16/01/12

Melunasi Janji Kemerdekaan


Judul          : Indonesia Mengajar: 
      Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Negeri
Penulis       : Pengajar Muda
Penerbit     : Bentang
Cetakan      : I, November 2011
Tebal           : xviii + 322 halaman
ISBN            : 978-602-8811-57-6






APA janji kemerdekaan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, telah terlunasi? Belum lunas tuntas. Banyak anak Indonesia tidak memperoleh pendidikan. Jika pun memperoleh, pendidikan yang mereka terima tak bisa dikatakan layak.

Kondisi sekolah di mana mereka belajar memprihatinkan. Lokasinya terpencil, bahkan terisolasi dari modernitas kota. Fasilitas serba kurang. Jumlah guru terbatas, tak sebanding dengan jumlah siswa. Sementara itu, metode mengajar guru-guru ini ketinggalan zaman, menumpulkan kreativitas dan melumpuhkan potensi siswa.

Anis Baswedan tidak bisa tinggal diam menatap kenyataan menyedihkan itu. Dia bertindak, bergerak. Tak puas sekadar mengutuksumpahi kenyataan, dia menyalakan lilin dengan mendirikan Yayasan Indonesia Mengajar pada 2009.

Yayasan ini membuat gerakan Indonesia Mengajar: merekrut anak-anak muda terbaik Indonesia untuk selama setahun ditempatkan sebagai guru Sekolah Dasar (SD) di pelosok-pelosok tanah air. Pada trip pertama, terkumpul 51 pengajar muda. Mereka ditempatkan secara terpencar di empat kabupaten tertinggal: Bengkalis (Riau), Halmahera Selatan (Maluku Utara), Majene (Sulawesi Barat), Paser (Kalimantan Timur). Anak-anak muda “langka” tersebut rela meninggalkan kenyamanan kota, merantau jauh dari keluarga demi mengabdikan diri kepada bangsa. Keputusan yang berani dan patut diberi puji-sanjung.

Di lokasi penempatan, para pengajar muda tak hanya mengajar, mereka juga belajar. Mereka belajar hidup dalam keterbatasan. Mereka belajar mengenali problematika sehari-hari, dan manunggal dengan, masyarakat akar rumput. Mereka belajar menjadi pemimpin. Mereka belajar menginspirasi siswa-siswi mereka. Mereka belajar menjadi guru yang mampu menemukan dan melambungkan potensi anak didiknya.

Dalam buku ini, Indonesia Mengajar: Kisah Para Pengajar Muda di Pelosok Tanah Air, ke-51 pengajar muda itu menceritakan pengalaman mereka ketika bertugas di lapangan. Mereka bercerita tentang “keistimewaan” anak-anak didik mereka, tentang bagaimana mereka berjuang mempertahankan dan memupuk optimesme di tengah kondisi yang menekan dan serba sulit, tentang bagaimana mereka belajar untuk lebih berendah hati, tentang usaha mereka untuk senantiasa sabar dalam merawat dan menularkan ketulusan.  

Sebagai anak muda, tentulah cerita mereka dibumbui dengan idealisme dan keputuasaan, harapan dan kekecewaan, tangis dan tawa, kegagalan dan keberhasilan, keluh dan syukur, kegalauan dan keceriaan, heroisme dan keminderan. Tetapi justru bumbu-bumbu itu yang menjadikan buku ini begitu menyentuh, menggerakkan, enak dibaca, dan perlu. Tak percaya? Tampaknya Anda memang harus segera membaca buku yang diterbitkan oleh Bentang ini.

Bumbu-bumbu itu juga membuktikan bahwa mereka sungguh-sungguh belajar menjadi pemimpin, sekaligus menunjukkan bahwa Yayasan Indonesia Mengajar telah cukup berhasil menunaikan misinya yang kedua: Menjadi wahana belajar kepemimpinan bagi anak-anak muda terbaik Indonesia agar tak semata memiliki kompetensi kelas dunia, tetapi juga pemahaman akar rumput. Misi pertamanya yaitu mengisi kekurangan guru berkualitas di daerah yang membutuhkan.

Ternyata, keberhasilan gerakan Indonesia Mengajar menginspirasi Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) untuk menyelenggarakan gerakan serupa. Padahal, berdirinya Indonesia Mengajar justru diinspirasi oleh program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) pada 1960-an yang diadakan UGM. Inisiator program ini adalah Koesnadi Hardjasoemantri, eks tentara pelajar yang waktu itu masih mahasiswa dan kelak, pada 1986-1990, menjadi rektor UGM.

PTM sendiri tampaknya merupakan purwarupa dari apa yang saat ini kita kenal sebagai Kuliah Kerja Nyata (KKN). Para mahasiswa dikirim ke daerah, khususnya daerah luar Jawa, untuk bertugas sebagai guru Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam beberapa kasus, selain mengajar, mereka mendirikan SMA baru.

Kiprah para pengajar muda, sebagaimana tertuang dalam buku ini, memang tidak segemilang mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam PTM. Mereka hanya mengajar. Tidak mendirikan sekolah. Tetapi, ketika masyarakat Indonesia hampir kehilangan harapan dan teladan seperti saat ini, apa yang mereka lakukan telah menginspirasi banyak kalangan. Mata kita pun terbuka, dan kita sadar: idealisme dan ketulusan itu rupanya masih ada, mimpi dan harapan masih menyala.

Kepada publik mereka memperlihatkan bahwa tidak semua anak muda Indonesia hanyut dalam arus budaya pop, hedonisme, dan pragmatisme. Masih ada banyak sekali anak muda Indonesia yang bermental tangguh, berkarakter matang, bervisi jauh ke depan, berkompetensi global, yang mau blusukan di pedalaman untuk mengajar dengan sepenuh jiwa dan raga.

Apa anak-anak muda Jambi juga dapat menginspirasi, mampu menjadi teladan baik? Pasti dapat. Pasti mampu. Asal, lembaga pendidikan tinggi di sini, semisal Universitas Negeri Jambi (UNJA) atau IAIN STS Jambi, memberikan wadah bagi mereka untuk membuktikan kemampuan mereka dengan menyelenggarakan gerakan semacam Indonesia Mengajar, atau gerakan lain yang lebih progresif. Saya percaya, kompetensi dan potensi anak-anak muda Jambi tidak lebih rendah (bahkan dalam beberapa aspek lebih tinggi) ketimbang ke-51 pengajar muda yang kisahnya dimuat dalam buku ini.

Akhirnya, selamat membaca buku “bermutu” ini, dan selamat bergerak dalam rangka melunasi janji kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa. Salam.

jogjakarta, januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam