15/09/11

lokal


Persada Studi Klub dan pedak turunannya adalah kelompok sastrawan yang paling pertama saya kenal. Sekitar tahun 50-an atau 60-an (saya kurang ingat tahunnya) Umbu Landu Paranggi, Iman Budhi Santosa, dan gerombolannya mendirikan PSK di Yogyakarta. Kelak PSK tidak hanya mewarnai, namun juga menyetir arah kesusastraan Yogyakarta khusunya, dan arah kesusastraan Indonesia umumnya. 

Rupanya, orang-orang PSK tidak berjalan sendirian. Di daerah-daerah lain di Indonesia, muncul pula sastrawan yang punya kegelisahan dan orientasi sama dengan PSK: menghidupkan kembali lokalitas (yang telah dikebiri habis-habisan oleh propaganda revolusi, nasionalisme, dan tafsir tunggal-modern atas “Indonesia”). Fenomena ini barangkali, meski tak disadari benar, adalah hasil refleksi dari bencana bolitik-bencana sosial yang mulai terjadi sejak hingarbingar proklamasi hingga menjelang 70-an.

Di telatah Sunda, Ajip Rosidi angkat suara. Penyair pemrakarsa Hadiah Rencage ini menggumuli dan menggali latar belakang kesundaannya dengan intensif. Ia menelurkan karyasastra bercitarasa Sunda. Di ranah Minangkabau, mengemuka nama A.A. Navis. Navis menyingkapkan dan membacakan keminangkabauan kepada publik Indonesia. Umbu Landu Paranggi memotret lansekap Sumbawa dan menghamparkannya di hadapan pembaca Indonesia. Iman Budhi Santosa, Linus Suryadi AG, Darmanto Jatman, dan sebagainya, meneliti, mengulas, dan mengkritik sastra Jawa. Emha Ainun Nadjib mengeksplorasi dan mengeksploitasi khasanah sastra Jawa Timuran yang mbeling, kasar, jorok, sronok, penuh elan pemberontakan namun relijius; sebuah Jawa-yang-lain, Jawa-pinggiran. Dalam karya mereka, kita merasakan lokalitas sebagai identitas yang membanggakan, tapi sekaligus tidak bisa serta merta disterilkan dan diisolasi dari kritik.

Beberapa tahun setelah reformasi, regulasi desentralisasi lahir. Otonomi daerah dianggap sebagai jawaban dan obat bagi komplikasi sakit Indonesia yang diwariskan Soeharto dan Soekarno. Selanjutnya, apa yang terjadi? Bak sekawanan harimau yang dilepas ke alam bebas setelah berbulan-bulan disekap di kurungan, daerah-daerah di Indonesia, oleh para pakar, dinilai mengalami sejenis kekagetan dan euforia. Tiap daerah berlomba-lomba unjuk gigi secara membabi buta. Demi keperluan performance, tradisi lokal kembali ditengok. Beberapa daerah menengoknya dengan serius. Sementara banyak daerah lainnya menengoknya untuk kemudian memperalatnya sebagai magnet politik atau magnet ekonomi.

Tren “kembali ke tradisi lokal” itu ternyata bertemu dan bersesuaian dengan “politik sastra”—jika boleh disebut begitu—PSK dan sebagainya. Pada saat yang sama, efek posmodernisme atau kebanggaan terhadap ketimuran juga sudah cukup meresap dan memparadigma dalam benak anak-anak muda Indonesia. Maka jagad sastra kita, terutama semenjak 2000, ramai dengan perbincangan seputar local wisdom, metodologi antropologis-fenomenologis, indeginous people, dan sejenisnya. Para sastrawan sibuk menguri-uri latar belakang lokalnya masing-masing sembari membandingkannya dengan lokalitas daerah lain di negara sendiri atau negara lain.

Apa tren kembali ke tradisi lokal itu berjalan di koridor yang tepat? Agus R. Sarjono menulis “Kebudayaan Daerah dalam Khazanah Sastra Indonesia”. Esai ini terbit di  rubrik Bentara Kompas edisi Jumat, 10 Januari 2003. Dalam tulisannya tersebut, Agus R. Sarjono memandang, para sastrawan yang bergelut dengan lokalitas dapat dikategorisasi dalam empat kelompok.

Pertama, sastrawan yang menjadikan lokalitas semata-mata sebagai latar atau bungkus, contohnya Ajip Rosidi dan A.A. Navis. Tetapi, tentu tidak semua karya mereka berkarakter artifisial. Saya yakin, ada puisi dan prosa Ajip yang dengan baik mengungkapkan bawah sadar masyarakat Sunda. Demikian pula, ada cerpen Navis yang dapat menyibak pergolakan batin masyarakat Minangkabau. Kelompok sastrawan ini lebih menjadikan tradisi lokal sebagai pemercantik karya daripada sebagai tema.

Kedua, sastrawan yang memosisikan dan mengeksposisikan lokalitas sebagai ideologi atau identitas, misalnya Linus Suryadi AG, Umar Kayam, dan Ahmad Tohari. Setting budaya Jawa mengkonstitusi karakter tokoh utama dalam prosa mereka. Tradisi lokal tidak lagi berperan sebagai latar belaka. Jika tokoh Pariyem dalam Pengakuan Pariyem, novel liris karangan Linus, “diganti menjadi perempuan Minang atau Bugis, maka novel ini tidak bisa jalan, hancur berkeping tidak karuan. Jawa dan kejawaan dalam Pengakuan Pariyem menjadi unsur utama.”

Ketiga, sastrawan yang mengetengahkan lokalitas sebagai teknik. Sutardji menulis puisi bergaya mantra, ekspresi tutur etnik melayu. Hasan Aspahani berpuisi dengan gaya pantun, ekspresi tutur etnik melayu lainnya. Ramadhan KH memanfaatkan teknik tembang Sunda. Joko Pinurbo memakai teknik narasi-liris sastra Jawa. Dan masih banyak lagi.

Keempat, sastrawan yang melihat lokalitas sebagai inspirasi. Banyak nama bisa kita masukkan dalam kelompok ini, di antaranya D. Zawawi Imron untuk puisi bugisnya dan Dimas Arika Miharja untuk puisi jambinya.

Jadi, menurut Agus R. Sarjono, bagaimana tren “kembali ke tradisi lokal” seharusnya berjalan? Mari kita baca tulisannya berikut ini.

“Sastra bagi saya tidak punya komitmen pada daerah atau pusat. Komitmennya pada manusia, yakni melawan segala upaya untuk mengabsolutkan dan memfinalkan definisi tentang manusia.

“Seorang sastrawan yang mengangkat problem manusia di suatu daerah pada suatu waktu pada suatu momen dengan segala kekhasan situasinya, dengan segala kecintaan, kesakitan, dan daya kritisnya, dengan sendirinya akan mempertanyakan semua definisi final tentang Indonesia dan manusianya. Bahkan, juga akan mempertanyakan ulang semua definisi stereotip mengenai daerah bersangkutan.

“Lewat karya sastra yang mengangkat kehidupan manusia dan latar daerah dengan segala permasalahannya kita bisa bertemu dengan hasil-hasil imajinasi dan denyut batin daerah-daerah di Indonesia....”

Apa para sastrawan Jambi telah berhasil memenuhi idealitas sastra Agus R. Sarjono ini?

Jambi, malam senin, 13 syawal 1432 h

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam