10/07/12

krisis


Romantikus selalu menghidup-hidupkan krisis. Maksudnya, ia menilai bahwa dunia sedang selalu dalam keadaan kacau-balau, tidak seimbang dan tidak tertata rapi. Hukum tidak berfungsi. Hukum yang ada hanyalah hukum rimba: siapa kuat dia menang. Antara individu yang satu dengan individu yang lain tidak terikat oleh rasa saling percaya, sebaliknya, terikat oleh kecurigaan yang menghasilkan kecemasan dan ketakutan. Terjadi teror fisik maupun teror mental antarindividu. Segala tindakan terfokus pada ego masing-masing, sedikit sekali usaha untuk keluar dari diri sendiri, menyapa dan menjumpai orang lain, juga orang yang 180 derajat berbeda dengan dirinya.

Dengan menghidup-hidupkan krisis, dengan memastikan dan membuktikan keberadaan krisis, romantikus mempunyai alasan untuk bergerak, baik dalam bentuk penghancuran dan perbaikan keadaan maupun penciptaan keadaan baru yang diimpikan. Wacana krisis ini menjadi modal agitasi dan propagandanya menjaring sebanyak-banyaknya pengikut, selain menjadi alasan hidup dan dasar semangat hidupnya. Dengan kata lain, ia sesusungguhnya sedang menyebarkan ketakutan dan kecurigaan. Krisis yang senyatanya barangkali tak pernah ada justru menjadi kenyataan karena wacana krisis yang disebarkannya dan gerakan pemulihannya yang digalakkanya itu.

Kesimpulan romantikus akan adanya krisis disebabkan, bisa jadi, karena dia menilai keadaan “zaman sekarang” dan “tempat di sini” menggunakan ukuran-ukuran yang tak relevan, tak realistis, dan tak objektif. Yang sering berlaku, ia menggunakan keagungan masa lalu sebagai tolok ukur realitas zaman sekarang. Hasilnya, menurutnya, zaman sekarang adalah zaman kemerosotan, dan untuk mengatasi kemerosotan tersebut, yang lama harus dihidupkan kembali. Zaman sekarang harus dirombak. Keagungan masa lalu harus didirikan kembali.

Atau, ia menilai zaman sekarang dengan idealitasnya yang subjektif dan melangit. Realitas yang cacat dinilainya dengan kesempurnaan abstraksi pikiran logis. Kesenjangan antara realitas objektif dengan idealitas subjektifnya inilah yang disebutnya sebagai krisis. Krisis dapat disembuhkan apabila ada usaha yang gigih untuk menyesuaikan realitas objektif dengan idealitas subjektif, atau membumikan idealitas subjektif di tanah gersang realitas objektif. Usaha yang gigih itu dikenal sebagai perjuangan. Hujan yang turun ke bumi dan mengantarai langit dengan bumi, dan peristiwa persetubuhan ketika phallus (lingga) bersentuhan dengan vagina (yoni), adalah dua simbol yang kerap dipergunakan untuk menggambarkan proses perjuangan tersebut.

Perjuangan adalah apa yang membuat hidup romantikus menjadi bermakna. Diungkapkan secara sloganistis, hidup adalah perjuangan baginya. Selanjutnya, perjuangan mengenalkannya dengan pengorbanan, korban, martir, dan penebusan. Inilah alasan mengapa beberapa romantikus menahbis dirinya sebagai nabi, imam mahdi, mesiah, ratu adil yang membawa misi profetik menyelamatkan dunia dari kehancuran totalnya.

Diperinci lebih lanjut, romantikus menghendaki penyatuan segala yang beroposisi. Persatuan adalah kata kunci propagandanya sekaligus cita-citanya yang paling tinggi. Sayangnya, persatuan segala yang beroposisi itu masih tidak mungkin terwujud selama dia masih hidup. Ketidakmungkinan ini mengantarkannya sampai pada makna rindu, rindu dendam, rindu yang sangat amat hebat. Rindu mempersyarakatkan perpisahan, dan rindu adalah hasrat kuat untuk bertemu. Siapa yang ingin sekali ditemuinya, dalam puisi-puisi romantikus, ditandakan dengan kata “kau” yang sejatinya adalah “Aku”.

Jika romantikus berbicara tentang rindu, sudah pastilah dengan sendirinya ia akan berbicara pula tentang cinta. Cinta adalah tema utama puisi-puisi yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan romantik. Cinta adalah jalan untuk mengatasi krisis. Kebetulan, saripati cinta adalah kepercayaan dan keyakinan, adalah iman, sesuatu yang diperlawankan dengan kecurigaan dan keragu-raguan, dua mentalitas yang mewabah ketika krisis berlangsung.

Maka, untuk mematahkan argumentasi romantikus dan untuk meredam kegilaannya yang berkobar-kobar, pertanyaan pokok dan mula-mula yang mesti dilontarkan kepadanya adalah: apa benar kita sedang mengalami krisis? Bukankah cinta, pada setiap keadaan, bahkan pada keadaan yang paling sulit dan pahit pun, tetap ada, dengan intensitas yang berbeda-beda? Bukankah manusia merupakan gelanggang di mana benci dan cinta bertarung tak hent-henti? Bukankah ketika ada benci, ada pula cinta? Bukankah dalam krisis paling gawat sekali pun kita masih merasakan kasih sayang? Bukankah... catatan ini tak perlu saya tulis?

Yogyakarta, 15 juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam