28/01/11

Sosiologi, Demokrasi, Puisi

Demokrasi juga melekat pada darah dan daging orang per orang, bukan semata-mata menempel pada dan diproduksi oleh sistem atau struktur. Sosiologi struktural, dengan berbagai alirannya, termasuk fungsionalisme yang diajarkan di kampus-kampus dan kerap dipakai untuk merekayasa masyarakat Indonesia, sering tidak mengakui faktisitas ini.

Sebab itu, kita melihat demokrasi sebagai melulu sistem, dan bukan terutama sebagai perilaku atau sikap mental. Jadi lahir pandangan: Indonesia sudah demokratis, karena sudah menerapkan sistem demokrasi; individu baik yang berperan sebagai aktor maupun spektator dalam kancah politik, tak perlu lagi mengenakan demokrasi; toh yang feudal jika hidup dalam sistem yang demokratis akan belajar berdemokrasi juga, akan sedikit demi sedikit dapat bersikap nuchter. (nyatanya kan tidak!)

Memang dirasakan bahwa subjektivisme sosiologi juga tidak mampu melihat secara utuh dan makroskopik apa yang sedang bergerak, apa yang akan terjadi, dan kenapa suatu fenomena muncul (bukankah saat ini ‘yang utuh’ sudah ketinggalan jaman?). Tetapi subjektivisme sosiologi bisa jadi merupakan obat mujarab menyembuhkan patos yang sedang menggerogoti kesehatan politik dan budaya kita, atau setidaknya dapat mendiagnosa virus politik apa yang sedang memarasit di tubuh kita. Setidaknya subjektivisme sosiologi berkompeten membedah aksi simsalabim dan kucing-kucingan dewa-dewa politik Indonesia. Setidaknya subjektivisme sosiologi bisa menambal celah bolong pendidikan politik yang belum dijamah sosiologi berhaluan sistem. Setidaknya subjektivisme sosiologi melebihjujurkan kita, menyuburkan kelahiran sikap puitik. Setidaknya, ... setidaknya, ... setidaknya, ... seandainya! (???)

“Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang seperti buah durian yang jatuh karena sudah matang.” (Romo Mangun, dalam Burung-burung Manyar, hal. 89). Tentu, untuk ukuran Indonesia, sosiologi berhaluan sistem bukan alat pendidikan politik yang cukup kuat dan sakti melaksanakan tugas ini. Romo Mangun sendiri sampai pada kesimpulan demikian, selain karena pembacaan yang dalam atas teks-teks Sutan Syahrir, juga karena kepakaran fenomenologisnya yang tak terbantah. Dan kita tahu, fenomenologi menghargai, mengakui, dan merasai nasib dan perilaku orang per orang.

Negeriku

~Iwan Fals~

Bersih-bersih-bersih
Bersihlah negeriku
Malu-malu-malu
Malulah hati

Kotornya teramat, kawan
Ya kotornya sangat
Inilah amanah
Yang menjadi keramat

Bersih-bersih-bersih
Bersihlah diri
Sebelum menyapu
sampah dan debu-debu

nyanyian berkarat
sampai ke liang lahat
atas nama rakyat
yang berwajah pucat

reff:
negeriku, negeri para penipu
terkenal ke segala penjuru
tentu saja bagi yang tak tahu malu
inilah sorga, sorganya sorga

negeriku... ngeriku...


busuk-busuk-busuk
busuk bangkai tikus
yang mati karena
dihakimi rakyat

adakah akhirat
menerima dirinya
adakah di sana
ia masih bisa bercanda dengan rakus

wisma tan panama, 24 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam