01/10/10

Multatuli Cadari Gandhi

Hanya orang-orang sosialis yang jujur, pantang kekerasan, dan berhati bersih [yang] akan mampu membangun suatu masyarakat sosialis di India dan dunia.
(Gandhi)

Tumbuh padi tak berisik
(Multatuli)

Sjahrir kontroversial bukan saja karena politik diplomasinya yang terkesan menjual kemerdekaan pada sekutu atau mengerem laju kemerdekaan. Bung Kecil ini juga menjadi sosok kontroversial karena ia mengarang dua pamflet politik: Perjuangan Kita dan Renungan Perjuangan. Barangkali di antara sekian tokoh yang berkelabat di sekitar kemerdekaan, adalah Jenderal Soedirman dan Tan Malaka yang paling muak menatap muka Sjahrir, juga setidaknya Soekarno. Tan Malaka malah sempat menyusun beberapa pamflet balasan, di antaranya Gerpolek, yang menyerang habis-habisan Perjuangan Kita.

Namun Sjahrir tetap tenang, dan dengan konsistensi yang teguh terus melanjutkan langkah politiknya. “Perjuangan kita” bagi Sjahrir adalah dengan kata-kata, dengan diplomasi, dengan berunding selembut-lembutnya agar darah tak tumpah. Rasio, dan bukan bacok-bacokan yang menjadi bancakan kemerdekaan seutuhnya. Rasio adalah ciri khas kemanusiaan, sedang bacok-bacokan adalah watak kebinatangan. Kemerdekaan bukan menjadi binatang, tapi kemerdekaan adalah menjadi manusia semurni-murninya, sesuci-sucinya.

Penggunaan senjata atau bacok-bacokan adalah jalan terakhir perjuangan, ketika kelembutan kata-kata telah kalah. Bacok-bacokan di sini pun berlandas rasio dan pertimbangan batin yang dalam, bukan sekadar bermodal nekad dan berani buta.

Dari drama revolusi yang puspawarna tersebut, remang-remang tampaklah para nasionalis secara umum terbelah menjadi 3 grup: grup merah darah, grup merah mimbar (merah abu-abu), dan grup merah kata. Klasifikasi ini mungkin kikir serta simplistis, dan berpotensi memperparah politik golongan yang diidap Indonesia. Tapi klasifikasi ini berguna untuk memahami sejarah secara lebih dingin dan bening, agar kita dapat sungguh-sungguh belajar dan mengambil hikmah dari sejarah, dari kegagalan maupun keberhasilannya, dari kerjasama maupun seterunya, dari kemanusiaan maupun kebinatangannya.

***

Grup pertama yang memainkan drama revolusi adalah mereka yang mau selekasnya merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah dengan bacok-bacokan, dengan bedil, bayonet, parang, dan kelewang. Mereka tidak lagi mempercayai i’tikad baik Belanda yang mengajak bernegosiasi soal kemerdekaan. Mereka meragukan perjuangan perundingan apapun bentuknya, siapapun yang mewakili dan memfasilitasi perundingan, seberapun keuntungannya, bagaimanapun hasilnya. Mereka yakin bahwa Belanda yang penjajah itu selamanya akan jadi penjajah, yang keinginannya hanya mau menginjak, menindas, dan menghisap Indonesia.

Grup ini disponsori oleh hentak-gerak amuk-amukan rakyat yang lahir karena kekecewaan dan frustasi mereka terhadap absurditas situasi. Tan Malaka dan Jenderal Soedirman sudah pasti merupakan proponen yang paling setia dengan strategi kemerdekaan grup “merah darah” ini.

Namun motor paling bertenaga dari grup merah darah adalah Tan Malaka, seorang bangsawan Minang yang pernah mendamprat Lenin dan Stalin, yang memadukan komunisme dan Islam, yang hidupnya terlunta-lunta dari negara ke negara, dari penjara ke penjara, yang darah mudanya abadi menggelegak, yang kehidupannya sehari-hari mirip seorang rashi penganut brahmachraya, yang memosisikan dirinya sebagai guru bagi bangsanya agar rakyatnya cepat mencapai renaissance: kemerdekaan semerdeka-merdekanya, kebahagiaan sebahagia-bahagianya, kebudayaan seberbudaya-budayanya.

Pemimpin komunis yang melegenda ini, pernah beberapa tahun studi di Belanda. Di negeri seribu dam ini ia berkenalan dengan tradisi komunisme, dan mempelajari beraneka pemikiran rasional Barat, di antaranya Marxisme. Di Belanda konon ia juga sempat berdiskusi sengit dengan Hatta, seorang sosial-demokrat pencela Lenin dan pengagum Gandhi.

Sekembalinya dari Belanda, Sema’oen mendaulat Tan Malaka menjadi direktur lembaga pendidikan alternatif yang dipayungi Sarekat Islam (SI) Semarang. Agaknya pada tahun-tahun ini, ia semakin intim dengan pemimpin-pemimpin SI, dan semakin menyerap banyak tradisi SI, terutama SI Semarang “yang merah dan heroistik” itu.

Beberapa pemimpin revolusiner SI, seperti Mas Marco Kartodikromo dan Sema’oen, selain menyerap ide revolusioner dari Inlandsche Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), juga mengembangkan ide-ide Tirto Adhi Soerjo. G. Francis, H. Kommer, Kartini, dan terutama Multatuli atau Douwes Dakker adalah empat inspirator terbaik Tirto Adi Soerjo. Dari penelitian Pramoedya Ananta Toer, kita tahu bahwa Multatuli juga sangat mempengaruhi Kartini.

Sepeninggalan Tirto Adi Soerjo dan Kartini, ide-ide Multatuli tampaknya terus hidup. Master piece-nya, Max Havelaar, terus dibaca oleh anak didik Tirto di Medan Prijaji, Sarekat Prijaji, Poetri Hindia, Indische Partij (IP), dan Sarekat Dagang Islam (embrio SI). Artinya, hampir semua kader pergerakan yang cukup memiliki
kompetensi intelektual pernah membaca Max Havelaar.

Kita bisa membayangkan hiruk-pikuk perbincangan ide-ide multatuli di sekretariat SI Semarang yang secara sengaja atau tak sengaja didengar oleh Tan Malaka. Adalah mungkin bahwa dari situlah kemudian Tan Malaka kepincut dengan Multatuli. Saking apresiatifnya dengan suara hati Multatuli, dalam Madilog Tan Malaka sempat mengutip sebuah ungkapan masyhur Multatuli: Tumbuh padi tak berisik.

Bila ternyata di kemudian hari Tan Malaka mampu dengan sangat berhasil mempengaruhi grup merah darah, kita bisa mengambil kesimpulan kikir bahwa wangi Multatuli juga tersaput di darah-daging para nasionalis yang tergabung dalam grup ini. Biarpun mereka tidak terang-terangan menyebut Multatuli, tetapi semangat Multatulian sudah pasti hidup di kalbu mereka.

***

Grup kedua yang berperan dalam drama revolusi adalah grup merah mimbar atau grup abu-abu. Digelari grup merah mimbar karena grup ini dikomandoi Soekarno, seorang orator ulung yang menyuarakan inisiatif-inisiatif strategi kemerdekaannya dari mimbar ke mimbar. Dinamakan grup abu-abu lantaran komandan grup ini bersikap samar terhadap strategi mencapai kemerdekaan seutuh-utuhnya. Sebagai presiden RI, Soekarno tidak secara langsung mendukung strategi diplomasi Sjahrir, ia tidak secara tegas pula menyokong strategi tempur Tan Malaka. Tetapi Soekarno seolah mau mengumandangkan pada publik bahwa ia adalah seorang yang netral, sambil memungut keuntungan di sana-sini untuk memperkuat posisi dan kans politik pribadinya.

Taktik netral Soekarno menuai hasil gemilang. Setelah seteru Sjahrir VS Tan Malaka berakhir pada peristiwa 3 Juli 1946, Soekarno naik panggung kembali dan secara de facto menjadi penguasa politik tunggal Indonesia. Kekuasaan tunggal Soekarno ini berlangsung beberapa waktu saja sebelum benih gonjang-ganjing pemberontakan PKI 1948 di Madiun meruah.

Saat kecil dan remajanya, Soekarno tinggal di rumah Tjokroaminoto, pemimpin Centraal Sarekat Islam (CSI) yang kharismatik. Di rumah itu, datang dan pergi aktivis-aktivis pergerakan awal, semisal Sema’oen dan Darsono. Oleh karena itu, sejak kecil tentunya Soekarno sudah mengenal wacana dan seluk-beluk pergerakan. Bisa dipastikan bahwa ia juga seringkali mendengar nama Multatuli dan Max Havelaar. Tidak hanya mendengar, bisa jadi ia amat dipengaruhi olehnya, meski Soekarno enggan menunjukkannya pada publik karena jarak waktu yang amat jauh antara eranya dengan era Multatuli, juga karena ketidakkonstektualan content Max Havelaar dengan situasi mutakhir.

Kenyataan ini kiranya memberanikan Pramoedya Ananta Toer meminta pada Soekarno agar ia membangun monumen untuk Multatuli. Alasannya, sudah selayaknya nama dan pengorbanan Multatuli diabadikan. Tanpa Multatuli, kita tidak bisa membayangkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi Pramoedya kurang beruntung, Soekarno menolak usulnya, entah karena apa. Penolakan Soekarno ini mengindaksikan bahwa ia amat mengenal Multatuli.


***

Grup ketiga yakni grup merah kata, sekelompok nasionalis yang dikomandoi Sutan Sjahrir dan Hatta. Keduanya memperoleh pendidikan formal di Belanda. Mereka adalah anak kandung rasio. Mereka sama-sama pernah menjadi ‘orang penting’ di Perhimpunan Indonesia. Perhimpunan Indonesia sendiri, selain memiliki karakter sosial-demokrat yang kental, juga terpengaruh oleh paham-paham dasar Gandhi, seperti ahimsa, swaraj, satyagraha, swapraja, non-cooperation, swadhesi, dan seterusnya.

Dengan sangat terang, kita bisa melihat pengaruh Gandhi ini dalam Manifesto Perhimpunan Indonesia, yang lebih masyhur disebut Manifesto 1925. Manifesto ini nantinya mempengaruhi orang-orang semisal Yamin, dan Yamin menggunakannya sebagai landasan Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda selanjutnya menjadi tiang pergerakan nasional dalam rangka kemerdekaan Indonesia. Sumpah Pemuda juga merasuki wadag Pancasila dan UUD 1945.

Sjahrir dan Hatta tidak sepakat dengan diktatur proletariat Lenin, karena meminta tumbal jutaan jiwa. Kedua bangsawan minang ini pun anti-fasis, karena wajah tribalisme, militerisme, dan vandalisme fasis. Mereka tampaknya berikhtiar menjadi rashi atau seorang pertapa seperti Gandhi, yang berpolitik dengan cinta, kasih-sayang, kemanusiaan, perdamian, serta kelembutan kata dan perbuatan. Mereka lebih memilih jalan ahimsa, daripada himsa.

Pandangan politik ahimsa Sjahrir dan Hatta rupanya membenturkan keduanya pada posisi sulit paska proklamasi kemerdekaan. Keadaan menantang mereka untuk tetap yakin dengan jalan ahimsa, atau membuangnya, dan menggantinya dengan pandangan kekerasan: mempertahankan kemerdekaan dan merebut kemerdekaan seutuhnya dengan senjata, dengan jalan kekerasan, dengan himsa.

Tetapi Sjahrir dan Hatta bukan orang sembarangan yang mau dengan mudah mencampakkan keyakinannya. Mereka tetap percaya dengan jalan ahimsa. Daripada mempertahankan kemerdekaan dengan pertempuran tumpah darah, walaupun hal itu terdengar heroik dan efektif, Sjahrir dan Hatta memilih jalan diplomasi. Mereka pun berunding dengan Belanda dengan segala kewaspadaan.

Karena hasil perundingan dianggap lebih menguntungkan pihak Belanda ketimbang Indonesia, kepercayaan publik pada Sjahrir jatuh. Tan Malaka memanfaatkan kekecewaan publik tersebut untuk menggalang dukungan guna memuluskan strategi tempurnya, dan guna melempar jauh-jauh Sjahrir dari otoritas politik Indonesia.

Sjahrir tak bergeming. Dengan muslihatnya di parlemen, ia berupaya mengembalikan kepercayaan publik pada dirinya sembari mengeliminir pengaruh Tan Malaka dari gelanggang perpolitikan nasional. Seteru yang di satu sisi menghabiskan energi dan waktu, dan membingungkan kubu Belanda di sisi lainnya, terus berlangsung hingga berbulan-bulan.

Muslihat politik mengeliminir Tan Malaka tersebut terpaksa dilakukan Sjarir. Karena bagi Sjahrir, yang merupakan representasi Gandhi di Indonesia ketika itu, kemerdekaan seutuhnya baru bisa dicapai dengan jalan ahimsa, dengan jalan pantang kekerasan, dengan jalan perdamaian dan kemanusiaan. Penggunaan strategi tempur atau himsa hanya akan berakibat lebih buruk, akan semakin banyak darah yang tumpah, kemanusiaan akan lebih bangkrut, dan belum jelas pula apakah jalan kekerasan tersebut mampu menghadirkan kemerdekaan yang nyata dan mampu menghadirkan sosok kemanusiaan yang bermartabat dan berbudaya setelah kemerdekaan tercapai.

Sama seperti Gandhi, Sjahrir justru melihat bahwa penggunaan strategi tempur untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya adalah cerminan dari sifat kebuasan dan kebrutalan binatang. Lebih-lebih ketika itu rakyat Indonesia sedang mengalami goncangan psikologis yang berat. Rakyat sedang mengalami frustasi dan putus asa parah karena himpitan ekonomi yang menyesaknafaskan kehidupan sehari-hari. Pada kondisi semacam ini, sedikit saja provokasi dan agitasi berpotensi menjadi pemantik yang mengobar-kobarkan semangat membabi-buta massa rakyat.

Langkah rakyat menjadi sangat tidak rasional. Bau anyir fasisme tercium dari keringat dan darah mereka. Goncangan psikologis ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Soekarno maupun Tan Malaka untuk membakar daya gempur massa rakyat, demi strategi dan arah politiknya masing-masing.

Sialnya gerak membabi-buta massa rakyat ini tak terkendali. Di antara mereka ada yang membantai sesama orang Indonesia, ada yang memancung tawanan Belanda, dan ada yang menggorok orang Cina.

Sjahrir, apalagi Hatta, menjadi semakin risau dengan kondisi tersebut. Ini karena selain apa yang diperbuat Soekarno dan Tan Malaka sedikit banyak menyulut aksi-aksi yang condong pada fasisme, juga karena gerak membabi-buta massa rakyat tersebut bakal mengempiskan daya tawar delegasi Indonesia di mata Belanda.

Sjahrir yang tidak lebih hati-hati dan bertenang diri daripada Hatta, lalu mengutuk dan menyumpahserapahi para provokator-agitator massa rakyat yang sedang ngamuk tersebut. Soekarno dan Tan Malaka tak pelak menjadi objek sumpah serapah yang terpahit. Kutukan dan sumpah serapah ini malah mempersulit posisi politik Sjahrir. Kabinetnya semakin mengalami krisis legitimasi. Dan rakyat semakin tidak memercayainya.

Tapi sjahrir adalah tetap sjahrir. Bung Kecil enggan menanggalkan ahimsa. Tidak mau. Diplomasi harus jalan terus. Perdamaian abadi harus terwujud. Visi Gandhi mesti membumi di tanah pertiwi.

***

Walaupun cukup berbeda pandangan, grup merah darah dan grup merah mimbar, bila kita telusuri, memiliki genealogi ide atau tradisi wacana yang hampir-hampir sama. Kedua grup ini sama-sama bernenek-moyang Tirto Adhi Surjo dan sama-sama dipengaruhi dengan sangat mendalam oleh Max Havelaar-nya Multatuli. Ada teriakan-teriakan Multatulian yang tergema dari mulut mereka.

Pada kurun selanjutnya, nama Multatuli kian dikenal secara lebih luas, dan diajarkan di sekolah-sekolah. Citranya kian ditingkatkan. Sejumlah golongan kemudian menyimpulkan bahwa tanpa peran Multatuli, kemerdekaan Indonesia adalah omong kosong belaka.

Namun mainstreamisasi Multatuli pada diskursus historiografi Indonesia ini, ternyata memiliki dampak kurang baik. Seakan-akan satu-satunya inspirator paling berpengaruh bagi lahir dan berkembangnya pergerakan nasional serta bagi tercapainya kemerdekaan Indonesia hanya Multatuli. Padahal, sebagaimana telah kita review pada bagian sebelumnya, masih terdapat inspirator pergerakan nasional lain yang perannya tidak kalah vital dibanding Multatuli. Ia adalah Gandhi.

Paham ahimsa yang disebarluaskan Gandhi menarik hati Hatta. Dan Hatta bersama kawan-kawannya di Perhimpunan Indonesia, menempatkan ahimsa Gandhi sebagai landasan idiil bagi Manifesto Perhimpunan Indonesia. Paham ahimsa Gandhi tersebut oleh Perhimpunan Indonesia (PI) disesuaikan dengan kondisi Hindia-Belanda, dan dipropagandakan melalui Indonesia Merdeka, majalah PI.

Di Hindia-Belanda, Indonesia Merdeka merupakan referensi prestisius, favorit, dan subversif bagi para pelajar. Indonesia Merdeka tambah legendaris karena pola penyebarannya yang illegal dan sembunyi-sembunyi. Adalah suatu kebanggaan luar biasa bagi para pelajar Hindia-Belanda kala itu bila mereka membaca Indonesia Merdeka.

Ahimsa, sebuah gagasan Indonesia Merdeka yang terpenting, dipahami habis-habisan oleh para pelajar tersebut. Sumpah Pemuda II, 1928, lantas menjiplak tandas substansi Manifesto Perhimpunan Indonesia yang terdedah di Indonesia Merdeka. Maka
jadilah Sumpah Pemuda microphone paham ahimsa Gandhi.

Suara paham ahimsa Gandhi terus menyebar dan membumi di Hindia-Belanda saat Sjahrir kembali ke Indonesia dan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru. Pulangnya Hatta ke Indonesia dan ditunjuknya ia sebagai penandatangan naskah proklamasi, penulis preambule UUD 1945, dan salah seorang penyusun konstitusi menunjukkan bagaimana paham Gandhi telah sangat menyatu dalam jiwa bangsa Indonesia.

Dan pada pungkasannya kita pun maklum bahwa tanpa Gandhi, mustahil Indonesia merdeka. Tanpa kebangkitan India, sukar mengimajinasikan kemerdekaan Indonesia. Suara Gandhi pun didengar oleh orang-orang Hindia-Belanda, tidak hanya suara Multatuli.

Baik Gandhi maupun Multatuli berperan amat vital dalam rangka kemerdekaan Indonesia. Bila Multatuli membuka mata inlander akan keganasan, kebengisan, dan ketidakadilan Belanda, Gandhi tampaknya lebih bijaksana. Selain membuka mata inlander akan kelaliman Belanda, Gandhi mengajarkan jalan terbaik bagi Hatta dan kawan-kawannya untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya, dengan perdamian, tanpa menumpahkan darah setetes pun, tanpa letusan bedil, tanpa desingan peluru, tanpa tikaman bayonet dan sabetan parang, atau tusukan bambu runcing.

Maksud kami memperjelas peran vital Gandhi dalam rangka kemerdekaan Indonesia ini bukan untuk melebih-lebihkan atau memuji-muji orang-orang semacam Hatta dan Sjahrir, tetapi untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya bentuk kemerdekaan yang diharap-harapkan oleh para pelopor pergerakan. Disisipkannya visi Gandhian oleh Hatta cs dalam rekam jejak pergerakan nasional dan dalam konstitusi mengabarkan bahwa saat ini kemerdekaan sama sekali belum terhirup oleh rakyat indonesia senafas pun. Sebab, visi gandhian merupakan visi perdamaian dan kasih sayang holistik (advaita) yang lebih berciri internasionalisme daripada nasionalisme. Nasionalisme atau kemerdekaan nasional, seperti dikatakan Soekarno, hanya menjadi “jembatan emas” menuju internasionalisme. Visi advaita ini dalam preambule UUD 1945 dibahasakan dengan: perdamaian abadi bagi seluruh dunia.

Visi Gandhian juga bukan berarti pemerataan ekonomi yang berpola komunis, yakni merealisasikan masyarakat tanpa kelas di mana tiada lagi dikotomi kelas secara ekonomi. Visi Gandhian adalah visi ekonomi yang realistis. Ia tak mau menghukum dan memenggal kepala kapitalis, tapi ia ingin menguburkan sistem kapitalisme. Karena, kaya dan miskin merupakan kodrat alam yang tidak akan bisa dihapus. Melalui gerakan satyagraha, civil disobedience, dan non-cooperation Gandhi lebih menganjurkan dan mengajarkan pada si kapitalis agar mau melihat dan memerhatikan buruhnya, dan memberi mereka penghidupan yang layak agar dapat hidup berbahagia dan berbudaya.
Perjuangan Gandhi adalah perjuangan moralitas. Maka kemerdekaan Indonesia pun sebenarnya disusun dan diarahkan untuk mencapai tingkat tertinggi moralitas tersebut.

Dari reflkesi ini, kita perlu bertanya pada diri sendiri, masih perlukah kita memberi jarak antara moralitas atau agama dengan politik? Bukankah berpolitik adalah upaya pantang patah menegakkan moralitas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam