28/07/11

hukum


Bahwa hukum di Indonesia sudah mandul, tak mungkin disangkal. Di negara yang telah berumur lebih dari 60 ini, bos narkoba bisa lolos dari jeratan hukum, semudah koruptor bebas dari berbagai tuduhan penyelewengan pajak dan anggaran. Tetapi orang kampung yang hanya mencuri semangka dan ayam, diganjar dipenjara selama setahun atau bahkan lebih. Kita pun kompak menggugat, dengan teriakan yang tersendat: “Mana keadilan Dewi Keadilan?”

Pertanyaan ini adalah pertanyaan permukaan. Ada pertanyaan lain yang lebih penting yang harus juga dijawab, “Mengapa Dewi Keadilan tak adil?”, “Mengapa di Indonesia hukum tak kunjung tegak?”.

Pertama, kualitas moral para penegak hukum rendah. Mafia hukum bergentayangan dari pusat hingga daerah, bahkan menyelusup hingga aparat desa.

Kedua, banyak warga negara, karena terbatasnya akses ekonomi dan akses pendidikan yang layak, belum mengenal substansi hukum. Masyarakat, juga masyarakat desa, tahu bahwa kita sedang mengalami krisis hukum yang begitu kronis.

Seperti para pengamat, mereka hanya mencela siapa yang penjahat dan memuji siapa yang pahlawan dalam satu kasus hukum berskala nasional tertentu. Mereka menyalahkan Nazaruddin. Mereka menyanjung Prita. Hanya sampai di situ. Mereka tak segera melakukan koreksi diri dan koreksi sosial sedemikian rupa sehingga hukum di lingkungan terdekat mereka juga bisa ditegakkan. Artinya, mereka hanya melihat bahwa penegakan hukum semata-mata merupakan tugas dan tanggungjawab para pejabat berwenang. Barangkali cara berpikir macam ini yang menyebabkan sering meletusnya perang antarkampung dan tumbuh suburnya korupsi di desa-desa.

Bagi sebagian besar masyarakat kita, hukum merupakan barang tak dikenal, makhluk asing yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Mereka lebih mengenal sangsi adat atau sangsi agama daripada hukum positif. Mereka, kendati cukup berpendidikan, cenderung bersandar pada tradisi ketimbang pada modernitas.

Ketiga, hukum di Indonesia berlapis-lapis. Kita menggunakan hukum positif yang dipinjam dari Romawi. Kita menggunakan hukum Islam yang dikodifikasi dan dibakukan di dunia Arab. Kita juga memakai hukum adat yang, untuk beberapa bagian, sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Sementara universitas negeri mencetak para advokat yang menguasai hukum positif, institut agama islam juga memproduksi qadhi-qadhi yang dipersiapkan sebagai penegak hukum islam. Di beberapa daerah, masyarakat arus bawah lebih memilih mempedomani hukum adat daripada hukum positif atau hukum islam.

Di lapangan, jika muncul kasus tertentu, tidak jarang ketiga jenis hukum ini berbenturan satu dengan lainnya. Contohnya, konflik di kalimantan antara suku dayak dan suku madura. Suku dayak merasa benar karena telah mendasarkan diri pada hukum adat warisan para leluhur. Suku madura pun tidak mau dipersalahkan karena berkeyakinan bahwa tindakan mereka didasarkan atas hukum islam. Konflik ini sendiri tidak mungkin diselesaikan dengan hukum positif, selain karena wibawa para penegak hukum sudah punah di mata rakyat, juga karena kosmologi hukum positif tidak cocok dengan kosmologi suku dayak dan suku madura.

Memang, telah ada upaya, bahkan sejak periode kolonial, untuk membuat hukum nasional yang merupakan penyatuan dari berbagai hukum adat yang ada di nusantara. Tetapi kemudian timbul penolakan-penolakan. Hukum nasional seperti itu akan tidak menghargai keunikan tiap-tiap komunitas adat, dan  secara jangka panjang, akan berbahaya bagi eksistensi adat itu sendiri. Mayoritas muslim juga akan dirugikan oleh hukum yang seolah-olah hendak meredupkan, bahkan membunuh, kejayaan Islam di nusantara. Akhirnya, sebagai solusi atas perdebatan ini, setelah kemerdekaan, kita memutuskan menganut hukum positif yang “sama sekali tak berakar” kecuali pada masyarakat kelas-menengah, sambil secara malu-malu dan setengah-setengah menerapkan hukum islam dan hukum adat—fenomena ini sejajar dengan ketumpangtindihan tata ekonomi dan tata pendidikan kita.

Bagaimana kosmologi hukum masyarakat jambi? ada pepatah populer, “adat menurun, sarak mendaki, adat bersendikan sarak, sarak bersendikan kitabullah”. Masyarakat jambi, terutama masyakat “kalbu yang 12” yang bermukim di sepanjang pesisir Sungai Batang Hari telah berhasil mengintegrasikan hukum adat dan hukum Islam. Sumber hukum Islam, al-Qur’an dan Hadits, dijadikan sebagai sumber hukum adat.

Kemungkinan besar, integrasi hukum adat dan hukum Islam ini dipengaruhi oleh Perang Paderi (1819-1832) yang terjadi di Minangkabau. Perang ini sebenarnya adalah konflik ekonomi-politik antara kubu adat (matrilinear) dan kubu islam (patrilinear) yang direkayasa dan dimanfaatkan oleh Belanda. Belajar dari Perang Padri, para budayawan Minangkabau mengambil prakasa mengintegrasikan hukum adat dan hukum islam dengan, misalnya, membuat pepatah: “adat bersendikan sarak, sarak bersendikan kitabullah”.

Strategi-budaya ini kemudian masuk di Jambi karena, “barangkali”, masalah sosial yang dihadapi Minangkabau sama dengan masalah sosial yang dihadapi Jambi, yakni konflik laten antara adat dan islam. Sebuah sumber menyebutkan, beberapa wilayah di Provinsi Jambi dulu merupakan daerah “rantau” Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau. Proses masuknya strategi-budaya ini ke Provinsi Jambi dapat dibaca dalam buku susunan Hartono Margono dkk., “Sejarah Sosial Jambi: Jambi Sebagai Kota Dagang”, hal. 51.

Sementara itu, suku-suku di Jambi yang secara genealogis merupakan keturunan proto melayu, seperti suku batin, suku bajau, dan suku anak dalam, hidup dengan kosmologi hukum adat. Suku Kerinci, walaupun juga bernenek moyang proto melayu, telah dapat mengintegrasikan adat dan islam, meski di sana-sini ekspresi adat terkesan lebih mencolok daripada ekspresi islam.

Apa masyarakat “akar-rumput” Jambi telah mengenal dengan baik hukum positif? Secara pasti, saya belum bisa menjawab pertanyaan ini. Tetapi di desa-desa, sebuah perkara lebih sering dan lebih efektif diselesesaikan dengan hukum adat atau hukum islam daripada hukum positif.
  
Secara esensial, apa hukum positif, hukum islam, dan hukum adat berbeda? Saya hanya tahu, hukum apa saja, selama masih berkaitan dengan tata kehidupan manusia, punya maksud, tujuan, dan bahkan metodologi yang sama. Perbedaannya terletak hanya pada bahasa dan dialeknya.

Hukum, apapun jenisnya, adalah wahana keadilan. Di Indonesia, baik hukum positif, hukum islam, maupun hukum adat sudah nyaris tidak berguna karena keadilan kian langka.

Saya jadi kepingin bertanya, bila generasi saya kesulitan memperoleh keadilan, apa akibatnya? Ketidakpercayaan pada hukum dan penegaknya. Lalu? Kehancuran yang tak terbayangkan.

Jogja, Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam