01/10/10

Bibir Basah Gadisku

Ahmad Tohari punya satu cerpen, yang sangat simbolik, banjir hikmah dan makna, serta berwarna sufistik. Saya lupa judulnya, tapi alur dan isinya masih bisa saya ingat sedikit-sedikit. Sapardi Djoko Damono mengaku sungguh suka dengan cerpen tersebut.

Kisahnya lebih kurang begini. Tokoh utama, seorang lelaki muda, sedang pulang kampung naik bis malam kelas ekonomi yang sesak dan penat. Penjual asongan, pengamen, dan kadang kala pengemis, akan sluman-slumun keluar-masuk bis tanpa permisi saat mobil berhenti di mana saja, terutama di terminal. Mereka masuk berebutan, dan berebutan pula memikat penumpang bis. Suasana kacau, gaduh. Ada yang teriak-teriak menawarkan kacang goreng, tahu, arem-arem, dan akua. Ada yang nyanyi dengan suara sumbang, serak, dan fals. Ini membikin bis jadi seperti neraka.

Di saat-saat itu, seorang pengemis nyrobot masuk bis. Tidak sebagaimana lazimnya, pengemis ini ngemis dengan shalawat. Ia terus, dan terus bershalawat, sambil menengadahkan tangan meminta uang.

Tokoh utama bingung melihat si pengemis. Awalnya ia ber-negative thinking: dasar malas, ngemis kok pake shalawat. Ia mengira si pengemis bisa bershalawat setelah malang-melintang mengikuti pengajian umum di mana-mana. Lalu si tokoh utama bertanya-tanya: apa cuma ini hasil pengajian-pengajian umum, hanya memproduksi para pengemis?

Dan pengemis tadi terus bershalawat, bahkan ketika para pengamen dan pengasong sudah keluar bis, ketika bis sudah menderu. Kondektur mengkal dan jengkel. Panas-panas begini, masih ada juga pengemis yang anteng nongkrong di bis. Sopir bahkan lebih jengkel, mukanya merah-padam. Saking jengkelnya, sopir membentak dan mengusir pengemis. Yang diusir resistence, dan menjawab bentakan itu dengan: “bagaimana mau keluar kalau bisnya ngebut begini”. Sopir tambah murka, juga kondektur. Penumpang lain, termasuk si tokoh utama yang masih termangu-mangu heran menyaksikan adegan itu, barangkali risih.

Akhirnya, baik sopir, kondektur, maupun para penumpang membiarkan pengemis tersebut mendekam di bis, entah sampai mana, entah sampai kapan. Dan si pengemis bukannya malah gelisah, ia justru kian khusyuk dan tenang melafalkan shalawat dengan syahdunya.

Jam demi jam melela. Hari menembus senja. Para penumpang yang sudah lelah dan kepanasan banyak yang tertidur, termasuk si tokoh utama. Tapi pengemis yang bershalawat tadi hadir di mimpi tokoh utama. Di situ, pengemis tanpa henti senantiasa bershalawat. Karena sedemikian herannya pada pengemis, tokoh utama berusaha mendekati pengemis untuk mengajaknya bicara. Yang didekati terasa menjauh. Tokoh utama mengejarnya, sampai tiba-tiba ia tersandung, dan jatuh terguling-guling ke tebing berbatu. Ia luka, merintih perih karena getih mengalir.

Perih luka membangunkan tokoh utama dari tidurnya. Ia kaget, kakinya benar-benar berdarah. Dipusatkannya seluruh kesadarannya. Setelah tenang, baru ia menyadari rupanya bisnya-lah yang terguling-guling. Sopir, kondektur, dan para penumpang lainnya pingsan atau barangkali mati, kecuali dirinya dan pengemis. Sementara ia luka dan lecet-lecet akibat kecelakaan tersebut, pengemis masih segar bugar seperti tidak mengalami kecelakaan apapun, dan masih melafalkan shalawat. Pengemis kemudian keluar dari bis dengan damainya, dan berjalan ke suatu arah, lalu lamat-lamat hilang dari pandangan tokoh utama.

***

Bisa dipahami bila Ahmad Tohari mengkreasi kisah sufistik ini. Ia berlatar belakang pesantren. Dan juga bisa dipahami bila Sapardi Djoko Damono menyukai kisah ini. Banyak puisinya becorak religius. Tapi saya tidak tertarik dengan kepenyairan dan proses kreatif Ahmad Tohari maupun Sapardi Djoko Damono. Saya tertarik dengan pengemis dalam cerita tersebut, dan spesialnya pada shalawat yang dibacanya, yang “mungkin” menyelematkannya dari kecelekaan bis.

Bagi banyak orang, shalawat memang hanya kata-kata. Ia tak bertuah, tidak seperti jampi-jampi atau mantra. Namun di banyak pondok pesantren di Jawa, shalawat memiliki arti yang tidak biasa bagi para kyai dan santrinya. Orang luar akan berpendapat, bagi mereka shalawat tak ubahnya mantra, penuh mukjizat, terselempit enersi mirakel dalam rampak kata-katanya, seperti tembang mocopat atau serau. Imaji keajaiban shalawat di mata mereka bertambah-tambah lantaran banyak hadits dan qoul serta kisah nyata yang menerakan keajaiban, kewingitan, dan keutamaan shalawat.

Namun tidak semua kyai dan santri begitu mudah menyamakan shalawat dengan mantra. Ada banyak, amat banyak kyai dan santri, bahkan muslim awam, yang melihat shalawat dengan cara berbeda. Shalawat bagi mereka adalah wadag atau alat yang mengekspresikan kerinduan dan kecintaan pada Muhammad, persis penyair sufi yang mengekspresikan cintanya pada ilahi dengan puisi atau rubaiyat.

Orang-orang seperti ini biasanya ikhlas dan berkualitas hati tinggi. Perasaannya sangat peka, welas asihnya di atas manusia rata-rata, dan kemanusiaannya tidak bisa disangkal. Tabah dan sabarnya teruji. Perawakannya biasanya juga cukup menawan. Pandangan matanya teduh, wajahnya merembulan. Suara dan perkataannya lembut dan halus. Ringkasnya, wajahnya enak disawang, suaranya enak didengar, dan perilakunya membungahkan dan membungakan sukma. Mereka bagai baiduri yang menari-nari, menerangi sekelilingnya bagai lilin.

Nah, gadis seperti ini yang saya cari-cari dari dulu, wanita yang bibirnya basah karena bershalawat, tapi belum ketemu. Biar begitu, saya tetap percaya bahwa kala selamanya adalah rahasia, dan dia punya caranya sendiri untuk membuat kejutan-kejutan eksistensial pada manusia. Juga aku tetap percaya, gadisku, pendampingku nanti adalah cermin diriku. Bila bibirku basah karena shalawat, pendampingku pun pasti demikian. Aku berharap. Alangkah indahnya bila di rumah membandang cahaya Muhammad.

Ya imamar rusuli, ya sanadi
(duhai panglima para utusan, duhai tambatan hatiku)
Anta ba’dallahi mu’tamadi
(setelah Tuhan, dikaulah labuhan jiwaku)
Fabidunyaya wa akhiroti
(duh demi kehidupan dunia dan akhiratku)
Ya rasulullah khudz biyadi
(duhai rasulullah arihlah tanganku, peganglah tanganku, berikan padaku harapan)

Ya rasulullah isyfa lana
(ya rasulullah, sembuhkan kami)
Ya rasulullah isyfa lana
(ya rasulullah, selamatkan kami)
Ya rasulullah isyfa lana
(ya rasulullah, syafa’ti kami)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam