19/09/11

Kawruh


Ada satu aturan main. Hikmah (wisdom/kawruh), ketika dilembagakan, akan mengalami reduksi sedemikian rupa. Orang-orang lantas terpikat dan terserap oleh bungkus dan melupakan isinya. Lebih parah lagi, beberapa orang menjaga kemurnian bungkus itu dan menyangka bahwa bungkus masih mencerminkan isi, padahal tidak. Isi bungkus telah berubah, bahkan bungkus menjadi sekadar bungkus kosong. Tinanda telah malih rupa atau sudah oncat dari penanda.

Belajar
Belajar adalah sebuah wisdom. Belajar kemudian dilembagakan dalam bentuk sekolah. Kita memahami sekolah sebagai tempat belajar, merubah diri menjadi lebih dan semakin lebih baik. Di sekolah kita dididik untuk menjadi pandai dan arif.

Tetapi setelah sekian abad sekolah berdiri, kita menjumpai kejanggalan, inkonsistensi, bahkan kontradiksi. Sekolah telah berjalan menyimpang terlalu jauh dari koridor idealnya. Pada kenyataannya, sekolah mendidik kita untuk menjadi pandir dan bejat. Sekolah mendidik anak-anak untuk menjadi koruptor, otokrat, preman, tukang palak, algojo. Nazaruddin, Malinda Dee, Soeharto sudah pasti adalah anak sekolahan.

Jadi, belajar sebagai sebuah wisdom mengalami reduksi sedemikian rupa ketika dilembagakan dalam bentuk sekolah. Atas alasan ini, Ivan Illich, A.S. Neill, dan para pedagog anarkistis lainnya, menentang keberadaan sekolah. Daripada sekolah hanya berfungsi sebagai pabrik penjahat, lebih baik sekolah sebagai lembaga belajar ditiadakan.

Sekolah bukan satu-satunya tempat belajar. Kita bisa belajar di mana saja, bahkan di dalam toilet sekali pun. Sebuah seloko Minangkabau yang amat populer menyebutkan: alam terbentang menjadi guru. Ruang tidak membatasi kegiatan belajar, demikian pula waktu.

Dengan pemahaman seperti ini, kita akan memandang keadaan secara lebih positif dan optimistis. Memang pilihan berpulang kepada diri kita sendiri, apa hendak menjadi anarkis, bersikap anti terhadap sekolah, atau reformis, bersikap aktif mengembalikan sekolah untuk kembali berjalan pada koridor idealnya. Yang jelas, penanda dan tinanda harus kembali dipertemukan, bungkus kosong mesti diisi. Dalam bahasa normatif, sekolah harus kembali menjadi tempat belajar, sarana memperbaiki diri, memandaikan diri, mengarifkan diri.

Tuhan
Keesaan Tuhan adalah sebuah wisdom. Agar umat manusia tetap mengesakan Tuhan, maka dibentuklah sebuah lembaga atau instrumen: agama. Agama menjadi jaminan dan isyarat bahwa manusia masih mengesakan Tuhan, tidak menyembah selain kepada-Nya. Pengesaan terhadap Tuhan sendiri adalah jaminan bagi terus berlangsungnya persaudaraan dan perdamaian di bumi. Akibat fatal dari politeisme yaitu peperangan antardewa yang rupanya berwujud peperangan antargolongan manusia.

Dengan mengesakan tuhan, seseorang akan merawat napas kehidupan. Ia akan adil terhadap sesama, tidak akan bertindak diskriminatif terhadap manusia lain, dan toleran terhadap kelompok lain, walaupun kelompok tersebut memiliki keyakinan yang bertolak belakang dengan keyakinannya. Sebab, kehidupan lebih agung dan lebih berarti daripada kematian. Permusuhan biasanya berakhir dengan kematian, mungkin kematian di pihak sini, mungkin kematian di pihak sana, mungkin kematian fisik, mungkin kematian simbolik. Seperti amoeba, kematian memiliki kekuatan melipatgandakan diri: satu peristiwa kematian adalah sebab bagi kematian-kematian berikutnya, dan seterusnya.

Namun pada perjalanannya, agama tidak mampu mengemban fungsi idealnya. Agama bukan lagi sebagai tanda kehidupan, penanda keberadaan Tuhan. Sebaliknya, agama malah menjadi tanda kematian, penanda ketiadaan Tuhan. Dengan memeluk agama tertentu, kita justru menjadi zalim dan lalim. Agama menjadi alasan teror, perang, pembunuhan. Agama menjadi alasan otoriterianisme dan KKN. Agama adalah topeng atau kedok yang kita perlukan untuk menjustifikasi segala perilaku jahat kita. Kita memperalat agama, mempermainkan Tuhan.

Resah megalami kenyataan tersebut, sebagai ungkapan protes dan pemberontakan, beberapa orang memilih untuk tidak beragama. Tindakan ateistik mereka ini bersumber dari tingkat spiritualisme yang tinggi, barangkali tingginya mangatasi para ulama, mulah, kyai. Beragama bagi mereka sama saja dengan mendukung kesewenang-wenangan dan kepura-puraan. Sebagian dari para ateis bersikap moderat dan ugahari, tidak konfrontatif dan tidak mengutuk agama secara terbuka. Tetapi sebagian lainnya bersikap ekstrem, menolak moralitas apa pun, hidup dengan cara paling liberal, berpikir dengan cara paling sekuler, membabi buta meragukan segala yang dianggap pasti.

Kendati belum tentu selalu buruk, fenomena ateisme atau pseudo-ateisme adalah masalah sosial yang menuntut jawaban. Agama, maksudnya perilaku beragama kita, memang telah keliru dan melenceng, sampai-sampai kita berani menyembah selain Tuhan, bahkan dengan melestarikan egosentrisme, diam-diam kita sudah memproklamirkan diri sebagai Tuhan. Ternyata kita adalah Fir’aun, Namrud, Abu Jahal, yakni mereka yang selama ini kita musuhi dan kita takfirkan.

Di hadapan kita, sekarang tersaji tiga pilihan: beragama dengan cara yang keliru, tidak beragama, atau membenahi perilaku beragama kita. Intinya, penanda harus kembali dipertemukan dengan tinanda yang tepat, bungkus kosong mesti diisi dengan zat yang sesuai. Wisdom “Tuhan adalah Esa” adalah tinanda bagi kata “agama”. Agama, sebagai bungkus, berisi kehidupan, bukan kematian.

Sejauh ini kita baru membicarakan dua wisdom: belajar dan keesaan Tuhan. Wisdom-wisdom lain juga telah dilembagakan. Ini artinya wisdom tersebut mengalami reduksi sedemikian rupa. Halal bi halal atau open house sebagai pelembagaan maaf ternyata telah mereduksi makna maaf itu sendiri. Hukum sebagai pelembagaan keadilan rupanya sudah mereduksi makna adil itu sendiri. Kita masih bisa memperpanjang daftar ini....

Jambi, 17 september 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam