07/01/12

cara


WALAUPUN memiliki sepasang telinga, manusia adalah makhluk yang paling tidak suka mendengarkan nasihat orang lain, terlebih bila nasihat itu diungkapkan dengan cara yang menggurui dan cenderung menyalahkan. Manusia selalu saja minta didengar, sebelum dia mau mendengarkan. Cara terampuh untuk menasihati dan mendidik adalah tidak dengan kata-kata. Orang baru sadar bahwa dia salah apabila dia telah kena batunya, merasakan sendiri akibat perbuatannya. Barangakali karena alasan ini dibuatlah pepatah: guru terbaik adalah pengalaman.

Maka, sebetulnya metode ceramah tidak tepat digunakan ketika mengajarkan mata pelajaran agama atau kewarganegaraan. Apalagi metode menghapal. Saya jamin, siswa hanya akan pandai bicara, tetapi hatinya tak pernah tersentuh dan tergerak sehingga sikap sehari-harinya sama sekali tak berubah. Sebelum masuk kelas, dia tak kenal tuhan. Setelah masuk kelas, dia tambah tak kenal dengan tuhan. Sebelum belajar materi “keterbukaan”, dia adalah siswa yang tertutup dan pikirannya dipenuhi dengan prasangka keliru terhadap penganut agama lain. Setelah mempelajarinya, dia malah semakin membenci, dan siap meneror, pemeluk agama lain. Ruang kelas tidak lagi berfungsi sebagai tempat belajar. Ruang kelas adalah tempat di mana prasangka buruk ditanam, dendam dipupuk, kebencian disulut, pertumpahan darah dibenarkan, dan kekerasan dirayakan. Ternyata kita sekolah hanya untuk belajar melampiaskan amarah, berkelahi, menggunjing, dan memfitnah. Jika begitu, “lebih baik tidak sekolah,” kata Sujono Samba, staf pengajar di  SMP Alternatif Qoryah Tayyibah, Kalibening, Salatiga.

Metode ceramah dan menghapal sudah ketinggalan zaman dan tak tepat lagi  digunakan. Zaman bergerak. Problematika zaman berkembang dan semangat zaman berubah. Perkembangan teknologi informasi yang sedemikian cepat mengharuskan para guru merubah paradigma kependidikannya. Zaman menuntut baik guru maupun siswa bersikap terbuka dan arif terhadap perbedaan. Kemudian, bagaimana mengajarkan, misalnya materi “keterbukaan”, kepada para siswa jika tidak menggunakan metode ceramah?

Sebagaimana teknologi informasi berkembang dengan cepatnya, ilmu pedagogi juga berkembang sangat cepat. Dengan terus mengadakan dialog bersama disiplin ilmu lain, misalnya filsafat, psikologi, sosiologi, neorologi, musikologi, manajemen, dan lain sebagainya, ilmu ini sekarang kian kaya dan berhasil guna. Metode-metode mengajar baru ditemukan, dieksperimentasikan, disebarluaskan, dan selalu disempurnakan. Jadi, tak usah khawatir, ada banyak jalan menuju Roma, ada banyak metode untuk mengajarkan keterbukaan kepada para siswa.

Sebagai contoh,  siswa muslim diajak berkomunikasi langsung dengan siswa kristen, bila perlu saling kunjung-mengunjungi tempat ibadah masing-masing, tentu dengan tujuan untuk saling lebih mengenal satu sama lain. Contoh lain, guru bisa menyusun naskah drama yang isinya mendorong siswa muslim dan konghucu untuk mengeratkan persahabatan dan membabat habis prasangka buruk yang tertanam di otak mereka. Selanjutnya, para siswa itu diajak untuk mementaskan drama tersebut. Pementasan diadakan secara maraton, pertama di sekolah, kedua di masjid, ketiga di kelenteng, keempat (mungkin) di balai desa. Siswa muslim berperan sebagai tokoh agama Konghucu. Sedangkan siswa konghucu berperan sebagai santri yang telah bertahun-tahun mondok di pesantren salafi. Sebagian siswa lain berperan sebagai figuran, sisanya sebagai penonton-yang-aktif. Seorang ustadz di sebuah sekolah Islam dapat membawa pastor ke ruang kelasnya untuk menceritakan banyak hal mengenai agama kristen kepada para santri. Dengan cara mengajar seperti itu, siswa selain akan memahami keterbukaan, juga akan “mengalami” keterbukaan. Ini sejalan dengan prinsip filsafat eksistensialisme dan paradigma konstruktivisme. Tanpa harus banyak bicara dan banyak kecewa, guru telah mendidik siswanya untuk menghayati makna keterbukaan.

Siswa tidak sekedar pandai bicara tentang toleransi dan keterbukaan seperti para politisi atau demagog. Siswa dengan senang hati akan mempraktekkan toleransi dan keterbukaan dalam kehidupan sehari-harinya. Keluarganya akan terkesima ketika melihatnya dapat membangun jalinan persahabat yang erat dan harmonis dengan pemeluk agama lain. Dua anak berbeda agama itu saling tolong-menolong. Jika yang satu sakit, yang lain mengunjungi, merawatnya sampai sembuh. Demikian sebaliknya. Agama tidak menjadi penghalang persahabatan mereka. Melihat betapa besarnya manfaat keterbukaan, seluruh anggota keluarga itu turut serta bersikap terbuka, mencontoh perilaku si anak. Perlahan-lahan keluarga tersebut berubah menjadi keluarga yang terbuka, ramah dan apresiatif terhadap pemeluk agama lain. Dengan demikian, siswa itu pun telah menjadi inspirasi bagi keluarganya. Keluarga itu kemudian menjadi inspirasi bagai desanya. Indah, bukan?
Jogja, 7 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam