04/09/11

jiwa


Sastra tanpa psikologi bagai raga tanpa jiwa. Psikologi tanpa sastra bagai pohon tanpa akar. Sastra dan psikologi adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Keduanya sama-sama menaruh minat besar terhadap apa yang bergejolak dalam jiwa manusia. Sastra menerawang manusia dengan pengamatan harian dan imajinasi (juga revelasi). Psikologi membedah manusia dengan metode ilmiah dan terapi klinis.

Bukan kebetulan bila Freud, Bapak Psikoanalisis, adalah penikmat sastra yang tekun. Ia bahkan menjelajahi seluk-beluk sastra hingga ke pangkal tertuanya: tradisi Yunani Kuno. Di sana ia bertemu dengan Cupid dan Psikhe. Tidak seperti biasanya, kali ini Cupid tidak berperan sebagai mak comblang. Cupid—yang telah beranjak dewasa—justru sedang jatuh cinta kepada Psikhe, sosok perempuan yang sangat sangat cantik. Cerita cinta Cupid dan Psikhe mungkin bisa disepadankan dengan cerita cinta Betara Kama dan Betara Ratih.

Jatuh cinta selalu revolusioner: mengubah perilaku, bahkan mengubah oritentasi hidup, konon juga mengubah susunan kimiawi otak, serta mengubah bentuk fisik manusia. Ringkasnya, jatuh cinta merupakan peristiwa psikologis yang biasanya menggelembung menjadi peristiwa fisiologis, sosial, ekonomi, politik. Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V, lengser keprabon gara-gara—menurut mitos—jatuh cinta kepada putri Tiongkok dan menikahinya. Setelah Ratu Kencana Wungu menolak cinta Minak Jinggo, Minak Jinggo pun memberontak terhadap Majapahit. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Nama Psikhe kemudian diadaptasi sebagai nama psikologi, disiplin ilmu yang mulai populer semenjak awal abad XX, tepat ketika umat manusia mengalami dua perang dunia berturut-turut. Perang tidak pernah membuahkan kemenangan. Perang hanya menghasilkan kekalahan, frustasi, depresi, kegilaan, dan kematian. Memulai perang sama artinya dengan menciptakan kegilaan. Tidak membersihkan diri dari prasangka negatif sama saja dengan menghalalkan pembunuhan. Stres akibat perang perlu disembuhkan. Orang-orang pun semakin tertarik dengan psikologi. Melalui psikologi, umat manusia memperoleh pencerahan.

Pada dekade-dekade berikutnya, ilmu ini semakin berkembang. Muncul cabang-cabang ilmu baru: psikologi sosial, psikologi komunikasi, psikologi industri, psikologi pendidikan, psikolinguistik, dan sebagainya. Post-strukturalisme dan eksistensialisme, dua mazhab besar dalam kancah filsafat, berhutang budi pada psikologi, atau sebaliknya: psikologi berhutang budi pada eksistensialisme dan post-strukturalisme. Eksistensialisme kemudian menjadi mazhab tersendiri dalam psikologi kepribadian. Albert Camus, simbah eksistensialisme, mendapat hadiah nobel sastra pada 1954. Ini bukti betapa erat hubungan antara sastra dan psikologi.

Pada periode yang sama, eksistensialisme masuk ke Indonesia, barangkali sebagai antidot dari huru-hara revolusi dan kudeta 65. Puisi-puisi Chairil Anwar, penyair yang digadang-gadang sebagai pelopor sastra modern Indonesia, kental dengan aroma eksistensialisme. Arif Budiman melihat Chairil menggunakan kacamata eksistensialisme. Hipotesis Arif, sejauh yang saya ketahui, sampai sekarang belum patah. Setelah Chairil, menyusul Goenawan Mohamad dan para epigonnya. Goenawan menulis puisi dan esai yang bercorak eksistensialistis.

Setelah kejatuhan Soeharto, setelah studi Islam di Indonesia maju pesat, para cendekiawan muslim mencoba meneliti psikologi Islam. Beberapa kalangan menyebut psikologi Islam dengan psikologi tasawuf, psikologi timur, atau psikologi transpersonal. Menyerap inspirasi dari agama, jenis psikologi ini hendak menutupi kekurangan ilmu psikologi yang berkembang di barat. Di barat, ilmu adalah sejenis sekulerisme. Sementara di timur, terutama dunia Islam, wahyu adalah sangkan-paraning ilmu. Psikologi timur adalah gerbang menuju damai.

Psikologi Islam terlambat berkembang di Indonesia. Di Asia Tengah, Idris Shah, sarjana sufi terkemuka, sudah sejak 1960-an mengajak para psikolog barat untuk mengembangkan psikologi tasawuf. Idris Shah mengarang banyak buku, The Sufis salah satunya. Bila ingin belajar soal sufi, buku ini adalah kata-pengantar paling tepat. Bagi Doris Lessing, peraih hadiah nobel sastra 2007, The Sufis sangat memukau. Lessing mengaku, The Sufis telah mengubah hidupnya. Canopus in Argos adalah karya Lessing yang menjodohkan kajian sufisme dengan fiksi sains.

Jadi, sastra dan psikologi merupakan satu kesatuan utuh, bukan?

malam senin, 6 syawal 1432 h

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam