bising. Namun bagi sebagian yang lain, ia lambang kearifan, keterbukaan, dan kerendahan hati, juga: kehadiran, presensi. Lawannya adalah modern.

  Yang modern mencapai klimaks pada narasi revolusi dan perang dunia dan kamp kosentrasi dan heterofobi. Orang modern adalah subjek yang tak menghargai saat ini, dengan segala keriaan dan kedukaannya. Ia absen pada saat ini. Waktunya habis untuk mengubah sejarah  dan menciptakan masa depan surgawi dengan ilmu pengetahuan yang kemudian bermutasi jadi ideologi.

  Dalam alam modern kita pernah menjadi egois, angkuh, kering dari puisi, do’a, dan mantra. Ilmu pengetahuan yang berkembang menjadi ideologi pernah menjadikan kita tertutup dan serem, senang menyamaratakan, dan karena itu, tak suka pada perbedaan. Sindrom heterofobi tersebar subur. Sindrom ini merusak otak kita hingga file-multitude terhapus darinya. Manusia pun hobi berperang dan membunuh, cinta pada kekerasan dan kematian.

  Masjid Sunan Kalijaga angkuh, kering, tertutup, serem. Artinya, masjid ini masjid yang munafik: parasnya postmodern, tetapi batinnya modern; tangan kanan berjabat pada sang kawan, sedang tangan kiri memegang belati yang siap dihunjam ke perut sang kawan kapan pun perlu; mulutnya dengan lembut mengucap salam dan marhaban, bawah sadarnya menyimpan kehendak-untuk-menguasai, kadangkala juga kehendak-untuk-membunuh.

  Mungkin itu sebabnya universitas saya mencari obat dan terapi untuk menyembuhkan dirinya. Maka ia mengundang Gus Mus untuk berkelakar tentang Islam yang rahmatal lil’alamin, dan mengundang Zawawi Imron dan Cak Nun untuk memperdengarkan puisi dan nyanyi. Maka Masjid Sunan Kalijaga membuka kompetisi penulisan khutbah Jum’at empat bahasa dengan tema, kalau tidak keliru, kerja budaya Sunan Kalijaga, atau semacamnya.

  Setelah menjadi munafik (ambivalen) dan lupa pada Sunan Kalijaga, masjid itu ingin mengingat kembali siapa Sunan Kalijaga sebenarnya. Masjid itu ingin mengkritik-diri.

  Namun apa setelah ia mengkritik-diri, betonnya yang tebal-keras dan pagarnya yang tinggi-lancip itu akan serta merta runtuh begitu saja seperti runtuhnya Tembok Berlin? Tak ada sebuah jawaban pasti.

  Obat kadang berubah jadi racun, dan terapi bisa memperparah kegilaan dan stres. Apapun masih mungkin terjadi. Yang tak mungkin terjadi: Musa Asy’ari,  rektor saya, dengan suka rela, pasti, dan yakin, menyuruh para dosen dan mahasiswanya membongkar pagar tinggi yang mengitari Masjid Sunan Kalijaga, lalu membuka pintu masjid selama 24 jam nonstop, dan membuka gerbang kampus sehari semalam penuh.

  Yang modern, yang heterofobi, selalu takut pada orang asing atau orang luar. Ia perlu pengamanan yang solid dan ketat. Ia butuh security yang disiplin dan canggih. Ia butuh tembok beton yang tebal dan keras. Ia perlu pagar besi yang tinggi dan lancip. Ia menghendaki ketertutupan yang total, tanpa celah untuk keluar-masuk udara segar. 

  Sunan Kalijaga hidup pada transisi antara abad ke-15 dan ke-16. Saat itu belum ada koran, radio, televisi, atau fesbuk. Universitas modern belum berdiri. Mobil dinas belum diproduksi secara massal. Sunan Kalijaga bukan orang modern yang membangun masjid berbeton tembok tebal dan berpagar besi tinggi. Ia mendesain Masjid Demak yang hanya berpilar tatal kayu.

  Ia helatkan pentas Wayang Purwa saban bakda salat Jum’at di serambi depan masjid itu. Dan orang kampung, baik yang bisa baca tulis maupun yang buta huruf, berbondong-bondong datang ke masjid untuk menonton lakon semisal Jamus Kalimosodo atau Dewa Ruci yang ia dalangi. Ah, begitu akrab, begitu dekat, begitu hadir, begitu terbuka, begitu rendah hati, begitu puisi, begitu postmodern, begitu masjid.  

  Tetapi Masjid Sunan Kalijaga tidak begitu.

  Ada yang rindu kehadiran Sunan Kalijaga?

Yogya, 27 Februari 2011

1 komentar:

  1. wahhh
    saya suka ini bang bung ... :)

    semoga berkah kanjeng sunan juga mengalir di masjid itu ... amien

    BalasHapus

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam