05/09/11

presensi


Jika saling mencintai, maka akan saling belajar. Ini terjadi secara alami, berlangsung begitu saja. Spontan. 

Sebagaimana cinta, belajar adalah saling memberi, bukan saling meminta. Akan indah bila guru dan murid saling memberi. Guru memberi hikmah. Murid memberi bakti. Mereka sama melayani sesama, sama melayani Tuhan.

Tapi kata para pakar, guru di sekolah-sekolah kita tidak begitu. Murid-muridnya juga tidak begitu. Guru dan murid sama-sama peminta-minta. Guru minta makan kepada murid. Murid minta angka kepada guru. Mereka kikir. Tak mau memberi. Mereka miskin. Tak punya sesuatu pun untuk diberikan kepada yang lain. Mereka saling tutup pintu tutup mata, tidak saling buka pintu buka mata. Jika demikian, masih mungkin proses belajar berjalan?

Maka, untuk menghindari sia-sia, puisi harus hadir di ruang kelas. Presensi puisi harus 100%. Puisi tidak boleh absen.

6 syawal 1432 h

Ustaz Ramlan, guru ilmu hadits saya, mengajarkan buku ini kepada kami sewaktu Aliyah. Beliau seorang asketis yang pandai matematika. Setelah salat istikharah, Syeikh Zarnuji, seorang cendekiawan Turkistan yang hidup sekitar abad 12-13 M, menulis buku ini. Ta'lim menjadi referensi hampir di seluruh pesantren salaf di Indonesia. Selain mengupas soal etika ilmiah, ta'lim juga mendedah soal epistemologi. Oleh beberapa muslim modernis, ta'lim sempat dicap"ideologis" dan pro status quo. Padahal, ta'lim adalah semacam prolog menuju kesadaran. Tetapi memang perlu digarisbawahi, sebagai karya manusia, Ta'lim memiliki kekurangan. Kritik terhadapnya harus terus agar lembaga pendidikan kita bisa kembali mendengar suara Syekh Zarnuji. Saat ini, kita benar-benar butuh Ta'lim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam