01/10/10

Srati Kebo Ijo Royo-royo

Syekh Malaya konon adalah orang yang suka dan karib dengan anak-anak. Di mana pun ia beristirahat saat mengelana, anak-anak selalu merubunginya. Syekh Malaya gemar mendongengi mereka, dan sering mengajari mereka menembang. Ia menyelipkan ajaran-ajaran Islam di dongeng dan tembangan itu. Caranya mendongeng membuat anak-anak makin nempel dengannya.

Tiap kali selesai mengajarkan sebuah tembang, anak-anak berlarian pulang ke rumahnya masing-masing. Di rumah mereka tetap menembang, dan para orang tua yang mendengar tembangan mereka bertanya-tanya: dari mana anak-anak mempelajari tembang yang rancak dan bernas itu?

Rasa penasaran rupanya menjadikan para orang tua mengikuti anak-anak mereka merubungi Syekh Malaya. Karena tembangan dan dongengannya bercita rasa seni tinggi, mengena di batin orang Jawa, para orang tua pun selanjutnya tertarik dengan apa yang diajarkan Syekh Malaya melalui karya seninya itu. Baik anak-anak, juga para orang tuanya, akhirnya menerima Islam dengan tangan terbuka.

Kelak barangkali Syekh Malaya menggubah dongengan-dongengan tersebut menjadi lakon-lakon pamungkas Wayang Purwa, dan tembangan-tembangan itu dijadikannya instrumen terandal untuk mempropagandakan Islam.

Syekh Malaya bukan tokoh yang asing bagi kita. Ia adalah Sunan Kalijaga, budayawan Tionghoa-Jawa yang mempromosikan Islam melalui sarana kebudayaan Jawa yang ada, tanpa merusak dan merombaktotalnya, apalagi membid’ah-bidh’ahkannya.

Seorang kawan, suatu kali bertanya sama saya: kenapa Sunan Kalijaga yang mumpuni dan beken banget itu, rela menyediakan waktu untuk berkumpul bersama anak-anak, mendongengi dan mengajarkan tembang-tembang pada mereka? Bukankah akan lebih menghemat waktu dan tenaga bila Sunan Kalijaga berkonsentrasi menerapkan strategi top-down saja, menggaet tokoh-tokoh politik dan budaya Jawa?

Saya kira, untuk mengetahui kenapa ia mengkaribi anak-anak, sebelumnya kita perlu terlebih dulu mereka ulang latar belakang sejarah era Sunan Kalijaga. Banyak literatur historis yang mendedahkan periode ini pada kita, tapi sebagian besarnya cenderung beraroma mistik dan dipenuhi fantasi-fantasi yang tidak rasional. Namun memang ada beberapa penelitian historis yang cukup bisa dipercaya secara ilmiah, misalnya kajian Slamet Moeljana dan Remy Sylado.

Slamet Moeljana sampai pada kesimpulan bahwa era Sunan Kalijaga adalah era transisi kekuasaan politik, dari kerajaan Majapahit-Jawa ke Demak-Tionghoa, yang diliputi kegamangan dan absurditas. Ada lagi cendekiawan lainnya yang mengatakan bahwa era Sunan Kalijaga adalah suatu era di mana masyarakat Jawa mengalami kerusakan moral yang hebat. Ronggowarsito menyebutnya kalabendu, sastrawan Jawa lainnya menamainya zaman edan atau zaman goro-goro.

Dikandakan ketika itu seluruh orde rusak, dunia terbolak-balik, pasak bumi lasak, mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam) tak selaras, bencana alam menghantui penduduk, korupsi bersimaharajalela, akhlak hancur. Para elite politik memanfaatkan kekuasannya untuk mengeksploitasi ekonomi rakyat. Guru perangainya seperti anjing, suka menjilat, menyalak, menggonggong, dan kencing berdiri, sudah tidak lagi patut diteladani. Hukum sekarat. Cendekiawan ke mana-mana mengakali orang kecil.

Kepercayaan penduduk terhadap kerajaan Majapahit luluh, dan legitimasi Majapahit (pulung) hilang. Agama konvensional Hindu-Buddha sudah ditunggangi politik, dan tafsirnya sudah dimencang-mencengkan.

Frustasi, keputusaasaan, dan pesimisme hinggap di jiwa penduduk, juga di jiwa orang-orang yang masih menjaga rasa kemanusiaannya. Kerajaan atau negara sudah tidak mungkin diharapkan menjadi ujung tombak stabilisasi sosial, perubah keaadaan, dan insititusi pembenah moral. Pemberontakan atau revolusi tidak akan dapat menyelasaikan permasalahan. Malah people power berpotensi besar dikendarai elite politik lama. Atau mereka akan men-drive orde hasil revolusi untuk kepentingan golongan masing-masing. Membenahi masyarakat dari atas, akan menjadi kesia-siaan ketika itu.

Sunan Kalijaga mungkin frustasi dan putus asa mengalami hal tersebut. Mungkin juga tidak. Tapi yang pasti, Sunan Kalijaga berhasil membuat strategi jitu mengatasi zaman goro-goro dengan tenang, damai, tanpa pertumpahan darah. Salah satu strateginya adalah reforma generasi, memutus rantai sejarah. Maka ia pun mulai menyediakan waktu mendidik dan mendongengi anak-anak kecil. Anak-anak kecil ini, tanduran yang ijo royo-royo, nantinya akan memperbaiki masyarakat. Mereka adalah kader-kader cilik (bocah angon) yang akan merevolusi keaadaan dan membenahi moral. Para elite tua tidak lagi bisa diharapkan.

Penglihatan futuristik Sunan Kalijaga terbukti benar. Sejarah dengan jujur mengakui keberhasilannya. Jawa selamat dari kehancuran total. Sunan Kalijaga sukses memindahkan legitimasi politik (pulung) dari Majapahit ke Demak.

Meski demikian, adalah kurang bijak melebih-lebihkan peran Sunan Kalijaga. Budayawan lain sezamannya pun memiliki peran yang sama pentingnya. Misalnya Sunan Ampel yang berinisiatif memodifikasi ashrama, institusi pendidikan Majapahit, menjadi pesantren. Sebagaimana Sunan Kalijaga, dengan pesantrennya Sunan Ampel juga hendak memutus rantai sejarah, mereforma generasi, dan tidak sekedar mempropagandakan dan menyebarkan Islam.

***

Entah bagaimana caranya, Romo Mangun agaknya mengikuti jejak pergerakan Sunan Kalijaga. Bisa jadi ini karena Romo Mangun mengalami frustasi yang sangat terhadap situasi zamannya, Orde Baru, yang bobrok tak keruan. Sandaran moralitas lapuk. Dan pencerahan bangkrut. Negara sudah tak lagi dapat diandalkan me-reform kekacauan masyarakat dan mengatasi degradasi kebudayaan—sebab negaranya pun tak berbudaya.
Saya tak tahu, apakah Romo Mangun pesimis terhadap revolusi atau tidak. Namun yang masih jelas saya ingat, ia pernah mewanti-wanti, jangan sampai para avan gardis revolusioner ketika mereka nanti memimpin malah menjadi penindas-penindas baru.

Romo Mangun pasti khawatir. Situasi kebudayaan Indonesia, yang rusak terlalu parah, akan menyeret para avan gardis revolusioner itu ke situasi dilematis. Di belakang mereka diburu oleh idealisme pra-revolusi, namun di depan mereka dihadapkan kelezatan pragmatis, kenikmatan opurtunisme, hipokrisi, dan advonturisme (siapa tak tergoda dengan harta dan tahta? Atau masihkah seorang idealis mempertahankan merahnya ketika orang-orang disekitarnya mengabu-abu? Merah yang sendirian akan tergilas mayoritas abu-abu, bukankah demikian hukumnya?).

Dalam situasi kebudayaan seperti itu, apa yang dilakukan Romo Mangun? Persis Sunan Kalijaga, ia memalingkan matanya ke anak-anak, kelompok sosial yang belum tercemar virus kebudayaan korup. Ia memutuskan memutus rantai sejarah, mereforma genarasi. Romo Mangun lalu mendirikan SD Mangunan, pilot project pendidikan alternatif. Siswa-siswa yang dididik di SD ini nanti yang akan membenahi masyarakat, membenarkan kekeliruan moral, dan mensuscikan kebudayaan. Inilah visi revolusi kebudayaan Romo Mangun.

***

Zaman Sunan Kalijaga telah berabad lewat. Era Romo Mangun sudah puluhan tahun berlalu. Tapi zaman bukan kian terang, malah tambah edan. Zaman goro-goro, dengan seluruh watak kurawanya, tampaknya masih akan lama lagi hadir di negeri ini. Saya menduga, bila Romo Mangun masih hidup di zaman ini, ia akan benar-benar pesimis, lebih pesimis ketika ia menghadapi situasi zamannya.

Lalu, whats to be done? Potong sejarahnya, celetuk kawanku berbulan-bulan lalu. Selamatkan anak-anak SMA sebelum mereka terinfeksi virus kebudayaan korup. Hanya mereka yang masih cukup suci untuk dipertahankan.

Kawanku benar, potong sejarahnya, putus rantai historisnya, reforma generasi. Tidak hanya anak-anak SMA, tapi juga pelajar SMP dan SD perlu diselamatkan. Pada mereka kita bersandar. Mereka nanti yang akan membenahi keadaan. Mahasiswa sudah terinfeksi, juga barangkali kita, tanpa kita sadari sedikit pun. Ilir-ilir, ilir-ilir tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Bocah angon, bocah angon, penekno blimbing kui, lunyu-lunyu penekno kanggo sebo mengko sore. (bukankah muhammad, sosok tersukses dalam menggalakkan revolusi, juga condong pada anak-anak seperti Ali dan Zaid?)

Ya rosulallah ji’na lizziyaroh qosidina
Nartaji minkasy syafa’ah li jami’i hadirina
Kun ma’i ya rosulallah
Kun ma’i ya habiballah
Kun ma’i ya abaz zahroh
Kun ma’i ya jaddal husaini
Kun ma’i ya abal yatimi
Kun ma’i ya abal qosimi
Kun ma’i ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam