28/01/11

saintisme, masjid, esbeye

Tetapi agama dan negara pernah berjalan beriring di Indonesia. Tidak seperti di Eropa. Juga tidak macam di Jerman. Di sini akal budi tidak selalu menjadi musuh bagi gereja. Raden Patah, Pati Unus, dan Iskandar Muda bukan murid-murid Bismarck. Mereka adalah raja yang taat dalam beragama sekaligus patuh terhadap hukum. Rakyat, dan juga raja, melihat agama dan negara sebagai kesatuan. Bagi mereka, absurd membayangkan negara tanpa agama, atau agama tanpa negara.

Penjajahan Belanda merubah segalanya. Belanda, terutama ketika etische politiek direalisir, mengajarkan kepada para anak ningrat bahwa agama dan negara harus dipisah, dibelah, dipecah, diberi batas yang jelas dan tegas, claire et distincte.

Lalu agama dipermiskin dan dibuang di tempat terpencil. Agama menyepi dalam gua-gua batin tiap pribadi. Pembunuhan sistematik dan penghapusan berencana atas kesalahen sosial terjadi dari hari ke hari.

Kemudian, agama hanya hadir pada khutbah jum’at dan takbir idain. Masjid secara berangsur-angsur menjauh dari istana negara, gedung DPR, pasar, markas tentara, sekolah, dan alun-alun, dan panti asuhan, dan panti jompo, dan kolong jembatan.


Bila seorang telah memakai peci yang rapi, baju koko yang putih, sarung yang bersih, telah berjenggot, menggenggam tasbih, memakai sorban, menyelempangkan sajadah, dan mengerik-ngerik kotoran gigi dengan siwak, secara otomatis dan instan ia memperoleh gelar beriman. Dan masyarakat tak lagi ambil peduli terhadap tingkah sosial si alim tadi. Masyarakat menutup mata atas korupsinya, kediktatorannya, dan kecabulannya.

Belanda, yang berabad-abad telah membudakkan orang Indonesia, toh tak mungkin disalahkan. Sebab jauh sebelum etische politik berlangsung, pada abad ke-18, seorang kristen taat, Immanuel Kant, mencoba menarik garis potong antara negara dan agama. Kant mencuri akal budi dari pangkuan agama, dan memancangkannya sebagai tiang negara. Sekularisasi ini kemudian diberinama transendentalisme. Transendentalisme kini disebut juga saintisme.

Orang-orang menyambut hangat kerja intelektual Kant. Sebab mereka sudah tak tahan lagi hidup di bawah kekejaman raja, yang kongkalikong dengan pendeta, memeras dan menghabisi rakyatnya sendiri. Sejak itu transendatalisme Kant menjadi epistemologi resmi Eropa. Belanda pun tak ketinggalan mempelajari dan menganut epistemologi ini. Dan pada masa etische politiek, yang bermula pada 1901, Belanda mengekspor epistemologi ini ke hindia-belanda.

Hindia-Belanda rupanya adalah lahan subur bagi saintisme. Memang pada awal abad ke-20, demam modernitas tengah melanda tanah surga itu. Di sana-sini terdengar teriakan komunis, progresif, modern, organisasi, drama, roman, koran, propaganda, agitasi, koperasi, demokrasi, revolusi, dan tak lupa: negara-bangsa.

Para muda-mudi, yang mengenyam pendidikan liberal, merasa amat malu jika masih berungguh-inggih atau beralif-ba-ta. Agar percaya diri, mereka perlu meniru Belanda dalam gaya berbicara, gaya pakaian, gaya kerja, gaya makan, gaya tidur, sampai gaya kencing, berak, dan bercinta. Mengikuti organisasi pergerakan yang modern adalah kebanggaan tersendiri bagi mereka, apalagi bila dapat menduduki jabatan penting, semacam ketua atau propagandis atau redaktur koran terbitan organisasi.

Perjuangan kemerdekaan pun terpisah dari perjuangan keagamaan. Pertengkaran antara Semaoen dan Tjokroaminoto, dalam kongres-kongres Sarekat Islam sejak 1917, menandai keterpisahan itu. perceraian agama dan negara semakin tajam ketika Sultan Takdir Alisjahbana, Sang Pujangga itu, mencuatkan polemik kebudayaan. Ia mati-matian mendukung modernitas, artinya ia habis-habisan mendukung saintisme. Saking hebatnya perceraian agama dan negara ketika itu, sampai-sampai Tan Malaka, penghafal Qur’an yang kagum pada Engels, kesulitan menemukan koneksi epistemik yang dapat menghubungkan keduanya.

Dengan terbukanya alam kemerdekaan, dan berdirinya republik Indonesia, hubungan antara agama dan negara kian pudar. Dalam berpolitik, orang harus memilih antara agama atau negara, antara islamisme atau nasionalisme, seolah-olah yang muslim sudah pasti bukan nasionalis, dan yang nasionalis mana mungkin muslim. Dan saintisme dikotomik ini, bisa jadi adalah akar bagi perbenturan dan pertikaian politik antara PNI dan Masyumi pada era demokrasi parlementer.

Demikianlah, saintisme telah menetak tali sambung antara agama dan negara. Kepala negara pun tak wajib alim, bermoral, dan relijius. Saintisme telah mengajarkan pada kita, bahwa seorang kepala negara boleh korupsi, maling, membunuh, mengutil, mencoleng, dan cabul dan dusta; ia boleh meninggalkan moral di sudut-sudut masjid. Dan olehnya, setelah beribadah, tuhan dititip di masjid. Sang kepala negara memenjarakan tuhan di masjid.

Tetapi, bukankah agama dan negara pernah berjalan beriring di Indonesia? Tampaknya, kepala negara kita (aduh siapa namanya? aku lupa!) perlu belajar pada raden patah, pati unus, atau iskandar muda, tidak untuk memakaikan jilbab Islam pada politik Indonesia, tetapi untuk sedikit lebih bermoral. Cukup sedikit saja (jika kelebihan dosis malah jadi modal budaya mencitrakan diri lagi!).



Dan kita terjebak dalam dilema. Represi dan resistensi yang melintas-lintas hampir di tiap periode sejarah Indonesia akan dapat diminimalisir melalui demokrasi, dalam maknanya yang paling esensial dan paling luas. Dengan lain perkataan, demokrasi adalah satu-satunya instrumen resolusi konflik yang masih mungkin manjur. Sebab, agama, karena tersebar suburnya epistemologi saintisme di Indonesia, telah terpenjara dalam gereja, sinagog, klenteng, vihara, kuil, candi, masjid. Agama sudah sulit memediasi pihak represor dan resistentor.

Tetapi represi dan resistensi tersebut justru menyulitkan demokrasi bernafas. Lebih-lebih, ada beberapa orang, yang mengklaim dirinya demokratis, namun alergi terhadap demokrasi. Klaim mereka mengakibatkan deformasi makna demokrasi. Demokrasi berhenti sebagai pemilu belaka, demokrasi selesai di konstitusi.

Dan kita terjebak dalam dilema. Apalagi ketika nanti, entah kapan, karena frustasi ekonomi, muncul sekelompok pemuda yang tak lagi yakin pada demokrasi, dan mereka membuat gerakan anarkis. Pada saat itu, nasib demokrasi tidak akan lebih baik daripada agama. Demokrasi terpasung dalam patung garuda, terserap tinta UUD 1945, terantai jakarta charter.

Dan kita terjebak dalam malam. Semoga tidak. Namun apa lagi selain agama dan demokrasi yang kompeten memimpin gerak politik indonesia? Mungkin demokrasi atau agama yang lahir dengan nama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam