10/01/12

nyawang


Sepasang sejoli lagi nge-date di taman kota, duduk saling sender di bangku kayu, di bawah naungan temaram cahaya lampu merkuri. Mesra sekali. Sepotong bulan menggantung di tepi langit malam. Bintang-bintang berkedap-kedip. Dan, blessss, ada bintang jatuh, terjun melengkung dari sebelah barat menuju ke sisi timur. Kata orang, ketika ada bintang jatuh, maka buatlah permohonan. Dijamin mustajab. Maka mereka pun diam-diam berdoa: semoga ikatan kasih kami langgeng, sampai kakek-nenek, sampai liang lahat.

Saat itu tahun 1965 ketika hawa politik nasional semakin memanas, prasangka menebal, kebencian memuncak, dan amarah bagai bom waktu yang tinggal tunggu detik meledaknya. Beberapa kader PKI juga melihat bintang jatuh itu. Bukan. Saat itu bukan saatnya untuk membuat permohonan. Menurut firasat mereka, bintang jatuh itu—mereka menyebutnya sebagai lintang kemukus—bukan pertanda mujur. Sebaliknya, lintang kemukus adalah sinyal pagebluk. Tidak lama lagi bencana besar akan datang. Mungkin lindu. Mungkin wedus gembel. Mungkin perang besar yang berdarah-darah. Kemungkinan terburuk apapun bisa terjadi. Firasat mereka tepat. Tahun 1965-1967 adalah tahun banjir darah. Jutaan orang tak bersalah digeren dan digorok,  kemudian dikubur hidup-hidup, dibiarkan saja, atau dihanyutkan di Bengawan Solo. Konon, karena saking banyaknya mayat yang dihanyutkan di sana, air sungai ini memerah.

Lintang kemukus ternyata netral. Orang yang berbeda akan memaknai lintang kemukus secara berbeda pula. Pemuda dimabuk asmara yang dibesarkan di lingkungan urban membaca lintang kemukus sebagai lambang harapan. Lintang kemukus adalah masa depan surgawinya. Sedangkan kader PKI yang hidup di lingkungan pedesaan dengan tradisi kejawen yang kental membaca lintang kemukus sebagai lambang malapetaka. Lintang kemukus adalah pesan kiamat yang dikirimkan oleh betara kala. Perbedaan cara baca inilah yang “barangkali” disebut sebagai perbedaan pandangan dunia (world view).

Kita sering luput mempelajari seluk-beluk pandangan dunia: apa sebenarnya pandangan dunia itu, bagaimana cara pemerolehan dan cara kerjanya, bagaimana mengubahnya, dan seterusnya. Padahal pandangan dunia—Bakdi Sumanto menyebutnya sebagai “cara nyawang”—selain menentukan tingkah polah sehari-hari kita, juga menentukan arah hidup mana yang hendak kita pilih. Ringkasnya, baik-buruknya perjalanan hidup seseorang ditentukan oleh cara nyawangnya. Bila cara nyawangnya positif, maka hidupnya akan positif. Dia akan mengarungi belantara kehidupan dengan optimisme yang tinggi dan kepercayaan diri yang kukuh. Tetapi bila cara nyawangnya negatif, maka kehidupan yang secerah apapun akan selalu tampak mendung di matanya. Masa lalunya adalah kebusukan. Masa kininya adalah neraka. Masa depannya adalah kegelapan.

Selama pemuda dimabuk asmara tadi menyawang segala sesuatu secara positif, maka hidup akan indah belaka baginya. Doanya sangat mungkin akan terkabul. Selama kader PKI tadi menyawang segala sesuatu secara negatif, maka hidup baginya adalah barisan kepahitan tanpa akhir yang menghimpit. Firasat buruknya sangat mungkin akan jadi kenyataan. Cara nyawang adalah perkara sepele, tapi penting.

Yogya, 9 januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam