29/09/11

cerita yang tidak mungkin


Di kampung tepi hutan yang belum terjamah aliran listrik itu, dia membangun sebuah gubuk seadanya: berdinding papan, bertiang trembesi, beratap nipah. Untuk melawan kegelapan malam, dia memasang empat lampu teplok pada empat sudut gubuknya, dan menggantung satu lampu patromaks tepat di pusat bangunan nelangsa itu.

Ketika malam datang, gubuk itu terang. Tetapi dia tak tampak senang. Dia masih saja gundah, dan merasa ada yang kurang. Lima lampu itu hanya membantunya membaca wajah istri dan anak-anaknya, tidak sama sekali membantunya membaca wajahnya sendiri.

Istrinya, yang mengerti kegundahannya, menyarankannya membeli cermin. Dia menolak saran istrinya. “Buat apa beli cermin? Buat berkaca, buat bersolek, buat mematut-matut diri? Saya tidak akan beli cermin karena saya tidak percaya sama dia. Dia pembohong: menganankan kiri, mengirikan kanan. Dia munafik: meratakan wajah saya yang berdimensi tiga.”

Istrinya pun dongkol, marah minta ampun. Sesudah sedikit tenang, istrinya berkata: “Ah, masak cermin yang tak berdosa itu kau salahkan. Dasar! Kerjamu menyalahkan yang lain melulu. Cepat-cepatlah beli cermin supaya kau cepat-cepat melihat wajah dan matamu sendiri, sebelum lima lampu di gubuk kita ini kehabisan minyak. Saya kuatir, kalau kau tidak segera beli cermin, kau malah akan menceraikanku dan mengusir anak-anak, atau membakar gubuk ini serta hutannya sekalian.”

Jambi, 22 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam