29/09/11

so


Mengawali tulisan ini, saya ingin mengulang kembali celetukan realis seorang kawan: Jambi masih betah hidup dalam abad kegelapan. Celetukan ini tentu hanya bisa diujarkan oleh orang yang benar-benar jujur dalam mencintai Jambi, karena dia rela menerima sekaligus rupa rupawan dan rupa bopeng provinsi yang hampir tiap tahun disiplin memproduksi dan mengekspor asap itu, tiap hari konsisten membiarkan korporasi memangkas cadangan hutan tropisnya.

Terminologi abad kegelapan, kita tahu, merujuk pada kondisi Eropa pada abad pertengahan, ketika gereja bersama kerajaan bergotong-royong merampas hak asasi masyarakat, ketika sains dan teknologi didakwa bidah, ketika imajinasi dituduh kafir dan berpikir dianggap sebagai sampar. Abad kegelapan adalah metafora bagi waktu yang macet, waktu yang terkesima “hanya” dengan masa lalu, dan para teolog berusaha mempertahankan kemasalaluan itu mati-matian dengan beragam varian kekerasan dan pembunuhan. Perang yang paling nyata pada saat itu sebenarnya adalah perang antara masa lalu berhadapan dengan aliansi antara masa kini dan masa depan, perang antara kepastian dan kemungkinan, antara ketakutan dan keberanian.

Korban dari (atau penyelamat bagi) abad kegelapan, kita ingat, misalnya Copernicus, Bruno, Galileo, Luther, dan seterusnya. Dan setelah pagebluk abad kegelapan berakhir,  dan fajar rasionalitas mulai menyingsing di Eropa, dan para cendekiawan pada nglilir dari tidur dogmatis, para martir itu disanjung sebagai nyaris sejajar dengan nabi dalam kontribusinya membongkar arsitektur budaya lama dan menyusun formasi budaya baru, budaya yang rela menerima dan melihat fakta masa kini secara apa adanya, budaya yang berorientasi kepada masa depan dan tidak lagi berorientasi kepada masa lalu. Semenjak itu, Eropa bangkit dan bergerak cepat membangun (jati) diri dengan instrumen sains dan teknologi.

Artinya, bila dikemukakan “fakta” bahwa Jambi masih betah hidup dalam abad kegelapan, maka masyarakat Jambi adalah masyarakat yang tidak melek sains dan rabun teknologi. Memang benar begitu? Saya tidak tahu pasti.

Saya hanya menyaksikan, di Jambi masih sangat sedikit sekali sekolah negeri yang memiliki laboratorium praktikum lengkap, guru-guru berpola pikir saintifik, referensi pustaka memadai, sarana teknologi-informasi canggih yang sebanding dengan rasio jumlah siswa. Malah, masih banyak sekolah negeri yang belum mendapat aliran listrik, jika pun dapat, aliran listrik itu tersendat-sendat, sehari mati sehari hidup, seminggu mati seminggu hidup, seperti di kampung saya.

Saya juga pernah mendengar, seorang “psikolog pendidikan” beken di Jambi, dalam sebuah acara dialog di stasiun televisi lokal, terang-terangan menunjukkan sikapnya yang kontra, bahkan, menurut saya, anti terhadap teknologi-informasi. Alasannya, teknologi-informasi merusak moral anak-anak dan remaja. Alasan penolakannya hanya sampai di sini, tidak disambung dengan argumentasi filosofis fenomenologis seperti yang pernah diutarakan oleh Romo Mangun atau argumentasi filosofis spiritual seperti yang pernah diwacanakan Capra. Menonton acara itu, saya sedih sendiri: di Jambi, psikolog pendidikan, yang seharusnya sudah terbiasa berpikir humanis-saintifik, masih saja beropini dan berprasangka sebagaimana teolog geraja pada abad pertengahan.

So....

Jambi, 28 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam