01/10/10

Hantu Televisi

Bagi masyarakat kelas menengah dan kelas atas, televisi bukan barang yang terlampau merisaukan dan mematikan. Kemampuan mengenyam pendidikan bermutu, sedikit-banyak menanamkan filter kebudayaan pada mereka. Filter kebudayaan ini membantu mereka menapis program-program televisi yang potensial merusak kepribadian.

Namun bagi masyarakat kelas bawah, televisi menjelma semacam hantu. Televisi sungguh merisaukan, mengkhawatirkan, dan mematikan. Masyarakat kelas bawah tidak memiliki filter kebudayaan lantaran pendidikan yang rendah. Kurang berpendidikannya mereka, bukan terutama karena terbatasnya akses pendidikan, namun lebih disebabkan pragmatisme ekonomi.

Hal ini nyata terjadi di kampungku. Kampungku bukan tipikal dusun yang jauh dari peradaban. Dari play group sampai SMA ada di sana. Guru-gurunya pun cukup terdidik.
Tapi belakangan ini, banyak anak-anak seusia SMP dan SMA yang enggan meneruskan sekolah, padahal kemampuan ekonomi keluarga mereka sangat mendukung. Anak-anak itu lebih memilih motong di kebun para daripada sekolah, sebuah kegiatan yang membosankan dan seakan tanpa arti. Bagi mereka sekolah tidak memberi masa depan yang pasti.

Berbeda dengan motong. Motong adalah kerja yang pasti, apalagi baru-baru ini harga getah para melonjak. Bayangkan, sehari mereka dapat memanen rata-rata 10 kg getah para cair. Saat ini harga para sekilonya mencapai kisaran Rp 10 ribu. Artinya, pendapatan mereka sekurang-kurangnya Rp 100 ribu sehari. Jika cuaca normal, dalam sebulan mereka menghasilkan Rp 3 juta. Tentu Anda bisa menerka bagaimana perasaan anak kecil berumur sekitar 8-14 tahun menggenggam Rp 3 juta.

Tidak heran jika mereka lantas enggan sekolah. Bahkan di antara mereka ada yang memutuskan nikah di usia amat muda. Ibuku mengabarkan bahwa sepupuku yang baru tamat SD telah menikah. Tetanggaku menikahkan anaknya yang belum lagi tamat SD.
Orang tua mereka, kukira karena kurang berpendidikan, justru senang dengan pilihan anak-anak itu untuk bekerja dini. Setidaknya tanggungan hidup mereka rada mengempis. Orang tua mereka tampaknya bersikap tenang-tenang saja, tidak risau, tidak khawatir dengan masa depan anak-anak mereka.

Justru aku, yang bukan siapa-siapa, merasa khawatir dengan nasib anak-anak itu kelak, terlebih ketika mereka menonton televisi. Televisi, yang tidak terlalu memperdulikan prinsip kebudayaan dan semata-mata mengikuti sabda pasar, akan memberi pengaruh yang buruk sekali pada anak-anak tersebut. Tingkah laku mereka sehari-hari sepenuhnya ditentukan dan dipola oleh televisi.

Lantaran pendidikan yang rendah, orang tua mereka tidak bisa sampai mengondisikan keluarga sebagai elemen inti pendidikan anak-anak. Sementara, anak-anak itu juga tidak sekolah. Di lain pihak citra dan kompetensi pedagogik institusi agama melemah. Jadi, satu-satunya guru kehidupan mereka adalah televisi.

Televisi menjadikan mereka super konsumtif. Fenomena terbaru yang menggejala di kampungku adalah perlombaan belanja. Entah butuh atau tidak, segala barang yang dipromosikan televisi, dibeli oleh banyak penduduk kampungku. Sifat meri, iri, atau gengsian menjadikan mereka lebih super konsumtif lagi. Wabah pragmatisme ekonomi menyebar ke tiap penjuru kampung.

Yang paling memprihatinkan adalah anak-anak. Dengan pola kehidupan demikian, aku tak sanggup menawang bagaimana masa depan mereka. Padahal di pundak anak-anak saja kita menyandarkan masa depan yang lebih cerah, padahal di gigir mereka kita menyandarkan revolusi sejati. Anak-anak adalah satu-satunya harapan kita yang masih tersisa. Tetapi bila televisi mencuci otak mereka dan secara sewenang-wenang mendevolusi kebudayaan mereka, apalagi yang dapat kita harapkan? Terbitkah matahari esok pagi?

Dan anehnya, di kampungku keaadaan ini tidak menyentuh hati para cendekiawan kampus, departemen pendidikan, aktivis LSM, partai, dan ormas agama seperti NU atau Muhamadiyah. Agaknya mereka lebih sibuk dengan urusan perut dan kekuasaannya masing-masing. Jangankan berinisiatif menyelenggarakan media literacy, bahkan melihat ke kampungku pun mereka tidak sudi.

Sebenarnya tiap pihak yang bertanggung jawab dan berkewajiban, baik pemerintah maupun swasta, pasti bisa menuntaskan masalah ini, dan aku yakin mereka mampu berinisiatif mengadakan media literacy. Tapi soalnya, sepertinya mereka tidak punya sedikit pun kemauan dan keikhlasan.

Beginilah nasib kampungku. Secara kasat mata kami cukup makmur, namun secara rohani kami fakir, dan banyak di antara kami yang karena rendahnya pendidikan belum menyadari kefakiran ini. Ada yang mau menolong?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam