15/09/11

membaca


Sekurang-kurangnya terdapat dua jenis relasi antara teks dan konteks: relasi kontinuitas dan relasi diskontinuitas. Yang pertama adalah cara pandang dan cara kerja hermeneutika. Yang kedua adalah cara pandang dan temuan dari dekonstruksi.

Relasi kontinuitas melihat bahwa teks tidak pernah berdiri sendiri. Teks tercakup dalam ruang-waktu tertentu, dalam sejarah yang spesifik, dan tidak mungkin keluar atau mengeluarkan diri dari dimensi sejarah itu.

Nasir Hamid Abu Zayd, mufasir yang ditakfirkan oleh otoritas al-Azhar, meletakkan al-Qur’an sebagai teks yang bereksistensi dari dan dalam konteks tertentu. Menafsirkan al-Qur’an, selain merupakan kerja linguistis semata-mata, juga merupakan kerja historis dan historiografis. Untuk membumikan al-Qur’an—meminjam ungkapan Quraisy Shihab—seorang mufasir tidak boleh menutup diri dari perkembangan metodologi ilmiah dan kemajuan sains. Ia justru harus mau mengadopsi sains dan menggunakannya untuk merekonstruksi setting ketika al-Qur’an secara berangsur-angsur diwahyukan kepada Muhammad.

Sebenarnya, cara pandang heremeneutis terhadap teks telah dimulaikembangkan jauh sebelum hermeneutika kontemporer ditemukan dan disistematisir oleh Gadamer, dan dipelajari oleh para cendekiawan muslim semisal Abu Zayd. Metode asbabun nuzul adalah cikal bakal bagi tafsir al-Qur’an secara hermeneutis. Bila kita perhatikan seksama, para mufasir mu’tabar kerap menggunakan metode asbabun nuzul. Bahkan lebih dari itu, sesekali mereka membaca sebuah ayat al-Qur’an dengan memberi latar belakang historis yang verifikatif.

Kelemahan dari cara pandang hermeneutis terhadap teks adalah pembaca atau penafsir tidak memiliki kesempatan lapang untuk mengembarakan imajinasinya. Analisisnya mentok hanya pada, pertama, hubungan antara sebuah teks dan konteks historis ketika teks tersebut ditulis, dan kedua, relevansi etiknya dengan situasi ketika teks itu dibaca dan ditulis ulang oleh si penafsir. Teks menjadi hanya bersifat realistis. Penafsir tidak bisa melihat teks sebagai sekumpulan simbol dan tanda. Dalam hal ini, teks merupakan prosa, bukan puisi.

Teks puisi, bahkan puisi yang cenderung realis sekali pun, berbeda dengan prosa. Dalam puisinya, penyair menggunakan bahasa yang sangat personal dan metaforis, an extraordinary language. Misalnya, masyarakat umum sudah tentu secara konvensional memaknai kursi sebagai tempat duduk yang terbuat dari berbagai material keras. Sementara, seorang penyair akan bisa-bisa saja dan boleh-boleh saja mendefinisikan kursi sebagai, contohnya, lambang kekuasaan, tempat untuk menanak nasi, cagar kenangan cinta pertamanya, atau menu sarapan paginya. Anggur, bagi para penyair sufistis, tidak merupakan simbol maksiat dan kesesatan. Sebaliknya, anggur justru adalah sarana imajisnya untuk mengkspresikan kemabukcintaannya dan rindudendamnya kepada tuhan.

Oleh karena itu, untuk menafsirkan puisi, kita memerlukan cara pandang lain. Hubungan antara teks dan konteks tidak melulu berwatak kontinyu, tetapi juga berwatak diskontinyu. Tidak ada korespondensi antara teks dan konteks. Untuk menafsirkan teks, tidak usah berpayah-payah merekonstruksi setting historisnya terlebih dahulu. Dengan potensi imajinatif, kita bisa mengangkat teks dari konteksnya, dan menafsirkannnya secara simbolik. Dalam ilmu tafsir, metode ini dikenal sebagai metode ta’wil atau eksegese. Para sufi menggunakan metode tafsir ini untuk menyingkap makna hakiki dari al-Qur’an, hadits, dan puisi atau narasi para guru sufi. Musyawarah Burung Ath-Thar hanya mungkin ditafsirkan memakai metode ta’wil, tidak mungkin ditafsirkan secara hermeneutis (hermenetuis dalam hal ini menyangkut teks, bukan author). Konteks ruang-waktu dari prosa-mistik itu tidak jelas benar di mana dan kapan. Karena merupakan ungkapan mistis, lakon wayang hanya bisa ditafsirkan dengan mena’wilnya. Keraton Pringgodani dan Madukoro tidak bisa dan tidak perlu dilokasir pada wilayah geografis tertentu.

Pada kira-kira pertengahan abad XX, di Perancis juga lahir metodologi tafsir yang secara paradigmatik boleh dibilang sejalan dengan ta’wil, yakni dekonstruksi. Metodologi tafsir ini sebenarnya tidak metodologis, tepatnya antimetodologis. Dekonstruksi memisahkan teks dengan konteks. Teks dibaca melalui dirinya sendiri atau dengan menyandingkannya dengan teks lainnya. Teks adalah dunia tersendiri yang tidak terpengaruh oleh ruang-waktu. Teks lepas dari ikatan-ikatan kesejarahan. Dekonstruksi, secara singkat dan simplistis, digambarkan sebagai anak yang lahir dari perkawinan antara fenomenologi, eksistensialisme, dan strukturalisme. Ia kemudian tumbuh menjadi cultural studies, budak badung yang menyambangi dan mengobrak-abrik batas-batas disiplin keilmuan justru untuk membuka ruang kritik dan dialog. Dekonstruksi meluaskan cakupan makna teks. Teks bukan lagi sekadar apa yang tertulis di atas kertas. Teks adalah apapun yang ada. Semesta adalah semesta teks. Maka pengaruh dekonstruksi menjalar hingga ke tema-tema kebudayaan sebagai tindakan manusia.

Dekonstruksi bermanfaat untuk menjelaskan perilaku konsumtif masyarakat urban, perilaku beragama masyarakat rural, perilaku intelektual masayarakat pascakolonial, dan lain sebagainya.

Bagi masyarakat remaja urban atau pseudo-urban, drama korea tidak lagi bermakna sebagai tontonan atau hiburan. Drama korea adalah kunci bagi mereka untuk mempertahankan eksistensi dan martabatnya dalam komunitas. Drama korea sebagai teks telah lepas dari konteks faktual dan diberi konteks imajinal baru. Konteks imajinal ini bersumber misalnya dari inferioritas dan ketakutan akan kesendirian. Nyatanya, dalam kehidupan real sehari-hari, konteks imajinal ini adalah konteks hiperreal yang tidak pernah ada tapi diyakini seolah-olah ada, yang anehnya, mengatur cara berpikir dan cara bertindak remaja tadi. Dalam bahasa teologi, drama korea sudah jadi semacam berhala, kemusyrikan.

Naik haji bagi orang kaya yang memiliki pemahaman agama pas-pasan, akan menjadi sarana untuk menaikkan rating status sosialnya. Naik haji tidak lagi murni bermakna sebagai ibadah rukun islam ke-5. Makna naik haji bergerak dan berubah, bahkan secara diametral. Naik haji yang pada dasarnya adalah usaha untuk mendekatkan diri kepada tuhan dan menghamba hanya kepada tuhan semata-mata, berubah maknanya menjadi usaha untuk menjauhkan diri dari tuhan dan menghamba kepada yang fana dan duniawi. Teks naik haji telah lepas dari konteks faktualnya dan diberi konteks imajinal baru. Naik haji memiliki definisi baru yang bertolakbelakang dengan definisi yang diharapkan oleh doktrin agama Islam.

Bagi orang dunia ketiga, bisa berbahasa inggris cas-cis-cus dapat mengatrol harga dirinya sehingga sejajar dengan warga negara dunia pertama. Bisa berbahasa inggris telah berubah makna. Teks berpisah dari konteks faktual dan diberi konteks imajinal baru.

Selain ketiga contoh tersebut, masih berlimpah contoh-contoh lainnya yang menunjukkan betapa teks bisa dengan mudah dan dengan cepat lepas dari konteksnya. Maka dari itu, kita tampaknya mesti pandai-pandai membaca teks, pintar memilih mana metode paling tepat untuk membaca sebuah fenomena. Kegagalan dan kesalahpahaman kita dalam membaca fenomena akan membuat kita memilih modus eksistensi yang tidak tepat lagi sesat.

Senin, 13 syawal 1432 h

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam