02/09/11

pramoedya


Saya ingin sekali lagi baca Pramoedya, karya-karyanya, dan sejarah yang melingkupinya. Saya ingin tahu siapa, apa, dan bagaimana Pramoedya Ananta MasToer sebenarnya.


I
Saya baru baca sedikit sekali ulasan biagorafis mengenai Pramoedya. Pertama, buku tipis suntingan Andre Vlitchek, Linda Christanti, dan (?), Saya Terbakar Amarah Sendirian. Buku yang terbit pada 2001 ini berupa rekaman wawancara. Di dalamnya tergambar antipati Pramoedya terhadap Jawanisme dan/atau feodalisme.

Kedua, beberapa catatan pinggir Goenawan Mohamad. Seperti biasa, GM hanya kasih komentar ringkas yang tak tuntas. Di satu sisi, Pramoedya telah salah, tetapi di sisi lain, Pramoedya juga benar. GM kagum sekaligus ragu kepada Pramoedya.

Ketiga, beberapa artikel Nirwan Ahmad Arsuka, seorang wartawan Kompas, kritikus sastra dan seni, kritikus ilmu. Dengan bantuan Cultural Studies, Arsuka memeriksa karya Pramoedya dari segi modernitas, sains, dan teknologi, yang oleh karena itu, menyinggung pula soal revolusi, nasionalisme, dan Indonesia.

Keempat, Pramoedya dan Historiografi Indonesia, sebuah esai Hilmar Farid, sejarahwan dan aktivis buruh. Setelah Soeharto turun, baru para sejarahwan Indonesia mulai mengadopsi, baik dari Mazhab Annales maupun KITLV, metodologi dan perspektif historiografi yang lebih populis, egaliter, dan adil.

Sebelumnya sejarah nasional bercorak neerlando-centric. Di dalamnya hanya ada tempat bagi bangsawan dan pahlawan. Peran orang biasa hampir tak tercatat. Pusat kekuasaan Belanda berada di Jawa, oleh sebab itu, historiografi yang bercorak neerlando-centric tidak dapat tidak bakal bercorak Jawasentris.

Tetapi Pramoedya mendahului para sejarahwan kita. Sedari era revolusi, ia sudah tak sepakat dengan historiografi ortodoks yang Belandis. Pramoedya punya versi sejarah nasional sendiri. Ia melacak kelahiran Indonesia modern tidak hanya dalam arsip resmi Belanda dan karya para sejarahwan Belanda yang “rasis”. Pramoedya juga melacaknya dalam perkembangan media cetak.

Lantas, ia menemukan fakta bahwa Indonesia tidak bermula ketika Boedi Oetomo berdiri pada 1908. Indonesia sebagai negara-bangsa lahir ketika Tirto Adhi Soerjo mendirikan Medan Prijaji, lembaga advokasi hukum, koperasi, dan surat kabar pertama di Indonesia yang berprinsip: dari bumiputera, oleh bumiputera, untuk bumiputera. Melalui Medan Prijaji, Tirto menyebarkan semangat merdeka dan cita-cita nasional.

Dalam napak tilas historisnya, Pramoedya juga menemukan: Di Indonesia, feodalisme dan patriarkat, yang memandang perempuan sebagai hanya alat dan objek, tidak teramat berakar. Bahkan, kelahiran Indonesia modern juga berawal dari kebangkitan perempuan Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia, misalnya Aceh dan Jepara, malah memiliki tradisi kepemimpinan perempuan yang mantap dan mengakar. Di Aceh ada Tjut Njak Dien. Dalam Tetralogi Buru Pramoedya membanggakan keperkasaan dan keperwiraan perempuan Aceh. Di Jepara ada Kartini. Pramoedya menulis biografi Kartini, Panggil Aku Kartini Saja, dalam dua jilid.

Ia juga mencatat, sebelum Kartini, sudah ada pemimpin perempuan modern yang sadar-diri dan bicara tentang nation. Sayang, catatan itu habis diberangus kekuasaan, tak tersisa. Mungkin, perempuan yang dimaksud Pramoedya adalah Nyi Ageng Serang, atau perempuan Maluku yang jadi model bagi karakter Princes of Bacan, atau perempuan yang jadi model bagi karakter Nyai Ontosoroh. Mungkin.

Saya tidak tahu, apa Pramoedya telah tengok tradisi matriarkat Minangkabau dan karakterisasi Srikandi dalam pewayangan Jawa. Saya belum menemukan catatan Pramoedya mengenai hal ini.

Perhatian Pramoedya pada perempuan Aceh merupakan cara pandang sejarah alternatif yang tidak neerlando-centric dan tidak Indonesia-sentris. Pramoedya kasih tempat bagi sejarah lokal-versi lokal dan sejarah nasional-versi lokal. Arus-Balik memaparkan bahwa kenasionalan bukan hanya monopoli Suku Jawa.

Sumbangan Suku Melayu, Suku Arab, Suku Tiongkok, dan Suku Bugis dalam rangka pembentukan (kebudayaan) Indonesia telah berlangsung sejak  zaman transisi antara Majapahit ke Demak. Tidak ada alasan bagi diskriminasi rasial dan kesenjangan antara Jawa sebagai pusat dengan daerah luar Jawa sebagai pinggiran. Saya menemukan, sebagaimana diutarakan Moh. Yamin, komunikasi nasional, bahkan internasional, sudah terjadi semenjak zaman Sriwijaya.

Pramoedya sepertinya melihat, monopoli (kebudayaan) Jawa adalah biang keladi KKN yang menghancurkan tata pemerintahan yang baik dan bersih sepanjang sejarah nusantara. Supaya terwujud pemerintahan yang adil dan maju, ia usul, ibukota Indonesia dipindah saja dari Jakarta ke luar Jawa, dari pedalaman yang agraris ke pesisir yang maritim. Usul ini dilontarkannya puluhan tahun lalu, jauh-jauh hari sebelum muncul isu pemindahan ibukota negara belakangan ini.

Peristiwa 30 September 1965 menambah ketidaksetujuan Pramoedya terhadap monopoli dan kolonialisme Jawa. Terhadap peristiwa ini, Pramoedya bersama koleganya di Cornell University, Ben Anderson, punya versi sejarah sendiri tentang siapa dalang, mengapa dan untuk apa terjadi, berapa jumlah korban, bagaimana alur cerita, bagaimana realita di lapangan, dan siapa untung-siapa rugi. Baru setelah Mei 1998, pandangan sejarah Pramoedya terhadap peristiwa 30 September marak dibicarakan kalangan akademisi. Tidak seluruhnya. Hanya sebagian sangat kecil saja. Tidak rata secara nasional. Hanya di pusat pendidikan Indonesia saja: Pulau Jawa.

Kelima, biografi singkat Pramoedya dalam Wikipedia, ensiklopedia virtual yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah. Di Wikipedia saya baca: “... ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang.” Rupanya, hingga menjelang akhir hayatnya, Pramoedya terus-menerus mengalami pertarungan eksistensial, peristiwa yang selalu dihadapi tiap sastrawan agung. Banyak yang berniat dan berupaya meniadakan Pramoedya. Namun ia ingin selalu ada, ingin abadi dengan mengalahkan kesementaraan. Tapi tak bisa dan tak mungkin.

Akhirnya, pada 30 April 2006, pukul 08.55 WIB, Pramoedya meninggal. Satu-satunya calon kandidat nobel sastra dari Indonesia itu telah “tiada”. Barangkali karena sadar bahwa manusia pasti kalah melawan ajal, dan suatu saat pasti mati, maka Pramoedya berpendapat, menulis adalah cara menjadi abadi. Menulis adalah teknologi pengekalan. Dengan menulis, seseorang akan hidup untuk selama-lamanya.

Saya belum baca, belum punya malah, hasil riset Eka Kurniawan dan Asep Samboja menganai kiprah kepengerangan Pramoedya. Eka Kurniawan memotret paradigma kepengarangan Pramoedya, realisme sosial. Menurut saya, ketimbang Lukacs, Pramoedya lebih dipengaruhi oleh Idrus, Leo Tolstoy, Maxim Gorky, dan Gao Xin Jiang.

Asep Samboja meneropong posisi Pramoedya dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya adalah, masih menurut saya, sastrawan yang berhasil membawa masuk sastra Rusia dan Sastra Tiongkok ke dalam sastra Indonesia. Lebih dari itu, Pramoedya adalah “anak semua bangsa”, muara tempat berbentur dan bertemunya paham-paham kebudayaan dunia. Meski telah ditakfirkan oleh kaum humanis universal, ia diam-diam konsisten mengamalkan inti isi Surat Kerpecayaan Gelanggang yang digagas Chairil Anwar, kepada siapa Pramoedya berguru dan melabuhkan rasa kagumnya.

Di Indonesia, Pramoedya termasuk pelopor genre roman sejarah. Kini, genre ini hampir telah jadi mainstream penulisan fiksi di Indonesia. Tetapi di Indonesia, sejauh yang saya tahu, bahkan hingga sekarang belum ada novelis yang dapat menandingi kecermatan, kedalaman, keluasan, dan kesabaran riset Pramoedya.

“Secara alami” Pramoedya telah mengaplikasikan poskolonialisme dalam penulisan fiksi, bahkan jauh sebelum jagat filsafat ramai membicarakannya, sebelum Homi Bhaba dan Gayatri Spivak populer di Indonesia. Minke dan Jacques Pangemanann, sebagai contoh, adalah sosok-sosok yang hidup dalam ambivalensi. Nyai Ontosoroh adalah wakil paling representatif yang menunjukkan betapa Pramoedya amat menghormati dan menghargai perempuan. Ia menampilkan perempuan sebagai tokoh utama dalam beberapa romannya, di antaranya: Gadis Pantai dan Larasati. Pramoedya sibuk mengkritik kolonialisasi dan memperjuangkan Indonesia sebagai nation yang sungguh-sungguh merdeka dan demokratis. Dan seterusnya...

Barangkali telah ada. Tapi saya belum menemukan kritikus sastra yang mencoba memisahkan dan mempertemukan Pramoedya dan Islam. Perspektif ini, padahal, sangat sensitif, penting, dan bernilai historis. Pramoedya adalah petinggi Lembaga Kebudayaa Rakyat (Lekra), organ ranting Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam konstelasi politik nasional, pada era Demokrasi Parlementer, PKI adalah, boleh dibilang, musuh ideologis Partai Masyumi. Bila PKI punya Lekra, Masyumi punya Lesbumi. Dua organ ini saling hantam saling tikam dalam rangka propaganda  program partai maupun mobilisasi massa. Islam dan Komunis bertikai sengit.

Dari latar belakang sejarah ini, kita bisa ajukan persoalan, misalnya, apa pertentangan antara PKI dan Masyumi, Komunis dan Islam, mempengaruhi karya-karya Pramoedya? Bagaimana sikap kepengarangan Pramoedya terhadap pertentangan itu? Memihak salah satu, netral, mendamaikan, independen, atau... Pramoedya menganggap pertentangan itu tak penting dan tak perlu? Jika benar komunis adalah pasti ateis, adakah Pramoedya menyebarkan paham ateismenya dalam karya-karyanya?

Pramoedya memilih tidak beragama. Apa ia mengambil pilihan ini karena konsisten mengikuti ideologi komunisme? Bagaimana bentuk komunisme Pramoedya? Apa karya-karya Pramoedya 100% bertolak belakang dengan ajaran Islam, atau justru dengan karya-karyanya Pramoedya telah menyosialisasikan nilai-nilai Islam paling fundamental kepada publik internasional? Ada batas pemisah yang jelas antara Komunisme dengan Islam, sastra kiri dan sastra kanan?

Saya ingat, dalam Hoa Kiau Indonesia, Pramoedya mengutip kalimat bijak Ali bin Abi Thalib. Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Nahdatul Ulama (NU) dua periode berturut-turut, menyukai Tetralogi Buru dan banyak menyerap inspirasi darinya.


II

Buku Pramoedya yang pertama saya baca adalah Anak Semua Bangsa, bagian kedua dari Tetralogi Buru. Selanjutnya, dengan terburu-buru saya baca tiga bagian Tetralogi Buru lainnya. Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer adalah buku Pramoedya yang terakhir saya baca. Bersama teman-teman mahasiswa Jambi, saya pernah mendiskusikan, dengan sangat dangkal dan sempit, buku yang membeberkan kejahatan perang Jepang ini.

Dari 50 lebih karya Pramoedya, hanya lebih dari 10 yang sudah saya baca, dengan asal-asalan dan malas-malasan, tanpa maksud yang jelas, tanpa rancang kaji yang spesifik. Kendati saat ini saya tinggal di Yogyakarta, karya-karya Pramoedya, selain yang diterbitkan Penerbit Lentera dan Kepustakaan Populer Gramedia, sulit saya dapatkan. Ada memang satu-dua lingkar sastrawan di Yogyakarta yang mengoleksi karya lengkap Pramoedya untuk berbagai tujuan, di antaranya: pengenalan sastra, kajian kepramoedyaan interdisipliner, dan pengembangan serta pelanjutan topik-topik penelitian yang belum sempat dirampungkan Pramoedya.

Tetapi, akhir-akhir ini kajian atas karya-karya Pramoedya sudah kurang semarak. Semakin sedikit jumlah mahasiswa yang berminat dan berniat untuk sekedar mengenal Pramoedya, apalagi mengulitinya luar-dalam. Pada era Orde Baru, dan pada era euforia pasca-Soeharto, Tetralogi Buru menjadi semacam kitab suci bagi para aktivis mahasiswa. Konon, sebagian besar mahasiswa Yogyakarta ketika itu merupakan aktivis.

Mereka menanting Tetralogi Buru ke mana-mana, membacanya di mana-mana, menceritakan isinya kepada siapa saja. Kabsahan sebagai aktivis mahasiswa selain ditentukan oleh seberapa seringnya ia ikut demonstrasi, juga dilihat dari seberapa jauh penguasaannya atas Marxisme dan Tetralogi Buru di luar kepala. Walaupun segi negatif dari trend pemberontakan anak muda ini amat banyak, namun setidaknya mereka cukup dapat memahami dan meresapi ide-ide humanis Pramoedya. Ini modal bagi mereka untuk mengadakan kontemplasi filosofis dan perenungan kebudayaan secara lebih mendalam, mendasar, dan objektif.

Mungkin karena sadar bahwa aura Pramoedya di mata anak muda telah pudar, Garin Nugroho, menurut salah satu sumber, sedang mengangkat Bumi Manusia, bagian pertama Tetralogi Buru, ke layar lebar. Sumber lain menyebutkan, kalau tidak keliru SKH Kompas, adalah Mira Lesmana dan Riri Riza yang sedang melayarlebarkan Bumi Manusia, bukan Garin.

Dalam catatan saya yang kacangan ini, berita mana yang sahih tak terlalu penting. Yang penting adalah, kerja kreatif entah Garin entah Mira-Riri, akan, pertama, membangkitkan minat anak muda untuk mengenal, dan sukur-sukur mengkaji, Pramoedya; kedua, meningkatkan mutu perfilman nasional yang hampir tak beranjak dari kegandrungan yang banal terhadap film impor dan film populer.

Jika seluruh bagian Tetralogi Buru difilmkan, maka kecemerlangan Tjut Njak Dien, sebuah film epik bertema nasionalisme garapan Eros Djarot, bakal tersaingi, bahkan, saya kira, terlampaui. Film Tetralogi Buru pasti akan mengundang respon internasional yang bagus. Fiksi karya Pramoedya lainnya juga layak untuk, paling kurang, di-FTV-kan.

Benar, mengajukan usul sangat sangat lebih gampang daripada ngelakoni. Tetapi kata orang bijak, orang baik tidak membiarkan, membuang, atau menyumpal usul yang baik. Semoga kita termasuk orang baik.

agustus 2011


nb: 

artikel ini sebenarnya terdiri dari empat bagian. karena terlalu memanjang dan melebar, saya buang dua bagian terakhir. bagian ketiga mencoba membandingkan indonesia imajinal sebagaimana dicita-citakan oleh pramoedya dengan indonesia faktual sebagaimana kita alami saat ini. bagian keempat membahas perkara yang tidak pernah tidak diperhatikan pramoedya: pelanggaran hak asasi manusia.

kini, soal tapol pki belum lagi beres. nama pki dan nama para tapol pki belum dipulihkan secara tuntas. nama-baik ekstremis kanan belum pula dibersihkan. jepang belum mengakui dua kejahatan perangnya di indonesia, pertama pengiriman romusha bumiputera, kedua ekspor perawan jawa. pemerkosaan mei 1998  dan penculikan aktivis mahasiswa seakan dilupakan. 

sementara itu, indonesia terus menambah daftar panjang pelanggaran hak  asasi manusia terhadap warganegaranya sendiri. beberapa waktu lalu, umat ahmadiya, dengan alasan agama, sengaja didiskriminasi oleh negara. mungkin diskriminasi ini kelak akan membuahkan pemberontakan seperti DI/TII.  para pemimpin gerakan radikal papua dan maluku diperlakukan mirip binatang. mereka tak bisa angkat suara karena media takut kasih ruang untuk mereka. jika kita mau jujur, muslim dan orang timur belum dianggap sebagai faktor dalam sejarah indonesia.

di jambi, para wartawan masih harus menyiapkan nyawa dobel bila ia nekad merekam isu-isu panas.  menghadapi kenyataan ini, kebanyakan wartawan jambi memilih jalur bebas hambatan: ambil selamat dan untung sendiri, serta melupakan kewajibannya sebagai wartawan. pemda jambi masih menganggap suku anak dalam, juga suku batin IX, sebagai manusia setengah binatang, persis sebagaimana warga amerika memandang suku indian. pemda jambi dan lsm memberdayakan suku anak dalam sebagaimana mereka melestarikan harimau sumatera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam