10/09/11

rumah


LEBIH kurang setengah tahun lalu, bapak menelepon saya, menanyakan kesehatan fisik dan kesehatan kantong. Telepon tak langsung ditutup. Masih ada informasi tambahan. Rumah sedang dipugar. Kamar ditambah. Mushola kecil disisipkan di dalam rumah. Dapur dipindah. Juga kamar mandi. Dua ruang terbuka di bagian belakang rumah akan diberi atap. Lantai semen diganti tehel. Batur dirobohkan, ditukar serambi biasa. Saya tak ambil pusing dengan informasi tersebut. Maksud bapak saya memugar rumah pasti baik.

Ini kali kedua bapak memugar rumah. Dulu, tempat tinggal kami adalah rumah papan, berlantai tanah, pas-mantap buat main eker atau berburu undur-undur. Meski beratap seng, kata orang rumah kami adem-anyes ketika siang hari. Tak ada serambi. Tak ada plafon. Tak ada kamar mandi. Bila kebelet berak, kami ngacir ke parit di samping rumah. Di sana ada kakus semi tertutup. Kami mandi dan cuci baju di kali. Jaraknya beberapa ratus meter dari rumah. Air bersih untuk minum kami angsu dari mata air yang terletak di sebelah kali.

Lima tahun membangun rumah tangga, rejeki bapak bertambah. Rumah lama diruntuhkan. Kenangan pahitgetir kehidupan dirobohkan. Rumah baru, dari batu, dibangun. Riwayat hidup baru, yang mudah-mudahan lebih megah dan gagah, ditegakkan. Setelah 17 tahun ditempati, rumah batu itu sekarang dipugar.

Tiga minggu lalu, saya tiba di rumah, setelah menempuh perjalanan dengan bus patas selama dua hari satu malam dari Yogyakarta. Saya belajar di kota fine-art itu sejak 2007. Saya pulang mudik saban lebaran. Tapi mudik kali ini cukup beda dengan mudik-mudik sebelumnya. Apa pasal?

Rumah saya telah berubah total. Rumah saya tidak hanya dipugar, namun dipugar habis-habisan.  Pertama kali memasuki rumah, saya sempat kesasar, salah masuk kamar. Terlalu banyak ruangan. Terlalu banyak persimpangan. Rumah saya jadi seperti labirin. Ruwet. Ribet. Berliku. Saya merasa canggung dan asing tinggal di rumah sendiri.

Bapak saya menepati kata-katanya. Dua ruang terbuka yang terletak di rumah bagian belakang, sekarang sudah dipasangi atap. “Wah, sayang banget,” keluh saya dalam hati. Ruang terbuka ini tempat favorit saya. Beberapa kembang kertas, satu belimbing, satu jeruk, dan beberapa tanaman obat yang ditanam di dalam pot dipajang teratur di sana. Tetangga dan sanak famili yang bertandang ke rumah biasanya mengagumi ide ibu saya itu.

Untuk ukuran kampung saya, ide itu terbilang janggal, aneh, tetapi juga luar biasa. Kampung saya masih berupa rimba. Tanah masih sedemikian jembar dan luang. Seekor ular kobra pernah mampir ke ruang tamu rumah saya. Penduduk pernah ramai-ramai menangkap seekor ular sanca yang tubuhnya berdiameter sekitar 30 cm. Para biawak masih kerap mencuri ayam. Ketika motong, ibu saya pernah bertemu harimau putih. Saya sendiri pernah dikeroyok ketek. Tidak seperti penduduk yang bermukim di kota atau wilayah semi-urban, orang kampung saya belum kepikiran untuk menghijaukan rumah.

Di ruang terbuka tadi, saya sering baring terlentang, memandang lansekap langit, kadang siang hari sepulang sekolah, kadang malam hari sepulang ngaji. Di siang hari, saya menonton sandiwara para awan yang digelar di sebuah panggung berlatar belakang biru, biru yang maha-luas maha-lapang. Sesekali pesawat atau gagak menjeda sandiwara itu, seperti iklan yang menjeda tayangan sinetron di televisi. Semilir angin mengelus-elus kelopak mata. Merdu suaranya membuai telinga. Tak lama kemudian, saya sudah tertidur. Pulas. Bila hari hujan, kadang saya main hujan di situ, sendirian. Kelebus, tapi puas.

Di malam hari, sambil mendengar nyanyi jangkerik yang bising tapi melodis, saya melihat-lihat keramaian di kota bintang. Karena saya tidak mengerti bahasa bintang, saya tidak tahu mereka sedang bicara apa. Namun saya salut terhadap para bintang itu. Mereka tak takut malam. Mereka menerima hitam sebagai saudara-sehidup dan sebagai background, tanpa menyembunyikannya dari pandangaan umum. Mereka setia menemani bulan yang mulai kehabisan daya dan cahaya setelah 15 malam berjuang memberi terang bagi bumi yang gelap. Padahal, pada masa kejayaannya, bulan yang purnama selalu saja mengalahkan dan mempercundangi para bintang itu.

Saat ini, sayang sekali, ruang terbuka itu sudah hanya kenangan. Ruang terbuka itu telah tiada. Kembang kertas dan tanaman obat diusir dari rumah. Mereka kini hidup di sepanjang teras dan emperan. Jeruk disingkirkan ke kebun. Belimbing hilang jejak.

Saya baru paham, ternyata rumah adalah cerita tentang sebuah ruang yang menjalani (tak hanya melintasi) waktu. Rumah adalah arena (tak hanya wadah) bagi tubuh untuk bergerak, berpindah, berubah, berperang. Keinginan memugar rumah datang dari gerak dinamis tubuh. Layaknya trisula, tubuh bertanduk tiga:  membangun (brahma), melestarikan (kresna), menghancurkan (syiwa). Kadang, memugar rumah sama artinya dengan menghapus sebagian (atau seluruh) masa lalu dari pikiran kita. 

Rumah adalah imaji(nasi) dan identitas para penghuninya.  Jika ada ruang terbuka di dalam rumah, maka pikiran para penghuninya pun terbuka. Jika ada bunga di dalam rumah, maka bunga mekar dalam jiwa para penghuninya. Dan jika rumah sudah bagai labirin, maka.... Dan jika semua ruangan sudah tertutup atap, maka.... Tidak. Saya tidak sedang melebih-lebihkan.
Jambi, Malam Kamis, 9 Syawal 1432 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam