01/10/10

Manusia Punakawan: Tenaga Inti Revolusioner

Kita tidak akan mendapati karakter punakawan dalam epos Mahabarata dan Ramayana. Hanya pada Wayang Purwa kita bisa menyaksikan bagaimana keempat punakawan, Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong berpolah kocak sambil kritik sana-kritik sini, atau sekedar menasihati penonton wayang dengan geguyonan segar yang diramu dengan problematika aktual.

Saya mengenal karakter punakawan melalui buku komik Petruk yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan, dan melalui program pementasan wayang wong di televisi.
Awalnya saya tidak terlalu suka dengan punakawan. Namun, lama-lama saya menyadari bahwa ada hal yang unik dan misterius dari keempat kawula tersebut. Kenapa rupa, cara berjalan, model berpakaian, dan nama mereka aneh-aneh? Atau kenapa pula pahlawan seagung Arjuna atau Abimanyu mesti terlebih dahulu meminta pendapat Semar sebelum memutuskan perkara-perkara sulit seperti berperang atau bertapa? Sebenarnya, apa fungsi para punakawan dalam lakon Wayang Purwa, sekadar penghibur atau justru punakawan adalah esensi Wayang Purwa?

Lazimnya, para punakawan manggung setelah adegan goro-goro. Goro-goro ialah lambang kondisi chaostic, prahara, absurditas, dan disorderness. Bencana alam datang silih berganti. Moralitas kandas. Dunia terbolak-balik: yang di atas jadi di bawah, yang di bawah jadi di atas; yang baik jadi jahat, yang jahat jadi baik, dan seterusnya. Manusia kehilangan sandaran nilai dan mengalami situasi kehampaan dan kekosongan total, buta terhadap situasi. Al-Qur’an menyebut goro-goro sebagai ‘al-Qori’ah’ atau kiamat, sebuah peristiwa apokalips yang dahsyat. Di saat-saat seperti itu, orang-orang menantikan kedatangan sang juru selamat, yang disebut dengan beraneka nama, ada yang menyebutnya ratu adil, ada yang menamainya satrio piningit, dan ada pula yang menggelarinya dengan satrio pinandito ratu sisihaning wahyu. Juru selamat ini menurut kepercayaan kebatinan Jawa bakal mengembalikan keadaan ke siatuasi gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto rahardjo.

Namun dalam Wayang Purwa, setelah adegan goro-goro atau ‘al-qori’ah’, yang manggung bukanlah tokoh seperti Kresna atau Arjuna. Bukan orang-orang semacam mereka berdua yang berperan sebagai sang juru selamat. Tetapi sang juru selamatnya adalah punakawan, para kawulo alit, para abdi dalem buruk rupa yang menempati posisi agak jauh dari inner circle politic.

Dan ajaib. Goro-goro pun dapat distop dengan banyolan Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Oleh mereka, goro-goro bukan ditakuti, tetapi justru ditertawakan. Goro-goro adalah parodi, tragikomedi.

Para penonton pun ikut menertawakan goro-goro tersebut, seakan-akan goro-goro bukanlah kejadian apokalips yang bakal merenggut nyawa dan meluluhlantakkan bumi. Goro-goro, karena dagelan para punakawan, menjadi peristiwa yang menggelikan dan terkesan ringan.

Keempat punakawan itu seolah mau mengabari penonton untuk bersikap tenang, eling, lan waspodo, untuk bersikap tidak takut, khawatir, dan berduka-lara menghadapi situasi; la takhof wala tahzan, innallaha ma’ana. Yang terpenting, dalam goro-goro sedestruktif apapun adalah tetap menyandarkan diri pada agama, mengingat tuhan, dan mengikuti tuntunan rasulullah. Dan memang, bila orang-orang yang tengah dilanda goro-goro, lalu sigap dan tangkas kembali pada tuhannya, pencerahan pun serta-merta akan mengetuk pintu rumah mereka, dan moralitas akan bangkit kembali. Bangkitnya moralitas adalah pertanda bagi the end of goro-goro.

Pada episode inilah kita menyaksikan kejeniuasan Sunan Kalijaga, kreator Wayang Purwa. Ia mampu mengejawantah metode dakwah bil hikmah wal mau’idzotil hasanah dengan menciptakan karakter punakawan. Ia berdakwah dengan lelucon-lelucon segar. Ia berdakwah tidak dengan cara jalanan, yakni menggalang massa sebanyak-banyaknya untuk ber-people power, namun ia berdakwah dengan cara yang lembut dan halus. Capaian dakwahnya adalah peningkatan kualitas hati masyarakat yang menonton Wayang Purwa. Peningkatan kualitas hati sama dengan pencerahan, concientization. Jika masyarakat telah mampu berpikir secara rasional dan bijak, kebangkrutan politik dan budaya separah apapun akan segera teratasi.

Samir na la khoiron, fatruk ma bagho (pasaklah kebaikan mantap-mantap, dan tinggalkan jauh-jauh segala yang buruk) adalah kalimat yang menginspirasi Sunan Kalijaga hingga ia mengkreasi karakter punakawan. Samir fonemnya berubah menjadi Semar, na la khoiron menjadi Nolo Gareng, fatruk menjadi Petruk, dan bagho menjadi Bagong.

Orang yang telah dapat menginternalisasi nilai-nilai kepunakawanan dalam dirinya, adalah orang yang telah benar-benar moksha, memiliki kualitas hati yang tinggi, dan kepribadiannya adalah cerminan sifat ilahiah. Orang tersebut akan seperti Semar, menjadi pasakbumi, pakubuwono, pakubumi, atau hamengkubumi yang selalu menunjuk ke atas, yang selalu mengingat tuhan tetapi berpakaian dan berupa kawula bahkan berwajah hamba (abdullah). Seperti Semar yang lelaki sekaligus perempuan, orang tersebut memiliki ketegasan (al-karim) dan kedigdayaan (al-aziz) seperti lelaki, serta memiliki kehalusan (al-halim), kelembutan (al-lathif) dan kasih-sayang (ar-rohman—ar-rohim) seperti perempuan, seperti ibu.

Semar merupakan simbolisasi tuhan. Jika seorang telah mencapai taraf men-Semar, ia akan seperti Bagong, hatinya senantiasa tentram dan bahagia, dapat tertawa di mana saja, kapan saja, dan dalam keaadan yang bagaimana saja; ia menempati maqom muthma’innul quluub atau mencapai derajat tuma’ninah. Dan orang begini, yang dari dalam sanubarinya terpendar nur ilahi, akan menyelamatkan masyarakat dari goro-goro, akan kembali men-samir atau memasak bumi dari kelasakan dan keterbolak-balikannya, dan akan menentramkan keadaan.

Kresna, sebagai raja atau presiden tidak mampu berbuat apa-apa. Para satria atau pemimpin politik juga kebingungan menghadapi situasi sekacau dan segawat goro-goro. Tetapi punakawan mendadak hadir dalam realitas, dan membersihkan jagad dari immoralitas dengan cara yang cantik dan aduhai, tanpa menumpahkan darah, justru dengan gelak tawa yang riuh.

Mem-punakawan artinya membersihkan batin dan ber-Islam secara total, substansial, serta sempurna. Mem-punakawan adalah upaya tanpa kenal lelah untuk menggapai level insan kamil. Hanya insan kamil yang mampu menjadi sang juru selamat, setidaknya menyelamatkan dirinya sendiri, keluarganya, dan karibnya. Menjadi insan kamil, membeningkan hati pribadi, atau merevolusi diri adalah juga merevolusi masyarakat, adalah juga merevolusi negara, adalah juga merevolusi agama. Inilah perjuangan (jihad) atau pergerakan sejati.

1 komentar:

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam