07/01/12

studi


SELAMA sekitar tiga bulan ini saya mencoba untuk lebih intensif belajar ilmu mendidik. Ini saya lakukan bukan karena saya ingin segera lulus. Sedari semester pertama, saya sengaja memperlama masa kuliah. Tujuannya: supaya kepribadian saya menjadi lebih matang dan hidup, selain memang ingin memperpanjang masa bermain-main dan berpetualang.

Saya telusuri sejarah pendidikan di Indonesia. Saya lacak apa tujuan puncaknya. Saya perhatikan bagaimana aplikasi lapangannya. Saya baca buku yang ditulis oleh beberapa guru dan pakar pendidikan kita. Setelah melakoni hal itu secara serabutan dan serampangan, saya lantas mengambil beberapa kesimpulan tentatif. Di sini saya tulis lima kesimpulan yang menurut saya paling penting.

Pertama, terbentang jarak yang begitu lebar antara cita-cita pendidikan nasional dengan penerapannya di lapangan. Bahkan bukan sekedar jarak, melainkan kontras, seperti kontras antara hitam dan putih atau langit dan bumi. Apa yang telah letih-letih dirumuskan oleh para ahli pedagogis kita, kurang, bahkan tidak, dipraktekkan, sedangkan apa yang dicoba dihindari oleh mereka justru dipraktekkan dengan massif. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara bahkan dipetimatikan oleh Taman Siswa, lembaga pendidikan alternatif yang dia bangun dan dia rancang sebagai purwarupa pendidikan Indonesia. Kalau pun masih sempat diseminarkan, paling jauh hanya dimaksudkan sebagai slogan promosi belaka.

Kedua, pendidikan formal yang dikelola oleh pemerintah kurang bisa diharapkan berfungsi sebagaimana seharusnya. Perhatian harus beralih pada pengembangan pendidikan informal atau pendidikan luar sekolah. Jumlah sekolah alternatif perlu diperbanyak dan disebarluaskan hingga ke daerah-daerah. Mengharapkan profesionalitas kinerja pemerintah sama halnya dengan menyemai benih kekecewaan, kemarahan, dan keputusasaan. Masyarakat harus mandiri dan mengorganisir diri membangun pusat-pusat belajar sendiri.

Ketiga, sekolah memang bertanggung jawab mendidik anak-anak. Tetapi kewajiban mendidik tidak bisa dan tidak mungkin begitu saja diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Sekolah hanya membantu anak-anak belajar dan membantu orang tua mengajari anak-anak cara belajar. Pendidik pertama dan utama adalah orang tua. Artinya, sekolah dan masyarakat, guru dan orang tua, harus bekerjasama dalam rangka baik menciptakan lingkungan belajar yang kondusif maupun menolong anak belajar menemukan jati dirinya.

Keempat, pendidikan harus adaptif dengan situasi kontemporer dan harus antisipatif. Pendidikan tidak boleh melawan arus zaman dan tidak boleh jadul. Jika Indonesia masih ingin sekurang-kurangnya survive di kancah kompetisi global, para pelajar SD kita sudah harus akrab dengan teknologi, bahasa, dan budaya digital. Sayang sekali, di sana-sini masih banyak kendala yang menghambat realisasi angan-angan ini.

Kelima, tampaknya saat ini sedang terjadi gelombang reformasi pendidikan, menyusul gelombang demokrasi ketiga, gelombang revolusi komunikasi-informasi, dan terpolarisasinya tata ekonomi global. Ketidakpuasan warganegara terhadap sistem pendidikan aktual memuncak. Kurikulum baru diujicobakan di sekolah-sekolah. Sebagian guru telah menanggalkan paradigma klasik dan beranjak memakai paradigma baru yang lebih kritis dan terbuka. Sekolah-sekolah jenis baru didirikan. Ini, sejauh saya ketahui, merupakan gelombang reformasi pendidikan yang kedua setelah periode politik-etis. Akan tetapi, gelombang reformasi pendidikan ini masih terpusat di pulau Jawa. Semoga, dalam jangka waktu dekat, para sarjana pendidikan lokal akan tergerak untuk merombak sistem pengajaran di provinsinya.

Yogya, 2 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam