01/10/10

Sastra yang (N)dadi

Tidak untuk terkenal kita sebaiknya bersastra. Tidak juga untuk kaya atau mendapat kehormatan sosial. Namun, seperti orang shalat, memderas qur’an, atau melantun shalawat, bersastra adalah untuk menikmati sakau di dalamnya sedalam-dalamnya, mengaksarakan seluruh pengalaman jiwa, dan membentangkannya di mata keluarga kita, kawan kita, atau belahan hati kita. Bersastra, apapun bentuknya, adalah peristiwa kesendirian yang terabsolut, tanpa menghapus kodrat kita sebagai manusia biasa, yang butuh dirindu orang lain. Dengan bersastra, kita mencoba membelai sesama dengan kasih-sayang dan dengan cinta paling murni. Bersastra ialah menjadikan diri sebagai air sungai yang mengalir lugu, atau angin yang berkesiur polos, atau waktu yang merambat tanpa ada yang menyadarinya, menapak, menapak, menapak, hingga lepas hayat usai melewati berbagai sayatan dan hangatan.

Bersastra adalah perburuan air suci yang selalu berlari mengejar detik, tetapi dalam perburuan itu kita tidak akan pernah diburu oleh sesuatu pun, bahkan oleh hasrat, naluri, dan libido sendiri yang tak bisa kita kendalikan. Bersastra kadang hanya tarian libidinal, atau gemuruh naluri, atau ketergesaan hasrat, namun ia kadang, ketika purnama merangkul sekujur tubuhmu, akan menjelma sebagai penari srimpi yang kau peluk intim, dan kita tiba-tiba melayang ke titik tertinggi tanpa sepasang sayap pun. Hampa yang sempurna. Taji yang termanis. Dan teja segala cerita derita. Hanya kita sendiri, hanya kita sendirian, tunggal setunggal-tunggalnya. Bersastra, sebab itu, sangat mahal, dan mata uang mana pun tak dapat membelinya, karena sastra merupakan udara yang menentramkan ketika kita menghirupnya berkali-kali dan menghembusnya berkali-kali.

Bersastra ialah menemani kehidupan kita sendiri yang barangkali lantaran kesibukan, kemalasan, atau kebodohan, kita telantarkan begitu saja, dan kita anggap ia barang murahan. Bersastra adalah upaya dengan daya juang super untuk tidak durhaka pada kehidupan, untuk mencoba sedikit lebih bersyukur, untuk sesering mungkin memahami jalan dan arah perjalanan kita, untuk seintens mungkin menyambangi tuhan yang berumah di kastil tersunyi di kota sukma kita.

Bersastra adalah usaha memberikan kata-kata pada kehidupan, dan menghidupkan kata-kata yang sering mati, entah karena bunuh diri atau dibunuh orang lain untuk memenuhi segala jenis mimpi. Bersastra adalah mengarang biografiku, biografi kehidupan dan kematianku, juga kehidupan dan kematian kita semua. Sebab, kehidupan dan kematian bukan semata-mata perkara wajar dan biasa saja. Kehidupan dan kematian adalah pengalaman paling spesial yang harus diangkat setingi-tingginya ke tahta sastra. Sastra adalah kehidupan, kematian, sekaligus kebangkitan dan keabadianku.

Sastra yaitu lempung dan buah khuldiku, mani dan asiku, lingga dan yoniku, yin dan yang-ku, cinta yang tak tersangkar ruang dan waktu. Ndadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam