01/10/10

Pijar Terpenggal

Oke, kita telah sampai di suatu kampung tanpa nama dan tanpa tanah. Para penduduknya memiliki muka yang serupa, dan memakai baju yang seragam, juga mengenakan pakaian dalam yang semuanya berwarna api. Manusia yang tinggal di kampung ini bukan lelaki dan bukan perempuan, pun bukan biseksual. Mereka adalah manusia yang tak mempan ditikam belati betara kala. Resam tuhan hingga sekarang belum lagi menulis riwayat mereka. Ini suatu mahaberkah bagi mereka, tapi sekaligus mahabencana. Akan menjadi berkah bila empat mata yang terpasang di perut mereka seluruhnya berfungsi sebagaimana mestinya: sebagai radar makanan, harapan, dan kasih-sayang. Dan akan berbuah bencana jika mereka tempatkan keempat mata berbentuk kotak-kotak itu di tempat yang tepat: sepasang di burit, dan sepasang di ketek.

Bukan karena kufur nikmat kalau mereka secara kolosal memotong telinga mereka sendiri di bawah kolong ambin, sebuah tempat tersembunyi yang acap mereka dekor sebagai ruang latihan memenggal kepala dan menyilet zakar atau vagina. Justru mereka mengartikan upacara potong telinga sebagai sebuah ekspresi sukur paling ikhlas yang ada di dunia. Upacara lainnya yang tak kalah penting adalah pembakaran jari telunjuk. Telunjuk adalah makhluk terkutuk yang menjijikkan bagi mereka. Gara-gara kenakalan telunjuk pernah sekali terjadi, maaf berkali-kali terjadi, kecelakaan hebat yang menyebabkan lidah mereka melepuh kemudian meleleh. Bahkan, selalu di ujung musim gugur, telunjuk mengkelebet kulit wajah mereka, dan menjahitnya di bokong sebelah kiri atau kanan, tergantung selera dan kondisi cuaca, atau meniru trend yang sedang menggejala. Oleh telunjuk sial itu, hidung mereka yang berlubang tiga, dipasang persis di silit. Ih, ngeri. Untung kentut mereka tak berbau telur busuk atau bangkai. Kentut mereka melulu berbau mesiu. Urine mereka bukan wyne yang tersaji dalam suatu jamuan candle night atau susu anyir yang mengalir dari payudara lontemu, tapi air arsenik yang dicampur dengan setengah liter raksa. Dan dengan terpaksa urine berbau kuburan itu mereka minum, karena di kampung itu tiada sungai, tiada mata air, dan air hujan tak akan dapat menembus tirai kaca yang mengkubahi kampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam