10/01/12

artikel gagal


Dia doyan sekali sama perempuan. Istrinya tiga. Sebelum menganut agama Islam, dia adalah seorang Katholik. Dia tipe muslim yang tak rajin sembahyang. Soal kejawen, dia paham betul. Dia masih termasuk keluarga keraton Surakarta. Sejak SD dia sudah belajar kejawen, baik teori maupun praktek. Ketika remaja dia pernah membuat Umar Kayam naik pitam. Apa pasal? Saat berlatih teater, dia suka semaunya sendiri, sulit diatur, egois, sok, tidak bisa bekerjasama. Dia adalah binatang jalang tulen. Dia adalah Rendra, lengkapnya: Wahyu Sulaiman Rendra.

Tak dapat disangkal, Rendra adalah wong agung dalam sejarah kebudayaan kita. Dia mempelopori munculnya sajak-sajak pamflet. Isinya berupa kritik lugas terhadap kekuasaan. Diksinya tidak diindah-indahkan, tidak dirumit-rumitkan, tetapi tampil apa adanya, sederhana, sehari-hari, dan hampir tanpa metafor yang melangit. Semua kalangan bisa mengonsumsi sajak itu. Sajak pamflet adalah wujud kongkret dari konsep sastra yang terlibat (manjing ing sak njroning kahanan).

Namun, menurut Bakdi Sumanto, walaupun menulis sajak pamflet, Rendra tidak sedang berpolitik praktis. Dia mengritik kekuasaan dalam kapasitasnya sebagai penyair, bukan sebagai politisi. Rendra tidak bisa disamakan dengan para sastrawan Lekra. Lekra menempatkan sastra di bawah komando politik. Penyair adalah juru bicara partai. Sedangkan bagi Rendra, tampaknya sastra tidak boleh dikendalikan oleh politik, justru sebaliknya, sastralah yang harus mengendalikan politik. Sastra adalah kusir delman yang mengendalikan kuda politik.

Sikap terlibat tapi tidak terseret arus ini adalah ciri khas Rendra. Pada tahun 1970, mahasiswa mulai muntab terhadap Soeharto. Presiden baru itu ternyata tidak lebih baik daripada seniornya, Soekarno. Para mahasiswa berniat menggulingkan Soeharto. Tapi posisi mereka sulit. Militer memihak Soeharto. Kondisi ini berbeda dengan ketika mereka berencana menggulingkan Soekarno pada tahun 1960-an. Saat itu militer memihak mahasiswa. Meskipun paham bahwa mereka akan tidak berhasil menggulingkan Soeharto dan akan dilumat oleh militer, namun para mahasiswa itu tetap bersikeras mengadakan unjuk rasa meminta Soeharto turun tahta. Suasana memanas. Tentara diturunkan untuk menghadang dan meredakan aksi mahasiswa.

Rendra sebetulnya juga tidak setuju dengan tindak-tanduk Soeharto. Tapi Rendra memilih tidak bergabung dalam kelimunan mahasiswa. Rendra membuat aksi sendiri. Dia mengajak beberapa temannya untuk menyelenggarakan apa yang disebut oleh Goenawan Mohamad sebagai malam tirakatan. Malam itu, di halaman Istana Merdeka mereka duduk layaknya pertapa yang sedang bersemedi. Begitulah cara Rendra melawan ketidakadilan.

Momen Malam Tirakatan itu rupanya menjadi bahan renungan panjang bagi Rendra. Refleksinya terhadap peristiwa tersebut membuahkan naskah teater berjudul: Mastodon dan Burung Kondor. Bengkel Teater pertama kali mementaskan naskah ini di ITB, kemudian di UGM. Memang, selain sebagai penyair, Rendra juga dikenal sebagai pembaharu dalam sejarah teater Indonesia. Rendra pernah membuat gebrakan dengan mementaskan teater minikata.

Jogja, Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam