01/10/10

Gradasi Bineris dalam Etika

IMAN Budi Santosa seringkali mengingatkan tentang spektrum bineris dalam berpikir. Suatu fenomena atau problem merupakan sesuatu yang teramat kompleks dan saling tumpang tindih. Ia tidak bisa disigi dari satu segi saja. Kita mesti terlebih dahulu memahami mana segi yang lebih urgen dan esensial dari segi-segi lainnya.

Misalnya, puasa tidak bisa hanya disigi dari segi halal-haramnya saja, seperti banyak ustadz menjabarkannya di teve-teve. Tetapi puasa adalah fenomena yang kompleks. Puasa terpaut dengan bermacam-macam bineris etik. Selain menyangkut halal-haram, puasa juga terkait dengan kaya-miskin, besar-kecil, sehat-sakit, banyak-sedikit, vertikal-horizontal, indah-jelek, baik-buruk, benar-salah, dan terutama adil-zalim.

Karena terpaut dengan spektrum bineris yang kompleks ini, hukum berpuasa menjadi amat plastis dan dinamis. Hukum puasa tidak cukup dengan halal-haram saja, tapi puasa dapat dikenai hukum halal-syubhat-haram atau wajib-sunah-mubah-makruh-haram, tergantung pada bineris etik mana yang paling esensial, yang harus pertama-tama diperhatikan.

Dalam islam, bineris etik yang teresensial sudah pasti adalah adil-zalim, manusiawi-tidak manusiawi. Contoh, apakah adil, apakah manusiawi, apakah rohman-rohim seseorang yang terkena usus buntu dan mag kronis diwajibkan puasa? Baru setelah prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kerohman-rohiman menjadi pertimbangan hukum, kita dapat memautkan dan menselaraskan puasa dengan bineris etik lainnya yang lebih tidak esensial dan tidak penting, misalnya halal-haram.

Dari sini maka akan terlihat bahwa islam memang merupakan agama akal yang mengutamakan dasar-dasar logika dan rasionalitas dalam bersikap. Pondasi argumentatif dikotomi Islam-sains pun gugur. Karena seperti sains, Islam pun melandaskan dirinya pada rasio.

Kasus puasa sama dengan kasus gender. Publik mengenal Islam sebagai agama yang patriarkat. Islam dituduh menganut teologi phallocentric. Kedudukan lelaki lebih tinggi daripada perempuan, baik dalam bidang budaya, agama, politik, sosial, maupun ekonomi.

Tetapi pendapat publik ini bagi saya merupakan justifikasi dini atas Islam, kalau bukan sebuah sterotip dangkal atas Islam (dan atas agama-agama lainnya). Dalam Islam, bineris etis lelaki-perempuan tidak diletakkan pada permulaan pertimbangan sikap. Seperti yang sudah saya sebutkan dalam kasus puasa di atas, masih ada bineris etik yang lebih dasar lagi dalam Islam, yakni adil-zalim, manusiawi-tidak manusiawi, rohman-rohim vs tidak rohman-rohim. Jika dalam suatu komunitas budaya atau peristiwa budaya tertentu, kedudukan lelaki yang lebih tinggi daripada perempuan dianggap tidak adil, tidak manusiawi, dan tidak mencerminkan sikap welas asih serta kasih sayang, maka Islam secara logis membuka pintu lebar-lebar bagi mainstreamisasi perempuan dalam bidang ekonomi maupun politik.

Oke, kita cari contoh yang lebih kongkrit. Seorang istri ditinggal mati suaminya ketika ia berumur 35. Ia memiliki 6 orang anak yang masih kecil-kecil dan semuanya perempuan. Anak sulung berumur 6 tahun, sedang si bungsu baru ditetek. Kebetulan si suami hanya meninggalkan warisan berupa gubuk gedeg reot. Secara ekonomi si istri ini kini masuk dalam kelompok penduduk paling miskin. Ia tinggal di sebuah dusun tepi sungai yang sangat marjinal dan jauh dari peradaban. Nasib tetangganya tidak lebih baik dari nasibnya.

Bagaimana Islam memandang perempuan ini? Islam, yang luwes dan dinamis, akan membolehkan perempuan tadi mencari nafkah dengan jalan apa saja, asal anak-anaknya dan dirinya sendiri tetap mampu bertahan hidup, bahkan bila ia terpaksa mencuri atau menjual diri, tetapi ini pun dengan banyak syarat yang amat ketat.

Pada kasus ini kita dihadapkan tidak hanya dengan bineris etis lelaki-perempuan. Bineris etik yang lebih dasar adalah hidup-mati. Bila tidak berkecimpung di kegiatan ekonomi dan sosial, atau bila tidak mencuri dan menjual diri, si perempuan tadi dan anak-anaknya bakal mati. Membiarkan perempuan tersebut mati adalah sikap yang zalim, tidak manusiawi, dan tidak rohman-rohim.

Jadi, kelompok feminis liberal telah sangat memsimplifikasi Islam ketika mereka melihat bahwa agama Islam sangat patriartkat dan phallocentric.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam