10/07/12

Ma Yan



Judul          : Ma Yan:
                   Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di Cina untuk Meraih Pendidikan
Penulis        : Sanie B. Kuncoro
Penerbit      : Penerbit Bentang
Cetakan ke : I, Mei 2011
Halaman     : viii + 228 hlm


Kebijakan “lompatan jauh ke depan” yang digulirkan empat dekade silam (1958-1962) oleh Mao Zedong, sang pemimpin besar Cina, ternyata kini (2000-2002) berdampak sangat buruk: merusak alam, menimbulkan penggurunan di beberapa wilayah agraris, dan akhirnya menjerat para petani yang bermukim di wilayah tersebut dalam kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka hampir-hampir tak bisa bercocok tanam lagi karena air sangat sulit diperoleh. Padahal, penghidupan mereka terutama bersumber dari hasil pertanian.

Desa Zhangjiashu termasuk wilayah agraris yang menjadi korban kebijakan “lompatan jauh ke depan”. Di desa yang mendapat sebutan sebagai “dataran yang dahaga” itulah Ma Yan beserta ayah (Ma Dongji), ibu (Bai Juhua), dan dua adik laki-lakinya (Ma Yichao dan Ma Yiting) tinggal. Seperti keluarga-keluarga lain di desa itu, mereka adalah keluarga muslim yang relatif taat, setidaknya secara formal-ritual.

Meskipun desa itu adalah desa Islam, tetapi tradisi patriarkat masih mengakar. Harga perempuan jauh di bawah harga laki-laki. Perempuan tidak perlu diberi pendidikan tinggi-tinggi, toh kelak mereka akan menikah, melahirkan, menjadi ibu rumah tangga, dan kembali ke dapur. Lebih menguntungkan memberi pendidikan tinggi bagi anak laki-laki daripada anak perempuan. Selain tidak mendapat prioritas pendidikan, anak perempuan dituntut untuk selalu patuh tanpa syarat terhadap segala perintah orang tua, juga dalam soal perjodohan.

Ma Yan kecil yang cerdas dan haus pendidikan awalnya tidak memahami nilai tradisional yang dianut masyarakat desanya itu. Dengan bersemangat, bersama Ma Yichao tiap minggu ia pergi-pulang berjalan kaki ke sekolah-asramanya yang terletak di kota Yuwang, 20 kilometer jaraknya dari desa Zhangjiashu. Jarak sejauh itu ditempuh selama empat sampai lima jam. Jalur Zhangjiashu-Yuwang adalah jalur yang berbahaya, lebih-lebih bagi anak perempuan sekecil Ma Yan. Jalur berdebu itu diapit jurang-jurang, penuh dengan dakian dan turunan yang curam serta celah lebar di antara karang terjal. Tetapi bahaya dalam perjalanan tidak selesai sampai di sini. Masih mengintai bahaya lain: hadangan ular-ular yang kelaparan dan para pencuri. Sebenarnya, untuk sampai ke sekolah-asramanya, Ma Yan bisa menumpang traktor. Tetapi menumpang traktor tidak gratis, harus membayar ongkos sebesar satu yuan, jumlah yang sangat besar bagi keluarga Ma Yan.

Semangat belajar Ma Yan di sekolah-asramanya pun tinggi. Ia ingin meraih prestasi sesempurna-sempurnanya demi menggapai masa depan yang lebih cerah, lebih sejahtera, sehingga bisa membahagiakan ibu-ayahnya. Bahkan, ketika Ma Yan mengalami dua kali kegagalan, yakni kegagalan dalam ujian sekolah dan kegagalan dalam ujian seleksi masuk sekolah menengah putri, semangat belajar Ma Yan tidak lantas surut. Ia terus berpikir positif. Pada ujian sekolah berikutnya, ia meraih peringkat kedua.

Bai Juhua merasa bangga dan gembira dengan prestasi anak perempuannya tersebut. Akan tetapi, kegembiraannya ini tak berlangsung lama. Hujan yang tidak turun sepanjang lima tahun belakangan ini membuat ekonomi keluarga semakin seret. Sementara itu, suaminya, Ma Dongji, yang juga bekerja di kota sebagai kuli proyek konstruksi, sering tidak menerima gaji karena gajinya dikorupsi oleh manajer proyek. Solusinya, Bai Juhua harus memangkas pengeluaran rumah tangga, termasuk biaya sekolah. Artinya, salah seorang anaknya terpaksa berhenti sekolah. Menurut tradisi, anak laki-lakilah yang layak diberi prioritas mendapat pendidikan tinggi, dan Ma Yan harus berhenti sekolah. Dengan sedih dan sesal, Bai Juhua menyampaikan keputusan dan maksudnya tersebut kepada Ma Yan.

Ma Yan tidak bisa menerima keputusan itu. Ia berkeras ingin terus sekolah. Melalui ucapan dan sacarik surat, ia memprotes dan menggugat ibunya, tradisinya, kenapa anak perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan setinggi-tingginya; kenapa dalam bidang pendidikan anak laki-laki yang harus didahulukan.

Walaupun Bai Juhua berusaha melunakkan kekerasan hati anaknya dan mendorong Ma Yan supaya rela menerima keputusan diskriminatif tersebut, hati kecil Bai Juhua sebetulnya membenarkan dan mendukung protes Ma Yan. Nasib Bai Juhua tidak lebih baik ketimbang nasib Ma Yan. Bai Juhua juga korban diskriminasi tradisi patriarkat. Dulu, ketika masih kecil, ia diberhentikan dari sekolah oleh orang tuanya sebelum ia bisa membaca dan menulis. Ketika remaja, ia dijodohkan dengan Ma Dongji, laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Saat itu, ia hanya bisa patuh, kepatuhan yang kini mesti dibayar mahal. Sebab, kepatuhan itu telah menjadikannya sebagai perempuan yang kurang berpendidikan dan melarat.

Surat protes Ma Yan dan bisikan hati kecilnya menyalakan keyakinan dalam diri Bai Juhua bahwa penderitaan dan kemiskinannya jangan sampai ia wariskan kepada Ma Yan. Hidup Ma Yan wajib lebih baik daripada hidupnya. Bagaimana pun caranya, Ma Yan harus terus sekolah, sekolah setinggi-tingginya.

Beruntung, Bai Juhua menemukan jalan keluar sementara. Untuk membayar biaya sekolah Ma Yan, tanpa mempedulikan perutnya yang selalu sakit, Bai Juhua pergi mengikuti rombongan petani ilegal pemanen Fa Cai, rumput sayuran yang tumbuh subur di Cina bagian barat daya, di perbatasan antara Ning Xia dengan Mongolia Dalam, 400 kilometer jauhnya dari desa Zhangjiashu. Di tempat itu ia memanen Fa Cai, dan menginap berhari-hari lamanya. Uang hasil panenan itu untuk sementara dapat menutupi biaya sekolah Ma Yan. Tetapi, ancaman kesulitan ekonomi senantiasa membayangi. Karena itu, mesti segera dicari jalan keluar lain yang lebih menjamin pendidikan Ma Yan.

Adalah kebetulan, di tengah kebuntuan itu, suatu ketika tetangga Bai Juhua memberi tahunya bahwa beberapa orang asing sedang menginap di rumah Imam Hu, sesepuh desa Zhangjiangshu. Menurut si tetangga, mereka mungkin sedang mengadakan sensus. Bai Juhua kemudian bertanya: apa mereka juga mencari anak-anak pintar? “Mungkin,” jawab si tetangga. Didorong naluri keibuannya, Bai Juhua bergegas pergi ke rumah Imam Hu, bermaksud menemui orang-orang asing itu, mengabarkan bahwa Ma Yan, anak perempuannya, adalah anak pintar yang sedang mereka cari. Ia berharap, mereka dapat menolong Ma Yan supaya dapat terus melanjutkan sekolah.

Sebelum sampai di rumah Imam Hu, Bai Juhua melihat mobil melaju ke arahnya. Mobil itu dinaiki oleh orang-orang asing yang baru saja meninggalkan rumah Imam Hu. Bai Juhua sontak menghadang mobil itu agar berhenti. Mobil pun berhenti. Ia mengajak mereka mampir ke rumahnya. Karena perbedaan bahasa, rombongan orang asing yang berasal dari Perancis itu tidak segera bisa memahami kata-kata Bai Juhua. Akhirnya, mereka mengerti maksud Bai Juhua. Bai Juhua dinaikkan ke mobil. Mereka pun mampir ke rumah Bai Juhua.

Setiba di rumahnya, tanpa memberi tahu Ma Yan terlebih dahulu—saat itu Ma Yan sedang tak di rumah, kepada mereka Bai Juhua menyerahkan buku catatan harian dan surat protes Ma Yan yang tentu saja ditulis dalam bahasa Cina. Ma Yan memang rajin menulis catatan harian. Di dalamnya, Ma Yan mengabadikan peristiwa sehari-hari dan hal-hal yang menurutnya penting, termasuk kegagalan dan keberhasilan ujiannya, kemiskinan keluarganya, serta cita-citanya untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Kendati baru pertama kali bertemu dengan, dan tidak betul-betul mengenal, orang-orang asing itu, Bai Juhua yakin, mereka adalah orang baik. Mereka pasti akan berusaha membaca buku catatan harian dan surat protes Ma Yan walaupun mereka tidak mengerti benar bahasa Cina. Mereka pasti akan membantu Ma Yan mewujudkan impiannya.

Ma Yan lagi-lagi memprotes ibunya ketika ia tahu bahwa Bai Juhua telah memberikan buku catatan harian dan surat protesnya kepada orang-orang asing itu. Bai Juhua dengan sabar meyakinkan Ma Yan bahwa tindakannya tidak salah dan tidak akan sia-sia. Kali ini, Ma Yan melunak, tidak menyangkal keyakinan ibunya, tidak lagi menyalahkan tindakan ibunya.

Keyakinan seorang ibu adalah mukjizat. Orang-orang asing itu rupanya memang orang baik, dan bukan orang sembarangan. Pemimpin rombongan, Pierre Haski, adalah redaktur sebuah harian di Perancis: Liberation. Setelah membaca dan mendalami buku catatan harian dan surat protes Ma Yan, hatinya terketuk oleh perjuangan Ma Yan meraih pendidikan. Kemudian, ia menulis kisah Ma Yan itu, dan memuatnya di Liberation.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam