10/07/12

Pendidikan dalam Ma Yan


TUJUAN PENDIDIKAN DALAM NOVEL MA YAN:
Kajian Sosiologi Sastra
1.      Pendahuluan

Kemiskinan merupakan momok yang menakut-nakuti, menyiksa, dan membelenggu perkembangan hidup, manusia. Ia menghanglangi manusia mencapai kehidupan yang makmur, sejahtera, sentausa, bahagia, dan bermartabat.

Selain dibelenggu oleh kemiskinan, perkembangan hidup manusia, khususnya perempuan, juga dibelenggu oleh tradisi patriarkat, atau diskriminasi gender. Dalam masyarakat patriarkat, perempuan amat dibatasi ruang geraknya, tidak lebih dari urusan rumah tangga. Perempuan adalah makhluk yang kurang bernilai dibanding laki-laki.

Dalam rangka mencapai perkembangan hidup manusia yang diidealkan, belenggu-belenggu itu harus dihancurkan. Pendidikan adalah alat yang dianggap paling ampuh dan strategis untuk menghancurkan belenggu-belenggu itu. Dengan ungkapan lain, membebaskan manusia dari kemiskinan dan membebaskan manusia, khususnya perempuan, dari tradisi patriarkat yang tidak adil termasuk tujuan diselenggarakannya pendidikan.

 Tujuan pendidikan seperti inilah yang kiranya hendak disampaikan oleh Sanie B. Kuncoro melalui novel Ma Yan: Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di Cina untuk Meraih Pendidikan[1]. Sanie B. Kuncoro adalah prosais yang tampak konsisten mengangkat isu gender dan kemiskinan. Dalam prosa fiksinya yang lain, misalnya novel Garis Perempuan, prosais yang mengawali karir kepenulisannya semenjak 1980-an ini juga mengangkat isu gender dan kemiskinan[2].

Kajian sederhana ini bermaksud membuktikan dan memastikan adanya konsepsi tujuan pendidikan untuk membebaskan manusia dari kemiskinan dan tradisi patriarkat dalam novel Ma Yan. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan mimetik, khususnya pendekatan sosiologi sastra.

Mendukung kategorisasi Abrams, Teeuw berpendapat, terdapat empat macam pendekatan yang lazimnya digunakan dalam kajian sastra: objektif, ekspresif, pragmatik, dan mimetik. Masing-masing pendekatan menekankan fokus analisis yang berbeda. Pendekatan objektif menekankan karya sastra (work) sebagai fokus analisis, pendekatan ekspresif menekankan penulis (artist), pendekatan pragmatik menekankan pembaca (audience), dan pendekatan mimetik menekankan semesta (universe) (Teeuw, 1988: 49-50). Semesta adalah realitas faktual yang direpresentasikan oleh penulis dalam karya sastra dengan caranya sendiri yang khas. Dengan demikian, dalam pendekatan mimetik ini, terkandung asumsi implisit bahwa realitas faktual tercermin dalam realitas imajiner yang disusun sedemikian rupa dalam karya sastra; terdapat relasi antara realitas faktual dengan realitas imajiner. Jadi, pendekatan sosiologi sastra termasuk dalam ruang lingkup pendekatan mimetik, bahkan secara garis besarnya dua pendekatan ini sah bila disamakan.

Junus mengklasifikasikan kajian karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra ke dalam enam macam pendekatan yang lebih detail dan spesifik. Pertama, pendekatan yang melihat karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya. Kedua, pendekatan yang meneliti penghasilan dan pemasaran karya sastra. Ketiga, pendekatan yang meneliti bagaimana penerimaan masyarakat terhadap (sebuah) karya seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Keempat, pendekatan yang melihat bagaimana pengaruh sosiobudaya terhadap penciptaan karya sastra. Kelima, pendekatan genetic structuralism dari Goldmann. Keenam, pendekatan Duvignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra (Junus, 1986: 3).

Kajian ini akan menggunakan pendekatan yang pertama: melihat karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya, yang mencatat kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini memiliki beberapa ciri atau prinsip, yaitu: a) memandang karya sastra sebagai pencerminan (reflection) realitas sosiobudaya; b) tidak memperhatikan keseluruhan dan kebulatan karya sastra, hanya memperhatikan secara terpisah unsur-unsur sosiobudaya yang terkandung di dalamnya; c) hanya mendasarkan kepada cerita tanpa mempersoalkan struktur cerita (Junus, 1986: 3-10). Adapun unsur sosiobudaya yang akan ditinjau dalam novel Ma Yan ini adalah tujuan pendidikan (untuk membebaskan manusia dari kemiskinan dan tradisi patriarkat).

Sebelum menganalisis, serta membuktikan adanya konsepsi, tujuan pendidikan yang terdapat di dalam novel Ma Yan, terlebih dahulu saya akan meringkaskan cerita novel tersebut (2), kemudian membahas secara singkat dan sekadarnya konsep-konsep tujuan pendidikan yang saya temukan pada beberapa literatur, khususnya konsep tujuan pendidikan yang relevan dalam kajian ini, yaitu sarana pembebasan dari a) kemiskinan dan b) tradisi patriarkat (3).

2.      Sinopsis Novel Ma Yan

Kebijakan “lompatan jauh ke depan” yang digulirkan empat dekade silam (1958-1962) oleh Mao Zedong, sang pemimpin besar Cina, ternyata kini (2000-2002) berdampak sangat buruk: merusak alam, menimbulkan penggurunan di beberapa wilayah agraris, dan akhirnya menjerat para petani yang bermukim di wilayah tersebut dalam kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka hampir-hampir tak bisa bercocok tanam lagi karena air sangat sulit diperoleh. Padahal, penghidupan mereka terutama bersumber dari hasil pertanian.

Desa Zhangjiashu termasuk wilayah agraris yang menjadi korban kebijakan “lompatan jauh ke depan”. Di desa yang mendapat sebutan sebagai “dataran yang dahaga” itulah Ma Yan beserta ayah (Ma Dongji), ibu (Bai Juhua), dan dua adik laki-lakinya (Ma Yichao dan Ma Yiting) tinggal. Seperti keluarga-keluarga lain di desa itu, mereka adalah keluarga muslim yang relatif taat, setidaknya secara formal-ritual.

Meskipun desa itu adalah desa Islam, tetapi tradisi patriarkat masih mengakar. Harga perempuan jauh di bawah harga laki-laki. Perempuan tidak perlu diberi pendidikan tinggi-tinggi, toh kelak mereka akan menikah, melahirkan, menjadi ibu rumah tangga, dan kembali ke dapur. Lebih menguntungkan memberi pendidikan tinggi bagi anak laki-laki daripada anak perempuan. Selain tidak mendapat prioritas pendidikan, anak perempuan dituntut untuk selalu patuh tanpa syarat terhadap segala perintah orang tua, juga dalam soal perjodohan.

Ma Yan kecil yang cerdas dan haus pendidikan awalnya tidak memahami nilai tradisional yang dianut masyarakat desanya itu. Dengan bersemangat, bersama Ma Yichao tiap minggu ia pergi-pulang berjalan kaki ke sekolah-asramanya yang terletak di kota Yuwang, 20 kilometer jaraknya dari desa Zhangjiashu. Jarak sejauh itu ditempuh selama empat sampai lima jam. Jalur Zhangjiashu-Yuwang adalah jalur yang berbahaya, lebih-lebih bagi anak perempuan sekecil Ma Yan. Jalur berdebu itu diapit jurang-jurang, penuh dengan dakian dan turunan yang curam serta celah lebar di antara karang terjal. Tetapi bahaya dalam perjalanan tidak selesai sampai di sini. Masih mengintai bahaya lain: hadangan ular-ular yang kelaparan dan para pencuri. Sebenarnya, untuk sampai ke sekolah-asramanya, Ma Yan bisa menumpang traktor. Tetapi menumpang traktor tidak gratis, harus membayar ongkos sebesar satu yuan, jumlah yang sangat besar bagi keluarga Ma Yan.

Semangat belajar Ma Yan di sekolah-asramanya pun tinggi. Ia ingin meraih prestasi sesempurna-sempurnanya demi menggapai masa depan yang lebih cerah, lebih sejahtera, sehingga bisa membahagiakan ibu-ayahnya. Bahkan, ketika Ma Yan mengalami dua kali kegagalan, yakni kegagalan dalam ujian sekolah dan kegagalan dalam ujian seleksi masuk sekolah menengah putri, semangat belajar Ma Yan tidak lantas surut. Ia terus berpikir positif. Pada ujian sekolah berikutnya, ia meraih peringkat kedua.

Bai Juhua merasa bangga dan gembira dengan prestasi anak perempuannya tersebut. Akan tetapi, kegembiraannya ini tak berlangsung lama. Hujan yang tidak turun sepanjang lima tahun belakangan ini membuat ekonomi keluarga semakin seret. Sementara itu, suaminya, Ma Dongji, yang juga bekerja di kota sebagai kuli proyek konstruksi, sering tidak menerima gaji karena gajinya dikorupsi oleh manajer proyek. Solusinya, Bai Juhua harus memangkas pengeluaran rumah tangga, termasuk biaya sekolah. Artinya, salah seorang anaknya terpaksa berhenti sekolah. Menurut tradisi, anak laki-lakilah yang layak diberi prioritas mendapat pendidikan tinggi, dan Ma Yan harus berhenti sekolah. Dengan sedih dan sesal, Bai Juhua menyampaikan keputusan dan maksudnya tersebut kepada Ma Yan.

Ma Yan tidak bisa menerima keputusan itu. Ia berkeras ingin terus sekolah. Melalui ucapan dan sacarik surat, ia memprotes dan menggugat ibunya, tradisinya, kenapa anak perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan setinggi-tingginya; kenapa dalam bidang pendidikan anak laki-laki yang harus didahulukan.

Walaupun Bai Juhua berusaha melunakkan kekerasan hati anaknya dan mendorong Ma Yan supaya rela menerima keputusan diskriminatif tersebut, hati kecil Bai Juhua sebetulnya membenarkan dan mendukung protes Ma Yan. Nasib Bai Juhua tidak lebih baik ketimbang nasib Ma Yan. Bai Juhua juga korban diskriminasi tradisi patriarkat. Dulu, ketika masih kecil, ia diberhentikan dari sekolah oleh orang tuanya sebelum ia bisa membaca dan menulis. Ketika remaja, ia dijodohkan dengan Ma Dongji, laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Saat itu, ia hanya bisa patuh, kepatuhan yang kini mesti dibayar mahal. Sebab, kepatuhan itu telah menjadikannya sebagai perempuan yang kurang berpendidikan dan melarat.

Surat protes Ma Yan dan bisikan hati kecilnya menyalakan keyakinan dalam diri Bai Juhua bahwa penderitaan dan kemiskinannya jangan sampai ia wariskan kepada Ma Yan. Hidup Ma Yan wajib lebih baik daripada hidupnya. Bagaimana pun caranya, Ma Yan harus terus sekolah, sekolah setinggi-tingginya.

Beruntung, Bai Juhua menemukan jalan keluar sementara. Untuk membayar biaya sekolah Ma Yan, tanpa mempedulikan perutnya yang selalu sakit, Bai Juhua pergi mengikuti rombongan petani ilegal pemanen Fa Cai, rumput sayuran yang tumbuh subur di Cina bagian barat daya, di perbatasan antara Ning Xia dengan Mongolia Dalam, 400 kilometer jauhnya dari desa Zhangjiashu. Di tempat itu ia memanen Fa Cai, dan menginap berhari-hari lamanya. Uang hasil panenan itu untuk sementara dapat menutupi biaya sekolah Ma Yan. Tetapi, ancaman kesulitan ekonomi senantiasa membayangi. Karena itu, mesti segera dicari jalan keluar lain yang lebih menjamin pendidikan Ma Yan.

Adalah kebetulan, di tengah kebuntuan itu, suatu ketika tetangga Bai Juhua memberi tahunya bahwa beberapa orang asing sedang menginap di rumah Imam Hu, sesepuh desa Zhangjiangshu. Menurut si tetangga, mereka mungkin sedang mengadakan sensus. Bai Juhua kemudian bertanya: apa mereka juga mencari anak-anak pintar? “Mungkin,” jawab si tetangga. Didorong naluri keibuannya, Bai Juhua bergegas pergi ke rumah Imam Hu, bermaksud menemui orang-orang asing itu, mengabarkan bahwa Ma Yan, anak perempuannya, adalah anak pintar yang sedang mereka cari. Ia berharap, mereka dapat menolong Ma Yan supaya dapat terus melanjutkan sekolah.

Sebelum sampai di rumah Imam Hu, Bai Juhua melihat mobil melaju ke arahnya. Mobil itu dinaiki oleh orang-orang asing yang baru saja meninggalkan rumah Imam Hu. Bai Juhua sontak menghadang mobil itu agar berhenti. Mobil pun berhenti. Ia mengajak mereka mampir ke rumahnya. Karena perbedaan bahasa, rombongan orang asing yang berasal dari Perancis itu tidak segera bisa memahami kata-kata Bai Juhua. Akhirnya, mereka mengerti maksud Bai Juhua. Bai Juhua dinaikkan ke mobil. Mereka pun mampir ke rumah Bai Juhua.

Setiba di rumahnya, tanpa memberi tahu Ma Yan terlebih dahulu—saat itu Ma Yan sedang tak di rumah, kepada mereka Bai Juhua menyerahkan buku catatan harian dan surat protes Ma Yan yang tentu saja ditulis dalam bahasa Cina. Ma Yan memang rajin menulis catatan harian. Di dalamnya, Ma Yan mengabadikan peristiwa sehari-hari dan hal-hal yang menurutnya penting, termasuk kegagalan dan keberhasilan ujiannya, kemiskinan keluarganya, serta cita-citanya untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Kendati baru pertama kali bertemu dengan, dan tidak betul-betul mengenal, orang-orang asing itu, Bai Juhua yakin, mereka adalah orang baik. Mereka pasti akan berusaha membaca buku catatan harian dan surat protes Ma Yan walaupun mereka tidak mengerti benar bahasa Cina. Mereka pasti akan membantu Ma Yan mewujudkan impiannya.

Ma Yan lagi-lagi memprotes ibunya ketika ia tahu bahwa Bai Juhua telah memberikan buku catatan harian dan surat protesnya kepada orang-orang asing itu. Bai Juhua dengan sabar meyakinkan Ma Yan bahwa tindakannya tidak salah dan tidak akan sia-sia. Kali ini, Ma Yan melunak, tidak menyangkal keyakinan ibunya, tidak lagi menyalahkan tindakan ibunya.

Keyakinan seorang ibu adalah mukjizat. Orang-orang asing itu rupanya memang orang baik, dan bukan orang sembarangan. Pemimpin rombongan, Pierre Haski, adalah redaktur sebuah harian di Perancis: Liberation. Setelah membaca dan mendalami buku catatan harian dan surat protes Ma Yan, hatinya terketuk oleh perjuangan Ma Yan meraih pendidikan. Kemudian, ia menulis kisah Ma Yan itu, dan memuatnya di Liberation.

3.      Tujuan Pendidikan

Tujuan, dalam Kamus Bahasa Indonesia, didefinisikan sebagai dan disinonimkan dengan arah, haluan, jurusan, maksud, dan tuntutan (Kamus Bahasa Indonesia, 2008: 1553). Maka, tujuan pendidikan dapat diartikan sebagai, dan disinonimkan dengan, arah pendidikan, jurusan pendidikan, maksud pendidikan, dan tuntutan pendidikan. Akan tetapi, dalam kajian “sederhana” ini, tujuan pendidikan juga dipahami sebagai fungsi pendidikan dan peran pendidikan, tanpa secara ketat dan taat mengacu pada konsep fungsi dan peran yang telah terkonseptualisasi dalam teori-teori sosiologi yang mapan.

Tujuan pendidikan dapat ditinjau dari beragam perspektif: filsafat, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, teologi, gender, dan tentu saja dari perspektif pedagogi itu sendiri. Perspektif yang relevan digunakan untuk meninjau tujuan pendidikan dalam kajian ini adalah perspektif ekonomi dan perspektif gender. Pada garis besarnya, secara ekonomi pendidikan bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat umumnya, individu khususnya. Apabila dipandang melalui perspektif gender, pendidikan, pada garis besarnya, bertujuan membebaskan perempuan dari diskriminasi gender yang seringkali disebabkan oleh faktor ekonomi, politik, dan tradisi. Berikut ini akan dibahas dengan agak mendalam tujuan pendidikan dalam kedua perspektif tersebut menurut pendapat yang dikemukakan oleh beberapa sarjana.

a.      Membebaskan manusia dari kemiskinan
Melandaskan diri pada pemikiran Amartya Sen dan Jeffrey Sachs, Tilaar (2006) mengajukan teori bahwa pendidikan merupakan salah satu mekanisme dalam penuntasan kemiskinan. Tetapi, Tilaar tidak memaknai kemiskinan secara sempit. Yang dimaksud dengan kemiskinan bukan hanya kemiskinan material, namun juga kemiskinan politis, kemiskinan pendidikan, dan kemiskinan kesehatan. Lebih lanjut ia menjelaskan, untuk menuntaskan kemiskinan, perlu dikembangkan berbagai bidang dan program penting yang berkanaan dengan kepentingan rakyat banyak, antara lain pengembangan bidang pendidikan serta ilmu pengetahuan (Saksono, 2008: 103-104).

Dari pendapat Tilaar tersebut dapat ditarik kesimpulan kasar bahwa pendidikan bertujuan atau berfungsi sebagai sarana, alat, atau mekanisme pembebasan manusia dari kemiskinan; bertujuan untuk membebaskan manusia dari kemiskinan. Dengan kata lain, pendidikan bertujuan untuk menyejahterakan manusia.

b.      Membebaskan manusia dari tradisi patriarkat
Al-Abrasyi, teoritisi dan praktisi pendidikan Islam kontemporer dari Mesir, dengan tegas menolak praktik tradisi patriarkat. Tradisi ini menghambat perkembangan kehidupan perempuan. Al-Abrasyi tidak hanya menolak praktik tradisi patriarkat, tetapi juga menyatakan bahwa tradisi patriarkat atau bias gender dapat dihilangkan lewat proses pendidikan yang demokratis, yang falsafahnya ditimba dari al-Qur’an. Pendidikan semacam itu melahirkan perlakukan yang seimbang dan adil terhadap laki-laki dan perempuan (Roqib, 2003: 25-29).

Menurut al-Abrasyi, persamaan (kemanusiaan), demokrasi, kebebasan, dan keadilan merupakan empat dasar utama pendidikan (Islam). Dengan demikian, pendidikan bertugas merealisasikan nilai persamaan posisi dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan umat manusia. Nilai persamaan itu dapat direalisasikan dengan menempatkan ibu/perempuan sebagai pusat pendidikan. Alasan lain mengapa perempuan ditempatkan sebagai pusat pendidikan adalah karena pendidikan perempuan menentukan kuat-lemahnya masyarakat (Roqib, 2003: 31-81). Dengan menempatkan perempuan sebagai pusat pendidikan, al-Abrasyi secara tidak langsung hendak mengatakan bahwa dalam hal pendidikan, perempuan memperoleh prioritas yang sepadan dengan laki-laki, bahkan relatif lebih besar.

Dari uraian di atas dapat disarikan bahwa pendidikan bagi al-Abrasyi bertujuan untuk membebaskan, atau berfungsi sebagai sarana pembebas, perempuan dari tradisi patriarkat yang membelenggu perkembangan hidupnya. Apabila memperoleh pendidikan yang baik, maka perempuan niscaya akan dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan laki-laki. Peluang perempuan untuk mengembangkan dan menyejahterakan diri pun semakin besar. Dengan begitu, ia semakin mempunyai kesempatan menjadi ibu yang ideal bagi anak-anaknya.


4.      Tujuan Pendidikan dalam Novel Ma Yan

a.      Pendidikan membebaskan manusia dari kemiskinan
Zhangjiashu, desa di mana Ma Yan dan keluarganya tinggal, adalah desa agraris yang gersang, daratan yang dahaga. Desa ini merupakan korban dari kebijakan “Lompatan jauh ke Depan” Mao Zedong, pemimpin besar revolusi Cina. Penduduknya dilanda kemiskinan luar biasa yang celakanya harus mereka wariskan secara turun-temurun. Beberapa keluarga hanya berpenghasilan 120 yuan atau sekitar 15 dolar setahun.

Hidup dalam kemiskinan yang parah itu, wajarlah jika para penduduknya menyimpan cita-cita hidup makmur dan sejahtera, lepas dari belenggu kemiskinan, tak terkecuali Bai Juhua dan anak perempuannya, Ma Yan. Bagi mereka, juru selamat yang bakal mengangkat mereka dari lembah kemiskinan adalah pendidikan.

Bai Juhua berjanji dan bertekad tidak akan mewariskan kemiskinan kepada anak-anaknya, sebagaimana orangtuanya telah mewariskan kemiskinan kepadanya (MY: 36-37; 125-126). Ia akhirnya sampai pada pemahaman bahwa cara terbaik menyelamatkan anak-anaknya dari kemiskinan yang diwariskan turun-temurun adalah dengan memberi pendidikan sebaik-baiknya kepada mereka. “Pendidikan,” kata Bai Juhua “adalah alternatif terbaik untuk melepaskan diri dari takdir kemiskinan” (MY: 128).

Saat keluarga Ma Yan menghadapi kesulitan ekonomi paling berat karena sudah lima tahun hujan tidak turun, dan karena gaji Ma Dongji tidak dibayar teratur, Bai Juhua terpaksa mengambil keputusan pelik yang sesungguhnya bertentangan dengan hati nuraninya, yaitu memberhentikan Ma Yan dari sekolah. Ma Yan menolak dan menggugat keputusan itu, dengan ucapapan langsung dan dengan surat yang begitu menyentuh hati Bai Juhua. Teramat menyentuhnya, Bai Juhua sampai-sampai membatalkan keputusannya untuk memberhentikan Ma Yan, dan mencari sumber penghasilan lain untuk membiayai sekolah Ma Yan, yakni memanen Fa Cai di perbatasan Ning Xia dan Mongolia Dalam. Karena jarak dari Zhangjiashu ke daerah tersebut sangat jauh, 400 kilometer, Ma Dongji enggan mengizinkan Bai Juhua memanen Fa Cai di sana, apalagi perut Bai Juhua sering sakit. Tetapi Bai Juhua terus memaksa supaya Ma Dongji memberinya izin, sebab, kata Bai Juhua:
“Ma Yan ingin tetap sekolah. Aku tidak akan membiarkan anak-anak kita berhenti sekolah, karena itu akan membuat mereka bernasib seperti kita, tercengkeram kemiskinan tanpa batas waktu.”

“Maka kita harus melakukan apa pun juga, supaya anak-anak kita menjadi orang-orang terdidik, karena itulah cara untuk melepaskan diri dari kemiskinan.” (MY: 160)

Melihat besarnya niat Bai Juhua untuk mencari sumber penghasilan lain supaya Ma Yan bisa terus melanjutkan pendidikannya, Ma Dongji pun luluh, mengizinkan Bai Juhua memanen Fa Cai.

Lantaran hasil panen Fa Cai tak begitu bisa diharapkan, dan hanya merupakan sumber penghasilan sementara, Bai Juhua memutar otak, mencari sumber penghasilan lain yang lebih menjamin pendidikan Ma Yan. Keberuntungan mendatanginya, atau ia mendatangi keberuntungan. Ia menemukan orang asing yang mau membantunya melapangkan jalan bagi Ma Yan untuk mengenyam pendidikan. Orang asing itu adalah Pierre Haski, redaktur harian Liberation, serta rombongannya yang kebetulan tengah mengadakan ekspedisi di desa Zhangjiashu. Bai Juhua menyerahkan buku catatan harian dan surat gugatan Ma Yan kepada mereka. Pierre membacanya dan mendalaminya dengan sungguh-sungguh. Pierre tergetar dengan kisah perjuangan Ma Yan meraih pendidikan, kemudian memuat kisah itu di hariannya (MY: 157-226).

Seluruh tindakan Bai Juhua tersebut membuktikan, ia mempunyai keyakinan yang tebal bahwa pendidikan adalah sarana yang pasti bisa membebaskan anak-anaknya dari belenggu kemiskinan. Tak hanya Bai Juhua yang mempunyai keyakinan seperti itu, Ma Yan juga mempunyainya. “Aku tahu,” ujar Bai Juhua “kami, ibu dan anak memiliki keyakinan yang sama, yaitu bahwa pendidikan adalah satu cara melepaskan diri dari genggaman kemiskinan” (MY: 182).

Bahwa Ma Yan mempunyai keyakinan seperti itu, dapat diketahui melalui refleksi-refleksi pribadinya yang ia tulis pada buku catatan hariannya.

11 September 2000
Ayah dan ibu rela mengorbankan segalanya agar kami bisa tetap bersekolah. Aku harus belajar supergiat untuk masuk universitas suatu hari nanti. Setelahnya, aku akan mendapat pekerjaan yang bagus. Ibu dan ayah tidak akan lagi hidup sengsara. Itulah tujuan hidupku. Itulah pengharapanku. (MY: 66)

13 September 2000
Aku harus bekerja keras dan mengikuti ujian masuk universitas bergengsi. Kemudian aku akan mendapat pekerjaan supaya ibu bisa menikmati makanan hingga benar-benar kenyang dan menjalani kehidupan yang lebih baik. (MY: 101)

Setelah memahami tindakan, ujaran, dan pikiran dua tokoh utama novel ini, Ma Yan dan Bai Juhua, kiranya tidak salah bila diambil kesimpulan: novel ini secara tersirat dan tersurat menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan. Pendidikan diyakini mampu mengganyang kemiskinan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

b.      Pendidikan membebaskan manusia dari tradisi patriarkat
Beberapa tokoh yang berperan dalam novel Ma Yan apabila ditilik dari pandangan gender yang mereka hayati dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan oposisional: golongan yang mendukung tradisi patriarkat dan golongan yang memberontaki tradisi patriarkat. Bibi, Ibu, dan Ayah Bai Juhua termasuk dalam golongan pertama, sedangkan Ma Yan dan ibunya, Bai Juhua termasuk dalam golongan kedua.

Ketika Bai Juhua masih kecil, karena mengalami kesulitan ekonomi, ibunya memberhentikan Bai Juhua dari sekolah sebelum ia mampu membaca dan menulis. Ibu Bai Juhua menganggap perempuan tidak sangat membutuhkan pendidikan (MY: 33). Sebab, segala persoalan kehidupan akan terselesaikan ketika perempuan menikah. Setelah menikah, ia melahirkan anak dan membesarkan anak-anaknya. Jadi, pendidikan tidak teramat penting bagi perempuan, sebab akhirnya ia akan kembali ke rumah juga.

“Para perempuan juga tidak perlu menjadi terlalu pandai, dalam arti tidak perlu bersekolah terlalu lama yang mengharuskannya belajar terus-menerus dengan segala daya upaya demi mendapatkan nilai yang membanggakan. Para perempuan hanya perlu mendapatkan kepandaian apa adanya. Lalu segala persoalan akan terselesaikan dengan cara menikah. Kemudian melahirkan anak-anaknya, memelihara anak-anak itu dan menyiapkannya menjadi generasi penerus, dalam arti menjadi anak-anak yang menjalani kehidupan seperti yang dijalani orangtua sebagai pendahulu. Sebuah kehidupan pada umumnya dan menjalani tradisi yang lazim, yaitu bekerja, menikah, memiliki anak. Dan begitulah seterusnya.” (MY: 20)

Sekali lagi tradisi patriarkat mengendalikan nasib Bai Juhua. Bibi, ibu, dan ayahnya menjodohkannya dengan Ma Dongji, laki-laki asing yang sebelumnya belum pernah dikenal oleh Bai Juhua. Mulanya, Bai Juhua menolak perjodohan itu. Ia memberontak terhadap tradisi patriarkat. Tetapi kemudian ia bimbang dan menerima perjodohan tersebut karena Bibinya mengingatkannya akan tradisi patriarkat yang dijunjung masyarakatnya. Menolak perjodohan, kata Bibinya, adalah aib yang lebih buruk dari apa pun. Saking malunya, bisa-bisa seluruh keluarga bisa mati (MY: 22).

Merefleksikan riwayat hidupnya itu, yang selalu dihantui, dibayang-bayangi, dan dikendalikan oleh tradisi patriarkat, Bai Juhua lantas membuat semacam resolusi: Ma Yan, anak perempuannya, tidak boleh mengalami nasib buruk sepertinya. “Aku,” tutur Bai Juhua “adalah perempuan yang tidak mengenal pendidikan. Perjalanan hidupku adalah penelusuran alur nasib semata-mata. Kini dengan gigih akan kutantang nasib itu, sehingga nasib yang sama tidak akan menghampiri anak-anakku” (MY: 156). Oleh sebab itu, menurut Bai Juhua, masa depan Ma Yan harus cerah. Caranya, Ma Yan mesti memperoleh pendidikan setinggi-tingginya; Ma Yan harus menjadi orang terdidik (MY: 160).

Demikianlah, dalam pandangan Bai Juhua, pendidikan adalah sarana yang akan membuat kaum perempuan mempunyai derajat yang sama dengan kaum laki-laki. Pendidikan akan membebaskan perempuan dari diskriminasi gender. Tujuan pendidikan adalah untuk membebaskan perempuan pada khususnya, manusia pada umumnya, dari tradisi patriarkat.

 Akan tetapi, pandangan seperti itu baru masak dalam pikiran, dan baru diterima sepenuhnya oleh, Bai Juhua ketika Ma Yan menentang perintahnya untuk berhenti dari sekolah. Perkembangan watak Bai Juhua memang tampak jelas dalam alur novel ini. Awalnya, Bai Juhua mengafirmasi dan mengikuti tradisi patriarkat masyarakatnya, dengan kebimbangan dan pemberontakan yang dipendam dalam hati. Selanjutnya, setelah merasakan betapa tradisi patriarkat membuatnya dirinya dan anak perempuannya menderita, ia terang-terangan menentang tradisi patriarkat tersebut melalui tindakan-tindakan positifnya.

Sebab demikian, tokoh yang sungguh-sungguh merepresentasikan pemberontakan terhadap tradisi patriarkat adalah Ma Yan. Pemberontakan ini misalnya ditunjukkan ketika Ma Yan menolak perintah ibunya untuk berhenti sekolah. Ia menggugat, kenapa ia yang bergender perempuan yang harus berhenti sekolah, bukan Ma Yichao, adik laki-lakinya (MY: 139). Ketidaksetujuan dan pemberontakan Ma Yan terhadap tradisi patriarkat membawanya kepada pandangan pendidikan yang pada intinya boleh dibilang serupa dengan pandangan pendidikan Bai Juhua. Dalam suratnya yang ia berikan kepada ibunya, dengan mana ia menolak dan menggugat perintah ibunya untuk berhenti sekolah, Ma Yan menulis:

“Hidup ibu menderita. Bila aku berhenti sekolah, aku akan menjadi seperti ibu dengan segala penderitaan itu. Apakah itu yang harus terjadi padaku? Sekolah adalah persemaian masa depan, peluang untuk meraih sesuatu, berhenti sekolah berarti kehilangan peluang itu....” (MY: 144-145)

Dan penderitaan itu disebabkan oleh tradisi patriarkat.

Maka jelaslah, bagi Ma Yan pendidikan juga merupakan sarana untuk menyudahi penderitaan perempuan yang disebabkan oleh tradisi patriarkat. Pendidikan bertujuan untuk membebaskan perempuan dari tradisi patriarkat. Pendidikan adalah ladang tempat menyemai masa depan bagi dirinya yang perempuan. Dengan berusaha meraih masa depan yang cerah melalui pendidikan, Ma Yan berharap nasibnya tidak seperti ibunya: menderita karena diskriminasi gender.

5.      Penutup

Konsepsi tujuan pendidikan dapat ditinjau dari berbagai perspektif, antara lain perspektif ekonomi dan perspektif gender. Secara ekonomi, pendidikan bertujuan membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan. Dengan bersekolah, diharapkan manusia akan dapat menikmati kehidupan yang makmur dan sejahtera. Berdasarkan perspektif (keadilan) gender, pendidikan bertujuan membebaskan manusia, khususnya perempuan, dari diskriminasi gender yang membelenggu perkembangan hidupnya. Dua macam tujuan pendidikan tersebut terdapat dalam novel Ma Yan ini.

Bai Juhua berjanji dan bertekad menyekolahkan anak-anaknya setinggi-tingginya. Sebab, sekolah atau pendidikan merupakan sarana yang dapat membebaskan anak-anaknya dari cengkeraman kemiskinan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Bai Juhua yakin sekali dengan pandangannya ini, demikian pula Ma Yan.

Ma Yan yakin, dengan menempuh pendidikan setinggi-tingginya, ia akan memperoleh pekerjaan yang bagus, hidupnya akan sejahtera, dan dengan kehidupan yang sejahtera itu ia akan dapat membahagiakan ibu dan ayahnya. Menurut mereka, pendidikan adalah sarana, sarana terbaik, untuk membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan.

Bai Juhua juga yakin bahwa pendidikan dapat membebaskan anak perempuannya dari tradisi patriarkat yang telah membuatnya menderita, dan nyaris mewariskan penderitaan itu kepada Ma Yan. Oleh karena itu, ia memberontak terhadap tradisi patriarkat tersebut. Awalnya, ia memendam pemberontakannya di dalam hati, lama-kelamaan ia memberontak secara terang-terangan dengan tindakan-tindakan positif setelah membaca surat yang ditulis oleh Ma Yan untuknya.

Lebih terbuka dan lebih keras daripada Bai Juhua, Ma Yan memberontak terhadap tradisi patriarkat secara lugas dan tegas. Ketika disuruh berhenti sekolah oleh ibunya, Ma Yan menolak mentah-mentah perintah itu dengan ucapan langsung dan dengan surat yang ia bacakan kepada ibunya. Ma Yan kecil berpikir, jika ia berhenti sekolah, ia akan mengalami penderitaan seperti ibunya, penderitaan akibat diskriminasi gender. Ma Yan menolak menjadi korban tradisi patriarkat. Menurutnya, ia harus terus bersekolah supaya tidak menjadi korban diskriminasi gender; supaya terbebas dari belenggu tradisi patriarkat.
Jadi, baik bagi Bai Juhua maupun bagi Ma Yan, pendidikan, selain bertujuan untuk membebaskan manusia dari belenggu kemisikinan, juga bertujuan untuk membebaskan manusia, khususnya perempuan, dari tradisi patriarkat.

Daftar Pustaka
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Kuncoro, Saine B. 2011. Ma Yan: Perjuangan dan Mimpi Gadis Kecil Miskin di Pedalalaman China untuk Meraih Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Roqib, Moh. 2003. Pendidikan Perempuan. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.
Saksono, Ign. Gatut. 2008. Pendidikan Memerdekakan Siswa. Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Jaya dan Girimukti Pusaka.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
“Perempuan dalam Teropong Sanie B. Kuncoro.”  http://terasimaji.blogspot.com/2010/05/perempuan-dalam-teropong-sanie-b-kucoro.html. Diunduh tanggal 8 Juli 2012.


[1] Judul novel selanjutnya ditulis Ma Yan saja.
[2] “Perempuan dalam Teropong Sanie B. Kuncoro,” Teras Imaji, dalam http://terasimaji.blogspot.com/2010/05/perempuan-dalam-teropong-sanie-b-kucoro.html (diunduh tanggal 8 Juli 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam