01/10/10

1001 Kemungkinan Mendongeng

Satu lakon-satu cerita, sudah biasa. Tapi bagaimana bila dalam satu lakon ada dua, tiga, empat cerita? Anton Kurnia dan Linda Christanty suka dengan gaya cerita seperti itu.

Kali pertama menyimak lakon mereka, dua, tiga, atau empat cerita tersebut seakan terserak, pecah, dipungut sembarangan, tidak satu-padu. Tapi di bagian akhir, Anton dan Linda manteg aji: mereka menyatu-padukan beragam cerita tersebut pada satu ending, dengan satu kesimpulan pasti.

Djenar Maesa Ayu pernah mencoba gaya cerita semacam ini untuk menggarap filmnya, Mereka Bilang Saya Monyet. Djenar menyatukan Lintah, Melukis Jendela, dan Mereka Bilang Saya Monyet dalam satu lakon. Tapi gagal. lakonnya menjadi kurang menarik dan membosankan. Saya selalu menguap dan ngantuk menonton film itu.

Deddy Mizwar lain lagi. Berbagai cerita dan beragam tema ia boncengkan pada satu lakon. Para Pencari Tuhan dan Lorong Waktu, dua serial besutannya, memakai gaya cerita ini.

Lakon hanya satu. Tema berganti-ganti merespon situasi aktual. Hampir tiap tokoh mengisahkan ceritanya sendiri. Karakter lakon memang kental. Tapi penyimak sulit menarik kesimpulan, bukan karena pesannya berserak, tapi karena antara satu tema dengan tema lain sering terlalu jauh jaraknya.

Ini justru keunggulan Deddy. Ia menghadirkan kehidupan apa adanya dalam lakon-lakonnya. Tema-tema hidup kita, antara satu dan lainnya, acap tak nyambung. Namun bila direnungi, akan ada kesimpulan utuh, dan kita dapat memetik hikmahnya.

Gaya cerita a la Deddy khas dalam serial bersambung atau novel panjang. Gaya cerita model Anton khas dalam modern short story. Sedang gaya cerita Linda, lazim digunakan dalam New Journalism. Anda pilih yang mana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam