14/01/12

evaluasi


Dihitung-hitung, telah lebih dua tahun saya menulis puisi. Jumlah puisi saya lebih dari seratus, termasuk puisi yang tak sengaja digubah. Selama seminggu ini, saya mengumpulkan dan menyeleksi puisi-puisi itu. Saya ingin menerbitkan antologi puisi perdana. Setelah saya pilih, ternyata terkumpul kurang dari 50 biji puisi yang menurut saya pantas untuk diabadikan.

Sambil menyunting, saya membaca dan membaca ulang puisi-puisi itu. Setelah bacaan pertama, saya berpendapat: puisi saya boleh juga, tak kalah lah kalau diadu dengan puisi para penyair koran. Setelah bacaan kedua, saya berpikir: ada yang kurang dari puisi-puisi ini. Tapi apa itu? Setelah bacaan ketiga, saya mulai loyo, dan berkesimpulan: puisi-puisi ini membosankan. Tema, diksi, dan imajinya mengulang-ulang, klise sekali. Komposisi masih kasar dan semrawut. Selain itu, cenderung gelap dan tak lugas. Terlalu disulitrumitkan. Jangankan orang lain, saya sendiri kepayahan memahami makna beberapa puisi saya. Tapi, mengapa saya menulis puisi seperti itu? Tentu ada alasannya. Setelah bacaan keempat, saya ragu untuk menerbitkan kumpulan puisi itu. Saya merasa tak pantas. Saya tak berhasil menulis puisi yang berkualitas. Setelah bacaan kelima, saya bertanya: mengapa saya tak berhasil menulis puisi? Apa yang salah dalam proses kreasi saya?

Selama ini, saya menulis puisi dengan metode automatic writting. Kata yang terlintas saya tangkap, saya catat, kemudian saya biarkan kata itu mengalir menemukan kata berikutnya, begitu seterusnya hingga ujung puisi. Atau: sepenggal kalimat yang datang tiba-tiba saya rekam dan saya kembangkan menjadi sebuah puisi. Kata dan kalimat tak diundang itu bisa merupakan kristalisasi dari sebuah ide atau hanya kata dan kalimat yang datang menumpang lewat.

Automatic writting juga digunakan sebagai metode melukis. Automatic writting adalah metode kreasi yang “dicuri” kaum surealis dari klinik psikoanalisa. Pasien yang mengalami gangguan jiwa dapat disembuhkan apabila dia menulis atau melukis segala yang terlintas dalam benaknya secara bebas. Tulisan itu membantu psikolog menafsirkan “ struktur racun rohani” yang mengendap dalam alam bawah sadar kliennya. Usai menafsirkan dan membuat diagnosa, psikolog memberi sugesti kepada kliennya. Kabarnya, jika “upacara” ini dilakukan secara berulang-ulang dan kontinyu, pasien akan bisa waras kembali.

Anda bisa menggunakan metode ini ketika hati lagi galau. Caranya, cari buku diari, tulis semua suara yang menyesaki dada Anda. Rampung menulis, saya jamin Anda akan merasa lebih lega, plong, walaupun masalah tidak akan tuntas hanya dengan mencurahkan perasaan ke dalam buku diari. Paling tidak, strategi ini menolong Anda untuk membaca keadaan secara lebih jernih. Anda jadi lebih mengenal seluk-beluk permasalahan. Anda menjadi paham kenapa Anda berbuat A dan tidak berbuat B sementara orang lain berbuat X dan tidak berbuat Y. Singkatnya, dengan strategi ini, perlahan-lahan Anda akan mengenal siapa sejatinya diri Anda. Kata orang bijak, orang yang mengenal dirinya akan mengambil keputusan yang cerdas dan tepat sehingga masalah lekas terselesaikan dengan baik.

Memang itulah tujuan saya menulis puisi secara automatic writting. Saya ingin mengenal diri saya. Saya ingin tahu mengapa saya begini, di mana dunia saya, dan apa peran yang diamanatkan tuhan kepada saya di dunia ini. Setelah dua tahun lebih menulis puisi, apa saya telah mengenal diri saya? Belum. Tapi saya telah sedikit mampu menemukan garis sambung antara masa lalu, masa kini, dan masa depan saya, biarpun garis sambung itu kelihatan tak terlalu jelas, masih samar, hanya bayangan-bayangan sekejap belaka. Tampaknya, saya masih harus melanjutkan menulis puisi dengan metode automatic writting.

Namun saya ingin pula mencoba metode lain, misalnya metode yang lebih sistematis, dengan prolog, pokok, dan epilog yang menyusun sebuah cerita. Saya ingin memperkaya diksi dan bereksperimentasi dengan metafora-metafora yang tak sempit dan itu-itu melulu. Sampai saat ini saya belum mau menentukan tema khas puisi-puisi saya. Soal tema, lebih baik mengalir saja. Demikian pula soal paradigma dan perspektif. Saya tidak mau masuk—dan sepertinya tak bisa masuk—dalam sangkar ideologi tertentu. Saya juga tertarik dengan pantun dan mantra, dua ragam sastra lisan Melayu. Saya kepingin belajar tembang Jawa.

Pastinya, waktu dua tahun belum cukup. Proses kreatif masih akan sangat lama lagi. Saya akan mencoba berkreasi dengan metode-metode lainnya, bila mungkin, menemukan metode kreasi sendiri dan bentuk puisi sendiri yang berbeda dengan bentuk yang sudah ada selama ini.

Puisi-puisi saya barangkali tidak akan menyebabkan saya dibaptis sebagai penyair. Akan tetapi, puisi-puisi saya adalah tanda bahwa saya ada, hidup, dan berkarya; bahwa saya adalah manusia. Saya bangga dengan puisi gubahan saya, bahkan puisi yang paling gagal sekali pun. Puisi-puisi itu adalah iluminasi, dan bagian dari, diri saya.

Yogyakarta, Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam