15/09/11

anjing


Padahal anjing adalah kata yang netral-netral saja, senetral ayam, ikan, dan kambing. Tetapi kita menyepakati anjing sebagai lambang kegelapan, kejahatan, immoralitas. Kepada preman, kepada setiap sesuatu atau peristiwa buruk, kita mengarahkan umpatan “anjing”. Anjing identik dengan sebab dan objek kemarahan kita.

Saya pikir, dulu nasib anjing tidak seburuk sekarang. Baru setelah Islam merasuk ke dalam relung jiwa masyarakat Indonesia, status anjing turun sampai derajat kehinaan paling bawah. Islam menunjuk anjing sebagai salah satu binatang yang diharamkan dan dinajiskan. Anjing menjadi maskot bagi calon penghuni neraka, atau ia menjadi logo bagi neraka itu sendiri. Padahal, masih mungkin untuk bertanya nakal: anjing diharamkan karena terlalu kotor dan hina, atau sebalikanya, terlalu suci dan mulia? Makkah dan Madinah adalah tanah suci, maka keduanya juga disebut sebagai tanah haram.

Di al-Qur’an, kita membaca cerita anjing ashabul kahfi. Tidakkah anjing ini adalah anjing yang mulia, atau setidak-tidaknya diberi penghargaan khusus oleh Tuhan? Kita juga pernah mendengar cerita tentang pelacur yang memberi makan (atau minum?) seekor anjing. Hanya gara-gara tindakan ini, Tuhan mensucikan pelacur tadi dari gelimang dosa. Apa di surga tidak ada anjing? Untuk apa Tuhan menciptakan anjing?

Sebelum Islam melembaga di Indonesia, masyarakat kita sepertinya memberi tempat cukup terhormat kepada anjing. Bapak Sangkuriang adalah seekor anjing yang setia menemaninya berburu di hutan. Adegan ini memuat sebuah pesan moral: Sangkuriang sebagai manusia mesti takzim kepada anjing, sebab anjing adalah bapaknya sendiri yang dulunya juga manusia.

Anjing membantu para pengaran Kerajaan Hindu dalam berburu. Jelas sekali bahwa pada zaman itu, anjing adalah penanda status sosial pemiliknya. Bila seseorang memiliki anjing yang pintar, lincah, gesit, jinak, dan penurut, maka bisa jadi jangan-jangan dia berdarah biru.

Jadi, jika demikian, tidak ada alasan untuk merendahkan martabat anjing, meskipun dia binatang najis dan haram. Penghargaan kita terhadap anjing akan menuntun kita untuk mau berguru kepadanya. Kepadanya, kita bisa mempelajari taat, sukur, kemampuan untuk menghidu jejak dan bau, kecakapan “menuntun manusia” dalam berburu. Darinya, kita juga dapat belajar merasakan siapa kawan yang harus digauli dengan kasih sayang, dan siapa lawan yang harus segera digonggong, dicakar, ditaring untuk membuatnya keder dan kecut. Setelah mengalami ketakutan, kemungkinan besar si lawan akan bertobat dan merubah perangai buruknya.

Bila anjing merupakan guru etis manusia, bukan tidak mungkin anjing juga akan menghuni surga. Artinya, konotasi “anjing” tidak selalu negatif. Anjing bisa saja melambangkan pencerahan dan virtue. Dengan begitu, halal bagi saya untuk memaknai umpatan “anjing” yang Anda tujukan kepada saya sebagai ekspresi memuliakan dan memuji, bukan mengumpat dan mencaci-maki. Maka Anda tak perlu dengan malu-malu meminta maaf kepada saya karena tidak ada kesalahan yang harus dimaafkan. Misunderstanding kadangkala berakibat positif... he he he

Jambi, malam selasa, 14 syawal 1432 h

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam