19/09/11

tanya


 Harap maklum. Ini kisah sedikit imajinatif, tentang seekor lalat pengganggu, Sokrates namanya. Air mukanya jenaka. Tubuhnya pendek gemuk. Konon wajah bundarnya tidak lebih tampan daripada Tukul. Sebagaimana master Zen atau syekh Sufi, ia hidup asketis, mengelana bagai gelandangan, dengan perbekalan seadanya, pakaian lusuh, kaki telanjang.

Sehari-hari ia menyusuri kota Athena. Diperhatikannya tindak tanduk manusia: mengapa berbuat baik, mengapa bertindak jahat, mengapa manusia ada. Direnungkannya dari mana alam berasal, akan ke mana alam bergerak. Setelah merenung, barangkali ia akan marah, sedih, atau tersenyum geli. Perangai manusia memang lucu, aneh-aneh saja.

Semakin dalam ia merenung, semakin bertambah kegelisahannya. Banyak manusia telah salah tindak, salah sikap, salah pikir, salah niat. Oleh karena itu, Sokrates merasa harus mengambil sikap. Keadaan harus diubah menjadi lebih baik, atau paling tidak, dijaga agar tidak menjadi lebih buruk. Tetapi bagaimana caranya?

Sokrates lantas mengelilingi Athena. Ia mengajukan pertanyaan apa saja kepada siapa saja yang ditemuinya. Tidak seorang pun mampu menjawab pertanyaannya dengan benar. Dan memang, saya rasa, Sokrates tidak menginginkan jawaban. Pertanyaan adalah derau, sejenis puisi, suara sumbang yang sejatinya merupakan strategi retorik agar lagu digubah jadi lebih merdu. Dengan bertanya, Sokrates menularkan keraguan, kegelisahan, dan... pemberontakan, perlawanan, akhirnya: perubahan.

Anak-anak muda, yang sedang dilanda dahaga, tertarik kepada Sokrates. Mereka mengangkatnya sebagai Guru, dengan “G” kapital. Di mana-mana sosok semacam Sokrates selalu jadi magnet. Sahabat Sokrates bertambah banyak, tetapi musuhnya bertambah sangat banyak.

Setelah mengaji kepada Sokrates, anak-anak muda itu berperilaku “yang bukan-bukan”, “yang ada-ada saja”, misalnya menolak mentaati perintah orang tuanya yang buruk dan busuk, atau membangkang terhadap kebijakan pemimpin polis, atau mengkritik dan mengutuk demokrasi. Ketika itu Athena menerapkan demokrasi sebagai sistem politik. Demokrasi adalah tirani mayoritas atas minoritas. Demokrasi lebih mengunggulkan kuantitas tinimbang kualitas, prosedur tinimbang orientasi, citra tinimbang hati. Anak-anak muda itu menjadi seperti Sokrates: peragu yang suka bertanya.

Gejolak sosial meledak. Huru hara politik merebak. Para politikus, yang kemapanan kekuasaannya mulai terancam, menuduh Sokrates sebagai virus. Sokrates telah meracuni pikiran anak-anak muda Athena. Sokrates tidak bisa dibiarkan, harus dibereskan, harus dibawa ke muka pengadilan untuk mendapat hukuman seberat-seberatnya. Sokrates harus membayar dosa-dosanya.

Di persidangan, Sokrates tak lagi bisa berkutik. Para politikus adalah musuhnya. Para hakim juga musuhnya. Para anggota parlemen musuhnya juga. Mereka sepakat untuk membunuh Sokrates dengan jalan yang legal dan resmi. Sahabat dan pembela Sokrates hanya anak-anak muda, Platon misalnya. Sayang sekali, karena merupakan minoritas, mereka tak diberi ruang untuk bicara. Sokrates pasrah saja menerima hukuman itu. Ia dihukum mati dengan disuruh meminum racun. Riwayat Sokrates tamat.

Sokrates memang tamat. Tapi kisah ini belum tamat. Pertanyaan-pertanyaan Sokrates terus bergaung di benak murid-muridnya, termasuk Platon. Platon kemudian mengarang banyak buku. Tulisan-tulisan Platon inilah cikal bakal filsafat barat, sistem berpikir yang mengantar Eropa mencapai puncak keemasan.

Jadi, pencerahan berawal dari Sokrates, dari pertanyaan, dan bukan dari jawaban atas pertanyaan. Orang dinilai tidak dari kemahirannya menjawab pertanyaan, tetapi dari kepandaainnya membuat pertanyaan. Sebab, membuat pertanyaan lebih musykil daripada menjawab pertanyaan.

Pertanyaannya, dari mana datangnya pertanyaan?
Jambi, 18 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam