01/10/10

Narasi Lamur Mbak Linda

Tak ada jalan lain ke Teluk Dalam. Ini satu lagi berita naratif dari Linda Christanty, editor Aceh Feature Service. Ceritanya menarik. Beritanya menggugah. Pedas. Bernas.

Pada narasi tersebut, Linda menggambarkan Nias di masa lalu dan sekarang. Ia mengisahkan asal mula penduduk nias, sejarah gempa nias, perkembangan tradisinya, dan keadaan ekonominya di era orde baru. Linda juga menginformasikan bagaimana kondisi Nias pasca Tsunami 2004.

Bagi penduduk Nias, tampaknya Tsunami membawa berkah. Sebelum tsunami, pemerintah hampir tidak memperhatikan ekonomi mereka. Pemerintah mengabaikan jembatan-jembatan yang rusak, padahal di Nias, jembatan merupakan infrastruktur transportasi vital. Nias masyhur dengan ribuan jembatannya. Ada sebuah jembatan yang menghubungkan lima desa.

Untunglah tsunami datang. Pemerintah menjadi lebih perhatian terhadap ekonomi dan infrastruktur jalan di nias. Banyak lembaga internasional, seperti International Organization for Migration (IOM), membantu penduduk Nias membangun jembatan baru, merehabilitasi rumah-rumah adat, dan membangun sekolah-sekolah.
Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias juga membantu. Tapi tak serius. Seperti biasa, sebagian bahan material di makan orang-orang proyek. Dalam narasi ini, di bagian ini Linda mengkritik pedas pemerintah.

Meski demikian, narasi Linda ini kurang sempurna. Soal data, riset, analisis, dan teknik menulis naratif, ia memang jago. Namun Linda kali ini kecolongan. Ia sedikit melalaikan hal paling dasar dalam teknik penulisan berita: fokus dan angle. Membaca Tak Ada Jalan Lain ke Teluk Dalam, saya bingung. Narasi ini tak berfokus. Tak jelas apa isu utama yang akan didedahkan. Perspektif bertuturnya pun tak jelas. Narasi ini, bagi saya, tak berbenang merah. Lamur. Ia mengisahkan kondisi Nias pasca tsunami, tapi ia terlalu banyak mengutarakan sejarah nias, tradisinya, dan kontribusi Protestan yang memperadabkan penduduk Nias.

Bahkan kadang ia nggeladrah entah ke mana. Di narasi itu, ia sempat menulis tentang buku Slamet Muljana yang dilarang terbit Soeharto. Pelarangan buku ini tak memiliki keterkaitan apapun dengan Nias pasca tsunami atau kondisi Teluk Dalam.

Saya pikir, nggeladrah adalah karakteristik narasi Linda. Pada narasi-narasinya yang lain, di sana-sini ia “sering” menulis informasi yang tidak relevan dengan fokus narasi, bahkan mengganggu kelancaran dan kegamblangan narasi. Barangkali Linda kelewat berhasrat menyuguhkan informasi yang komplit dan komprehensif. Ini membuatnya kurang selektif menapis data-data yang ia peroleh.

Sayang, andai Tak Ada Jalan Lain ke Teluk Dalam jelas fokus dan angle-nya, serta menyuguhkan data secukupnya, narasi ini pasti akan lebih sempurna. Namun bagaimana juga, saya yang amatir ini masih harus banyak berguru pada Linda Christanty.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam