10/07/12

Jawa dalam Orang-orang Proyek


1.      Saya suka dengan gaya Tohari mengolah latar tempat dalam novel ini, dan agaknya ini memang kelebihan Tohari dibanding prosais lainnya. Gaya Tohari dalam mengolah latar tempat ini saya temukan juga dalam beberapa novelnya yang lain.

Latar tempat di dalam Orang-orang Proyek (OOP) tidak hanya berfungsi sebagai tempat di mana tokoh-tokoh saling berinteraksi sehingga memunculkan jalinan peristiwa, tetapi disiasati pula sebagai pembangun suasana dan sebagai pralambang-pralambang. Dengan metode pelataran seperti itu, pembaca seolah diberi sasmita, tanda, atau ancar-ancar ke arah mana peristiwa akan berjalan. Di sinilah tampaknya Tohari memainkan unsur tegangan (suspense) dan kejutan (surprise).

Suasana dan pralambang itu bukan tidak realistis, sebaliknya, justru sangat realitis. Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali ditemukan suasana, terutama pralambang-pralambang. Suasana gerah, artinya barangkali akan turun hujan. Pralambang burung penjrak hinggap dan berkicau di sekitar rumah, artinya barangkali akan datang tamu dari jauh. Dan firasat dan pralambang ini memang sangat kental dalam tradisi masyarakat Jawa. Dan memang, Tohari memanfaatkan benar khazanah kultural Jawa dalam OOP.

2.      Buktinya, ia menyisipkan tembang asmaradana yang berisi nasihat-nasihat hidup di dalam OOP. Bukti lainnya, ia mencuplik, dalam salah satu dialog antara Pak Tarya dan Kabul, peribahasa yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Peribahasa itu mempunyai kandungan kearifan Jawa yang sangat mendalam dan mendasar.

3.      Selain mewarnai isi, kultur Jawa rupanya mewarnai bentuk novel OOP juga. Tokoh Pak Tarya adalah tokoh yang tidak terlalu penting dalam plot novel secara keseluruhan. Garis besar cerita novel ini tidak akan berubah jika nama Pak Tarya dicoret. Meskipun demikian, kehadiran Pak Tarya tetap fungsional; fungsinya tidak terdapat dalam plot, melainkan dalam miniatur (mikrokosmos imajiner) kultur Jawa yang sadar atau tidak sadar dikonstruksi Tohari dalam OOP. Pak Tarya adalah tempat curhat, mengadu, meminta wejangan sang tokoh utama, sang pahlawan, Kabul. Ketika tertimpa masalah, Kabul bertemu dengan Pak Tarya, dan Pak Tarya seakan-akan menuntun batinnya. Pak Tarya berfungsi selaku pendamping yang mengawani Kabul. Pak Tarya adalah punakawan, adalah Semar bagi Kabul si Arjuna. Jadi, struktur wayang merembes ke dalam OOP. Fenomena perembesan ini pasti akan sangat bagus bila dikaji dengan teori estetika resepsi atau pendekatan intertekstualitas.

4.      Masih ada unsur lain yang kelihatannya tidak fungsional dalam OOP, tetapi ketidakfungsionalan tersebut tidak bisa terburu-buru dikategorikan sebagai digresi atau anakroni yang menjatuhkan nilai estetis novel ini. Unsur yang kelihatannya tidak fungsional itu adalah kisah Kang Martasatang mencari anaknya yang hilang, Sawin. Kang Martasatang mengira Sawin bukannya hilang, tetapi dijadikan tumbal atau jengger dalam pembangunan jembatan Sungai Cibawor.

Pertanyaannya, mengapa Tohari menyelipkan kisah Kang Martasatang mencari Sawin? Masyarakat desa di mana jembatan Sungai Cibawor dibangun masih percaya dengan klenik semacam itu. Kepercayaan terhadap klenik serta dunia perdukunan itu direpresentasikan melalui sosok, terutama, Kang Martasatang.

Kepercayaan ini, menurut saya, mengganggu dan merusak panalaran yang sehat, jernih, dan rasional. Karena percaya dengan klenik, dan tidak terbiasa bernalar secara sehat, masyarakat desa tidak dapat dengan cepat mengendus adanya praktik korupsi di proyek. Kalau pun seiring mengelindingnya waktu mereka akhirnya mengetahui praktik korupsi tersebut, mereka tidak akan secara terbuka mengutuk dan menindak tegas para koruptor yang punya status sosial yang tinggi. Mengapa? Masyarakat desa mungkin menduga bawah dukun para koruptor lebih canggih daripada dukun mereka, sehingga perlawanan macam apa pun akan berakhir sia-sia saja.

Dengan menyelipkan kisah Kang Martasatang mencari Sawin, Tohari secara tak langsung bermaksud menyampaikan kepada pembaca bahwa pemberantasan korupsi bermula dari dikesampingkannya penalaran yang tidak terterima akal, dan diterapkannya penalaran yang rasional. Korupsi bakal sulit diberantas hingga ke akar-akarnya apabila masyarakat masih sedemikian percaya dengan klenik. Kontrol sosial, juga mekanisme demokrasi politik, tidak akan berjalan dengan baik. Dengan demikian, kisah Kang Martasatang sangat fungsional, dalam arti mendukung tema novel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam