15/09/11

budaya


Nyatanya, kita mengartikan budaya sebagai produk tradisi yang telah ditemukan dan diciptakan oleh “hanya” para leluhur kita “sendiri”. Melestarikan budaya adalah sejenis gerak kembali ke masa lalu untuk mempertahankan keberlangsungan hidup masa lalu itu sendiri, atau membawa eksotismenya ke masa kini, dan merencanakan pemuseumannya di masa depan untuk berbagai tujuan, yang paling kentara yaitu untuk menaati egoisme finansial. Budaya yang seharusnya adalah kata kerja berubah menjadi kata benda. Budaya adalah sehimpun produk-produk seni yang sudah jadi, final, selesai, tak bisa dan tak boleh diobok-obok, diotak-atik, dibongkarpasang lagi.

Budaya direduksi hanya sebagai masa lalu. Titik. Tanpa ko-eksistensi dengan masa kini dan masa depan. Seperti romantisis (dalam artinya yang negatif), eksistensi kita tersangkut dan terperangkap di masa lalu. Kita menjadi manusia yang semakin purba di tengah arus zaman yang terus bergerak sangat cepat menuju kondisi yang semakin kompleks dan canggih.

Karena hidup di masa lalu, kita akan tidak jujur menghadapi fakta kekinian yang ternyata tidak lagi sebagus dan seindah “surga” tempo doeloe. Karena takut kehilangan akar eksistensial, muncul keinginan untuk merevivalisasi budaya, bukan merevitalisasi budaya. Revivalisasi menolak kebaruan, sedangkan revitalisasi terbuka terhadap perubahan. Ekspresi para revivalis bersifat fundamentalistis dan preskriptif, secara tak sadar menutup diri dari dinamika dan segala unsur baru yang sedang dan akan datang dari luar, ibarat katak dalam tempurung yang berpolah narsis dan merasa paling cantik sendiri, lebih banyak berkhayal daripada bekerja realistis, tapi selalu minder dan keder berhadap-hadapan dengan center kebudayaan, selalu lebai dan congkak di hadapan para pemula.

Setiap unsur baru adalah ancaman yang harus segera dikontrol dan dipadamkan, walaupun sudah jelas bahwa unsur baru tersebut adalah keniscayaan sejarah yang pasti hadir dan memberi warna pada tradisi. Para revivalis mensyaratkan diri untuk tinggal dalam kemacetan dan kejumudan, dan mencegah diri dari kemajuan dan perkembangan. Tidak ada kata perubahan, progresi, apalagi revolusi. Sikap revivalis adalah menghindari konflik dan menjaga atau melestarikan harmoni, takut terhadap perbedaan dan perang, namun diam-diam membedakan diri dan tak segan-segan menyulut api peperangan. Standar ganda, sebuah hipokrisi, kemunafikan yang dicoba disembunyikan rapat-rapat.

Jambi, bagi saya, adalah rumah yang amat aman dan nyaman bagi para revivalis. Di Jambi kita mendengar sangat sedikit peristiwa polemik, kecuali konflik horizontal antarsuku, antarkampung, dan antarsekte Islam yang sudah basi, tak laku, kontraproduktif. Masyarakat akar rumput, lantaran beraneka sebab dan alasan, sepakat mengafirmasi kebijakan tanpa keadilan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Baru pada 2011 ini kita menyaksikan fenomena resistensi masyarakat sipil: demonstrasi mahasiswa IAIN STS, perlawanan petani sawit, aksi Suku Anak Dalam menduduki gedung DPRD, pembakaran truk batubara oleh penduduk, aksi mogok para guru honorer SD se-Kota Jambi, dan seterusnya. Dengan mengikuti trend pop-culture, anak-anak muda juga mencoba berpisah dari idealitas orang tua dan identitas tradisional. Mereka sebenarnya sudah jengah dengan stagnasi moralitas palsu yang dijaga kebenaran ortodoksionalnya oleh para orang tua mereka, para pendukung, pengabsah, sekaligus penikmat korupsi politik.

Dengan latar belakang sosial-budaya seperti ini, saat ini merupakan momentum yang cukup tepat bagi kita untuk merefleksikan kembali apa makna “budaya”. Besar kemungkinan masyarakat akar rumput yang sedang gelisah dan diam-diam merindukan perubahan akan menyambut positif hasil refleksi ini.

Budaya bukan saja apa yang arkaik dan antik. Budaya adalah relasi resiprokal antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Budaya adalah proses, proses kehidupan, proses menghidupi dan menghidupkan. Budaya adalah kata kerja, tindakan berkarya, ketersambungan antara daya, cipta, rasa, dan karsa. Budaya tidak memberi tempat bagi stagnasi dan kebisuan. Budaya merupakan budi dan daya, pemaduan aktif antara rasio, rasa, dan kerja, penyatuan seimbang antara roh dan tubuh. Nirwan Dewanto menyebutnya sebagai proses transkultural, multikulturalisme yang tidak lamisan.

Dengan mendefinisikan budaya sebagai proses, maka kita akan beranjak dari melulu merevivalisasi tradisi menjadi merevitalisasi tradisi, dari kerja pasif menuju kerja aktif. Produk tradisi tidak lagi dijaga kesuciaannya dari pengaruh kultur asing (yang senantiasa dikonotasikan negatif), namun diajak untuk saling berbagi, saling memberi-menerima, saling berdialog dengan apa saja ekspresi budaya dari suku lain, bahkan dari bangsa lain. Ketakutan akan perbedaan perlahan-lahan akan terkikis dan bersalinrupa menjadi penerimaan yang tabah akan perbedaan, alienasi, konflik, dan perubahan. Nalar formal ditukar menjadi nalar kritik. Akan hadir ruang publik yang menggelar kompetisi terbuka, fair, serta tanpa represi tanpa kekerasan; sebuah medan wacana di mana kita mempertanyakan ketabuan, mengkritik ketidakadilan kekuasaan, menelanjangi kepura-puraan tendensional; sebuah galengan untuk menyemaikan dan menumbuhkan benih-benih pencerahan.

Di Jambi, strategi budaya ini sebenarnya telah dimulai oleh, misalnya, Tom Ibnur, maestro tari zapin kelahiran Sumatera Barat dan Dimas Arika Miharja, penyair sepuh asal Yogyakarta. Tom Ibnur merevolusi tari zapin dengan meinternalisasikan unsur-unsur balet dan ragam tari lainnya ke dalam tari tradisional bercitarasa timur tengah itu. Tari zapin, yang juga adalah ikon Melayu Jambi, menjadi media pertukaran budaya transnasional. Tom Ibnur mensekulerisasi religiositas-sempit tari zapin, mengglobalisasikan lokalitas. Dimas Arika Miharja memanfaatkan teknik tembang liris Jawa untuk memuisikan, sebagai contoh, Sungai Batanghari atau Suku Anak Dalam. Di tangannya, puisi menjelma sebagai ruang komunikasi antara tradisi Jawa dengan tradisi Sumatera. Bagi baik Tom Ibnur maupun Dimas Arika Miharja, budaya adalah kata kerja dan bukan kata benda.

Jambi, malam rabu, 15 syawal 1432 h

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam