05/01/11

Manusia, Derita, dan Harapan


It’s the heart afraid of breaking
That never learns to dance
It’s dream afraid of waking
That never takes the chance
(Westlife, The Rose)


Manusia, kata Viktor Frankl, adalah homo patient, makhluk yang (tahan) menderita. Pendaritaan, entah mengapa, bagai sahabat karib bagi manusia. Di mana manusia bernapas, di sana ada penderitaan. Namun, seberat apapun penderitaan yang dihadapi, toh manusia masih memelihara harapan, walau selubang jarum.

Karena penderitaan, banyak manusia putus-asa. Tetapi banyak pula yang sabar dan tekun merawat harapan. Mereka percaya, malam akan sirna, dan fajar akan bersinar.

Sahabat penderitaan
Mbok Tukinem contohnya. Sejak sebelas tahun, ia buta. Mulanya Mbok Tukinem menangisi kebutaanya ini. Untunglah, itu tak lama. Segera ia bangkit, memupuk harapan, dan memulihkan semangat hidupnya kembali. Bahkan kebutaan Mbok Tukinem tak mengahalanginya membantu ibunya jualan gerabah keliling Yogyakarta-Magelang-Semarang.

Walau buta, Mbok Tukinem tidak keder dan minder untuk mencari pasangan. Dengan Suwitoutomo, jejaka buta, ia menikah pada usia 20. Pasangan buta ini lalu menjalani hidupnya tidak dengan berkeluh-kesah dan berputus-asa, melainkan dengan ketabahan dan kegigihan luar biasa.

Di luar dugaan, penderitaan anyar datang menyambangi Mbok Tukinem dan Suwitoutomo. Suratinah, anak semata wayang mereka, meninggal. Berikutnya, Suwitoutomo kena tumor ganas. Tiap malam ia merintih dan mengerang. Dengan sabar Mbok Tukinem menemani dan mengurus suaminya. Dengan sabar pula, sendirian ia mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan. Sampai suatu waktu, melalui SKH Kompas, beberapa orang menyantuni Mbok Tukinem sekeluarga. Dan R.S. Panti Rapih Yogyakarta menggratiskan biaya perawatan, pengobatan, dan operasi Suwitoutomo. (hlm. 3-15)

Sahabat para penderita
Kisah Mbok Tukinem menunjukkan, di mana ada manusia yang menderita, di sana ada pahlawan yang tulus membantu mereka. Dalam sejarah, banyak nama yang pantas kita sebut sebagai pahlawan para penderita, di antaranya Johanna Patronella Mossel, Dick Hartoko, Mother Theresa, Lady Diana, dan Federico Garcia Lorca.

Siapa sangka, wanita indo ini, Johanna Patronella Mossel adalah istri kedua Douwes Dekker, pendiri Indische Partij (IP), partai nasionalis pertama di Indonesia. Seakan tak mau kalah dengan suaminya, Johanna pun memiliki semangat nasionalisme tinggi. Riwayat hidup Johanna adalah tarikh pengabdian pada mereka yang menderita, miskin, dan terpinggirkan. Sedemikian tulus pertolongannya sampai-sampai ia tak butuh promosi diri berlebihan seperti para politisi kita saat ini. Wajar bila sedikit saja pelayat datang di upacara pemakamannya. “Kita masih harus... melanjutkan perjuangan almarhumah,” kata Dick Hartoko sesaat sebelum upacara pemakaman berakhir. (hlm. 47-54)

Dick Hartoko, budayawan-filusuf pengasuh Majalah Basis, memang kenal dekat dengan Johanna. Apa yang membuat mereka dekat? Barangkali, jati diri keindoan dan semangat pengabdian pada orang-orang yang menderita. Dick Hartoko menolong para penderita lebih melalui tulisan-tulisannya dalam Tanda-Tanda Zaman, rubrik editorial Majalah Basis. Dick menulis dengan tajam, dalam, eksistensial, dan profetis. Siapa pun yang membaca tulisan-tulisannya, hati nuraninya akan bangun, altruismenya akan meningkat. Tetapi, sebagaimana manusia umumnya, sahabat para penderita ini menjumpai puncak penderitaan: kematian, pada Sabtu, 1 September 2001, di usia ke-79. (hlm. 153-157)

Di tempat dan waktu lain, kematian juga mengunjungi Mother Theresa dan Lady Diana, dua sosok perempuan yang rela merundukkan egonya. Keduanya tercatat sebagai pelayan para penderita.

Orang-orang miskin Calcutta tentu sangat berterimakasih pada Mother Theresa. Dengan sabar, ia menghibur, meniupkan ruh kehidupan dan angin harapan pada mereka. Mother Theresa menyemai cinta di tanah Calcutta. “Saya ingin membantu siapa pun untuk menunjukkan cinta kepada sesama. Jika mereka membantu saya, mereka membantu yang miskin,” kata Mother Therasa suatu kali. (hlm. 114-120)

Dalam soal pengabdian, Lady Diana memang belum mampu menyamai Mother Theresa. Namun, meninggalkan gemerlap dan glamoritas istana bukan perkara gampang. Bahkan, sebelum meninggal, Lady Diana menghibahkan sebagian besar kekayaannya pada mereka yang membutuhkan. Dan ini membuat Lady Diana pantas disebut sebagai sahabat para penderita.

Tapi ironisnya, ia juga wanita menderita. Suaminya, James Hewitt, mengkhianatinya. Hewitt menjalin cinta-gelap bersama wanita lain. Mengetahuinya, sontak Lady Diana panik, marah, cemburu. Ia percantik dirinya dengan pakaian serbamewah agar Hewitt, sang pangeran, kembali ke palukannya.

Ah, usahanya gagal. Lady Diana merenung dalam. Ia sadar, kebahagiaan datang tidak hanya dari pakaian mewah atau bermesra bersama seorang pria. Kebahagiaan juga didapat ketika membantu orang lain yang mengalami kesusahan dan penderitaan. Kebahagiaan menghampiri orang yang dapat menundukkan egonya. (hlm. 121-126)

Demikianlah, perjalanan hidup Lady Diana layak jadi dongeng sebelum tidur bagi anak-cucu kita. Hidup sang Lady setragis dan seberisi hidup Mariana, tokoh utama Mariana Pineda (1927), sebuah drama garapan penyair-dramawan Spanyol, Federico Garcia Lorca.

Mariana Pineda adalah wanita malang yang hidup bergelimang derita. Fortuna tak berpihak padanya. Namun segala penderitaan ternyata tak dapat mengalahkan harapan dan semangat Mariana. Sampai mati, dengan sayap cinta dan kebebasan, ia kukuh terbang melewati badai kehidupan.

Karakter Mariana tentu merupakan sebagian karakter pribadi Federico Garcia Lorca. Meski dihajar derita dan diintai Franco, musuh politiknya, Lorca tetap di mana-mana menyuarakan kebebasan, cinta, keadilan, harapan, dan kehidupan melalui syair dan drama-dramanya. Dengan “Istri Tukang Sepatu”, drama populisnya, Lorca menularkan kebebasan, harapan, dan cinta pada rakyat Spanyol. Dan Lorca pun begitu disanjung sebagai sahabat para penderita. Di Spanyol, namanya jadi simbol demokrasi, keadilan, persaudaraan, dan kebebasan.

Bagi Lorca, tangis dan penderitaan mampu menyingkap eksistensi manusia. “Tangis,” tulis Lorca “adalah kesempurnaan para malaikat//irama bunyi dari musik, dari biola.” Kematian, sebagai klimaks penderitaan, juga mampu mengungkap rahasia eksistensi manusia. Kematian tak harus menjadikan manusia pesimistis dan kehilangan daya hidup. Sebaliknya, kematian mendorong pada optimisme dan semangat juang. Kematian mengkudakan manusia, memburunglayang-layangkannya, lalu melebahkannya. Ada madu di balik kematian. Ada manis di balik pahit derita. (hlm. 158-166)

Air Penghidupan
Selain kisah Mbok Tukinem, Johanna, Dick Hartoko, Mother Theresa, Lady Diana, dan Lorca, masih banyak lagi kisah inspiratif yang dihimpun dalam buku Sindhunata ini, Segelas Beras untuk Berdua.

Ada kisah Pak Gacuk, yang spiritnya tak mati meski mesti berteman dengan kemiskinan (hlm. 19-22). Ada Bruder Reso alias Bagio, yang di tengah-tengah keterbatasan ekonomi, tak kehilangan kreativitas dan kegembiraan (hlm. 55-59). Ada Pak Dadi, yang cacat badannya, namun bersemangat menggembalakan kambing-kambing gemuknya, dan tetap mampu menyekolahkan dua anaknya (hlm. 60-64). Ada Mulyo Prawiro, yang meski miskin tetapi menolak menjadi pengemis lagi (hlm. 75-80). Ada Mbah Lagiyem, yang di usia senjanya terus bekerja membuat gerabah hingga jumlah ribuan (hlm. 99-103). Juga ada Leo Kristi, penyanyi yang tak bosan-bosan menebar harapan pada khalayak lewat lagu-lagunya (hlm. 173-179). Dan lain sebagainya.

Kendati berbeda, mereka memiliki satu kesamaan: sabar dan pasrah tetapi pantang surut menapak dan melawan ganas kehidupan. Saya menangkap, melalui buku ini, Sindhunata sedang berupaya menyebarluaskan semangat, kesabaran, kepasrahan, ketangguhan, dan kepantangmenyerahan mereka pada khalayak ramai. Sindhunata tengah memberi air penghidupan pada khalayak, pada orang-orang yang terjepit derita.

Figur Humanis
Segelas Beras untuk Berdua adalah kumpulan 36 feature humanis Sindhunata yang terbit di SKH Kompas dari 1978-2005. Sepanjang perjalanan kepenulisannya, Sindhunata telah menerbitkan ratusan feature yang terutama dimuat di SKH Kompas dan Majalah Basis. Feturenya yang lain bisa dibaca di Petruk Jadi Guru, Dari Pulau Buru ke Venesia, Burung-burung di Bundaran HI, Ekonomi Kerbau Bingung, Cikar Bobrok, dan Bayang-bayang Ratu Adil.

Kiranya, isi buku-buku tersebut dapat diringkas hanya dengan satu kata: “humanis”. Ya, “humanis” adalah benang merah perangkai seluruh feature Sindhunata, sastrawan yang kini mengasuh Majalah Basis, menggantikan Dick Hartoko.

Ia seperti Dick Hartoko, lewat tulisan menyebar bibit kemanusiaan. Ia juga seperti Mother Theresa, berdekat-dekat dengan mereka yang menderita, pada mereka menghembuskan harapan dan membisikkan cinta. Ia seperti Lorca, menulis syair untuk membangkitkan kebebasan, cinta, dan harapan khalayak. Sindhunata tepat disebut sebagai figur humanis, sahabat para penderita. Dan sehabis membaca Segelas Beras untuk Berdua, oleh Sindhunata kita diberi segelas air penghidupan, pun dirayu jadi seorang humanis.



Judul: Segelas Beras Untuk Berdua
Penulis : Sindhunata
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2006, cet. I
Halaman : xii + 188

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam