08/01/11

Pengingkaran Terhadap Pribadi

Muhammad Iqbal, Budayawan Pakistan

Pernahkah kau dengar kisah kehidupan dahulu kala
Di mana sekawanan kambing hidup bebas di padang terbuka
Berkembang biak dengan leluasa dan tenaga mereka luar biasa
Hingga mereka berani menghadapi hewan pemangsa
Namun, karena perkembangan zaman semakin buruk
Panah bencana menancap di dada mereka
Dan dari hutan belantara harimau datang memburu
Memangsa mereka semua.
Merebut serta menjajah adalah simbol kekuasaan
Kejayaan wujud dari kekuatan
Harimau yang dahsyat itu menabuh genderang kemenangan
Mereka rebut kemerdekaan sang kambing.
Karena harimau harus mendapatkan makanan
Maka padang luas itu banjir oleh darah kambing.
Tapi, seekor kambing tua
Licik, penuh tipu daya seperti srigala
Dia amat sedih menyaksikan nasib kawan-kawannya
Kambing tua itu marah atas kebiadaban sang harimau
Namun dia pasrahkan keluh-kesahnya di jalan takdir
Dan bertekad untuk memperbaiki nasib kaumnya.
Dan, hai, manusia yang lemah, lindungi dirimu
Gunakan akal budi
Biar terjerat penderitaan, asalkan lolos dari bencana kebiadaban
Badai pasti berlalu
Tapi apabila diperdaya dengan kesumat
Kekacauan besar yang dipikirkan.
“Sangat menderita nasib kita,” keluh kambing pada dirinya,
“Samudera penderitaan tak berpantai tak bertepi.”
Dengan kekuatan semata tak mungkin kita lepas dari bala
Itu tak mungkin, betapapun kita bersepakat
Mengubah kambing berjiwa harimau
Mengubah harimau berjiwa kambing—betapapun itu mustahil
Bagaimana membuat sesuatu lupa akan fitrahnya? Mustahil!
Maka kambing itu menjelma seperti nabi yang mendapatkan ilham
Dia berseru kepada kawanan harimau:
“Wahai kaum pendusta yang durjana
Yang tak perduli akan hari bencana
Yang berulang-ulang mendera dunia ini!
Aku memperoleh kekuatan ruhani
Akulah utusan Tuhan untuk kaum harimau
Aku datang bagai mata buta
Aku datang membawa imbauan
Bertobatlah wahai engkau dari segala laku tercela
Hai, kaum pendosa. Kembalilah kalian ke jalan yang bercahaya
Kita semua—tak terkecuali—pasti mengalami bencana:
Keteguhan hidup duniawi tergantung bagaimana kita menahan diri
Ruh orang saleh gemar akan makanan sederhana
Makan sayur-mayur membuka jalan menuju Tuhan
Gigi yang tajam mengundang bencana
Akan butalah mata hatimu.
Taman firdaus diperuntukkan bagi orang-orang yang lembut
Kekuatan tenaga akan menciptakan malapetaka
Berdoalah mereka yang mengagungkan berhala kebendaan
Kemiskinan lebih manis dari segala harta duniawi
Kilat dan petir tak membakar bibit gandum
Tapi jika bibit menjadi tumpukan gandum itu keliru.
Jika kau bijak, jadilah sebutir pasir, bukan gurun sahara
Agar kau rasakan nikmat cahaya matahari
Wahai kau yang menikmati penyembelihan kambing
Coba kau bunuh dirimu sendiri, niscaya akan kau rauh martabat tertinggi
Hidup gelisah oleh penindasan, kekerasan, dendam kesumat dan kekuasaan.
Kendati selalu terinjak, rumput tak pernah punah
Dan berkali diusapnya kantuk maut dari mata.
Jika kau bijaksana, ayo, lupakan dirimu
Kalau tak sanggup kau menahan diri, kau orang yang gila
Redam panca-indramu
Agar cintamu mencapai langit
Dunia tak abadi
Hai si bodoh, jangan siksa dirimu dengan impian kosong!”
Kawanan harimau itu telah teramat lelah dengan perjuangannya
Kini mereka puas mereguk pesta pora.
Petuah sang kambing begitu nikmat bagi mereka
Lalu mereka resapi pesona kambing dengan hikmat
Mereka ikuti ajaran agama sang kambing
Mereka pun kini gemar makan makanan sederhana
Watak keharimauan mereka hapus sudah
Makanan yang sederhana menumpulkan gigi mereka
Berangsur pupus pula kebaranian dari dada mereka
Kaum harimau jadi lemah dan apatis
Sirna sudah kedaulatan dan keteguhan tekad bangsa merdeka
Tak ada lagi kejayaan
Kaki mereka yang setegar baja kini tak berarti sama sekali
Jasad mereka tinggallah kubut kenangan bagi kematian jiwa
Tak ada lagi kekuatan jasmani, kini tinggal takut dan cemas menebal
Dalam jiwa yang goyah, keberanian pun mati
Tak kuasa lagi menyebar penyakit dan bencana—
Miskin, waswas dan rendah amal kebajikan.
Harimau perkasa puas lena akan pesona filsafat kambing
Dinamainya kemerosotan era ini dengan: Kebudayaan Peradaban.

Syair fabelis ini diambil dari “Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam”, hal. 258-261. Ali Audah, Taufiq Ismail dan Gunawan Muhammad menerjemahkannya dari “The Recognition of Thought in Islam”, kompilasi dua karyagung Muhammad Iqbal: “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” dan” Asrar-I-Khudi”. Kita dapat membaca syair ini sebagai kritik atas imperialisme barat dan pembangkitan semangat Pan-Islamisme India. Kita pun bisa membaca syair ini sebagai kritik atas konsep fana (pengingkaran diri) dalam filsafat Hindu, dan dalam sufisme India yang berkembang sebelum dan ketika Iqbal hidup. Atau kita juga dapat membacanya secara dekonstruktif atau psikoanalitik. Pokoknya, selamat baca aja deh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam