11/01/12

alfa

Suasana masih beku sampai seorang guru baru masuk ke kelas itu. Berbeda dengan guru lain, dia tidak segera memberi perintah untuk membaca, mencatat, dan memberi tugas kepada para anak muridnya.

Dengan komputer jinjingnya, dia memutar lagu grup band Raja, Cinderella. Anak-anak mengangkat kepala, memperhatikan guru dengan seksama, bertanya-tanya siapa sih sebenarnya guru baru itu: Kok lain? Kok aneh? Rasa penasaran mereka muncul. Suasana kelas menjadi lebih santai, ringan, dan hidup.

 Setelah mengenalkan diri sebentar kepada anak-anak murid, guru itu malah mendongeng. Dia menceritakan kisah Cinderella. Tingkahnya bak aktor yang sedang bermonolog di atas panggung. Kadang dia menirukan suara Cinderella, mimiknya, gesturnya. Kadang dia berakting sebagai pangeran, atau sebagai tokoh lain.

Dia juga mengajak anak-anak untuk aktif sebagai penonton. Disapanya anak-anak, diajaknya mereka bertanya jawab. Ketika Cinderella tengah bingung mencari sepatu kacanya yang hilang, guru itu bertanya kepada anak-anak: “Adik-adik, sepatu saya di mana ya? Siapa yang bisa menemukan sepatu saya nanti saya kasih hadiah deh ...” (saya jadi ingat film animasi interaktif Dora The Explorer).

Selesai mendongeng, baru guru tersebut masuk ke inti materi pelajaran. Sebentar saja. Tidak berlama-lama. Jam pelajaran pun habis. Guru itu permisi, dan keluar dari ruang kelas untuk kemudian mengajar di kelas yang lain.

Anak-anak merasa hari itu merupakan hari yang istimewa, mengejutkan dan berkesan. Sepulangnya di rumah, mereka menceritakan pengalaman “aneh” tadi kepada keluarga masing-masing. Hari itu sekolah adalah tempat yang menyenangkan bagi mereka. Sekolah seperti taman bermain saja. Sepertinya mereka tidak akan melupakan materi pelajaran yang diberikan oleh guru baru tadi pada hari itu.

Ini adalah satu ilustrasi bagaimana seorang guru memanfaatkan musik sebagai media mengajar. Sudah sejak sangat lama sekali para pendidik yakin bahwa musik dapat memudahkan anak-anak belajar. Tapi baru belakangan ini saja para ilmuwan mengadakan percobaan untuk membuktikan kebenaran “keyakinan” tersebut. Hasilnya? Musik dapat membantu anak-anak belajar. Selain mempengaruhi kejiwaan anak-anak, musik juga mempengaruhi tumbuh-kembang otak mereka.

Otak memiliki sekurang-kurangnya empat macam gelombang: delta (0,5 – 3,5 Hz), teta ( 3,5 – 7 Hz), alfa (7 – 13 Hz), beta (13 – 25 Hz). Belajar paling baik dilakukan ketika otak kita dipenuhi oleh gelombang alfa. Pada momen ini, kondisi kita rileks, antara sadar dan tak sadar, dan siap menerima sugesti dari luar. Musik, khususnya musik klasik, mampu mengantarkan kita memasuki kondisi alfa. Masih ada cara lain untuk membawa anak-anak memasuki kondisi alfa, misalnya dengan memaparkan cerita lucu, membuat permainan kecil, dan senam otak (Chatib, 2011).

Memutar musik pada awal proses belajar di kelas adalah upaya “kecil” untuk menciptakan kondisi belajar yang rileks dan efektif. Anak-anak murid dibawa masuk ke dalam kondisi alfa. Setelah mereka rileks, pintu otak dan hati terbuka, belajar pun siap dimulai.

Selanjutnya, berhasil tidaknya proses mengajar-belajar bergantung kepada sejauh mana guru mengusai “seni” mendidik. Tatapi jelasnya, proses belajar yang dimulai dengan irama musik jauh lebih berhasil daripada proses belajar yang dimulai dengan instruksi, bentakan, atau keluh-kesah guru.

Tidak percaya? Silahkan buktikan sendiri di sekolah masing-masing. Saya percaya. Saya telah sering membuktikannya. Saat menulis artikel ini, saya sedang mendengar beberapa judul lagu klasik. Menulis sambil mendengar instrumentalia musik klasik terasa lebih enjoy dan lebih mengalir.

Aksi guru dalam ilustrasi di atas masih belum apa-apanya bila dibandingkan dengan eksperimentasi Sosaku Kobayashi, tokoh pendidikan Jepang. Ketika Perang Dunia II, Kobayashi mendirikan sekolah alternatif, Tomoe Gakuen. Proses mengajar-belajar sehari-hari dalam sekolah ini dipenuhi dengan musik. Bahkan dia menambahkan satu materi pelajaran khusus pada kurikulum Tomoe Gakuen: euritmik. Euritmik diciptakan oleh Dalcroze, guru dan musisi berkebangsaan Swiss.

Pada jam pelajaran euritmik, Kobayashi akan memainkan piano. Anak-anak muridnya bergerak mengikuti irama piano tersebut. Mereka boleh bergerak sesuka hati asalkan tidak saling bertabrakan. Jika nada merendah dan tempo melambat, gerakan anak-anak melambat. Jika nada meninggi dan tempo mencepat, anak-anak akan menggerak-gerakkan tubuhnya dengan cepat dan lincah. Diamati sekilas, kelas euritmik seperti kelas tari bebas.

Apa manfaat euritmik? Pertama, melatih tubuh agar sadar irama. Kedua, menyelaraskan perkembangan jiwa-raga anak-anak. Ketiga, membangkitkan imajinasi dan merangsang kreativitas. Mempraktekkan eurtimik, menurut Kobayashi, membuat kepribadian anak-anak bersifat ritmik. Kepribadian yang ritmik adalah kepribadian yang kuat, indah, selaras dengan alam, dan mematuhi hukum-hukumnya (Kuroyanagi, 1981). Dan keempat, euritmik tentu bermanfaat untuk membiasakan anak-anak berada dalam kondisi alfa.

Jadi, sudahkah gurumu memanfaatkan musik sebagai media mengajar?


Jogjakarta, Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam