01/10/10

Heha-Hehe Wartawan Mahasiswa

Meski clehak-clehek begini, saya punya pengalaman menjadi wartawan, wartawan kampus tepatnya. Mengingatnya kembali, saya geli. Sebagai wartawan, modal saya hanya sedikit memahami jurnalistik, sedikit mengerti isu, selembar kertas, dan sebuah pulpen yang saya pinjam dari teman. Dan satu lagi, persscard dari karton berukuran 4 x 6 cm yang diprint setengah hati. Karena tak saya rawat, maka terlihat lusuh, kusam, keriput, penyok. Pokoknya, kerja jurnalistik saya saat itu super main-main dan super tidak serius.

Tetapi kadang pun saya bangga dengan kerja jurnalistik saya. Berita atau ulasan peristiwa yang saya tulis, kerap menghebohkan kampus. Bahkan ada beberapa tulisan saya yang wacananya sempat menjadi trend. Banyak pihak lantas meng-counter isi tulisan saya. Banyak pula golongan yang mrepet-mrepet.

Sebagai wartawan yang sangat tidak profesional, saya tidak memiliki kompetensi jurnalistik yang baik, tidak mempunyai recorder sebuah pun, tidak membangun komunikasi aktif dan intim dengan para subjek berita, tidak rajin melakukan riset, tidak cermat dalam survei, tidak teliti dalam menulis berita, tidak cakap menulis, tidak mengetahui peta wacana dan peta konflik, dan mengabaikan check and recheck serta fairness. Boleh lah anda menyebut berita saya sebagai propaganda atau sas-sus.

Saya tergolong wartawan yang malas dan kerap menunda-nunda tugas. Ini membuat saya mahir berapologi dan mereka-cipta narasi di hadapan redaktur. Ketika ditanya kenapa terlambat setor berita, saya mulai berfantasi. Dan bila redaktur mendesak terus, saya akan bilang bahwa saya mengalami kesulitan dalam riset atau reportase. Susah dapat data. Bagian administrasi mempersulit saya. Atau narasumbernya sibuk. Hingga sepuluh atau sebelas kali ke kantornya, belum juga saya bisa menemuinya. Dan begitu seterusnya. Hasilnya, di kancah jurnalistik saya lebih banyak belajar merangkai fiksi daripada mengabarkan fakta. Kacau.

Saya mah mending. Beberapa kawan wartawan justru ogah meriset, mereportase, apalagi nulis berita. Bahkan kalau redaktur menginstruksikan agar mendalami lagi materi teknik menulis, di antara mereka ada yang uring-uringan.

Maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya sebuah lembaga media bila para wartawannya terserang sakit ogah. Penerbitan rutin tersedak, macet. Finansial tak berputar, seret. Kerugian menumpuk. Seluruh manajemen loyo dan amburadul. Lembaga media saya pun terancam tumbang.

Celakanya, lembaga media saya adalah satu-satunya penerbitan yang masih teguh dan konsisten memantau demokrasi kampus. Jika pemantau demokrasinya terancam tumbang, nasib demokrasi kampusnya lama-lama pun akan roboh.

Ini adalah cerita sedih hampir semua lembaga pers mahasiswa. Tragis. Sempoyongan. Menunggu ajal. Sebenarnya gampang sih solusinya: wartawan kampus yang ogah-ogahan seperti saya harus merubah budaya, dari malas-malasan jadi rajin, dari main-main jadi tenanan, dari asal-asalan jadi sedikit profesional lah. Semudah dan sesedarhana itu kok. Tetapi memang, merubah budaya adalah hal yang sangat sulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam