15/01/11

Kejatuhan Kedua

Bumi pernah terperosok pada kemerosotan total, suatu era yang gelap dan pengap. Orang-orang pesimistis. Wajah-wajah membisu, suram, pucat, pias. Itulah era ketika dua perang dunia meminta tumbal. Tak ada tempat persembunyian yang cukup aman, tak mungkin melarikan diri, sukar menghirup udara segar dengan bebas. Era yang mempatahasakan Spengler ini, hanya melahirkan: si gila atau si pahlawan, si lapar atau si predator, si robot atau si srigala.

Lalu Camus menganggap era itu sebagai zaman yang absurd. Penderitaan mengepung manusia. Derajat manusia turun tinggal sebatas animal, angka, atau benda. Manusia, simpul Adorno dan Horkheimer dalam Dialektik der Aufklarung, tersesat dalam labirin yang ia cipta sendiri, dan tak bisa keluar dari sana.

Pemusnahan jutaan manusia begitu gampang dilakukan. Seoalah tak ada bedanya antara membunuh manusia dengan membunuh nyamuk. Seakan tiada berbeda antara menghapus nyawa manusia dengan menghapus angka yang tertulis di atas kertas. Menarik pelatuk sama rasanya dengan menarik layangan.

Di tiap peperangan, perlawanan, dan pemberontakan, ratusan, ribuan, puluhan ribu manusia tewas, dengan berbagai alasan; sebagian besar alasan itu tentu konyol belaka. Di setiap kemp konsentrasi, ghetto, dan kamar gas, baik yang dimiliki Uni Soviet ataupun Nazi, saban hari terjadi secara rutin dan regulatif pembakaran dan peracunan puluhan ribu manusia. Program romusha Dai Nippon menggiring lebih dari 700 ribu penduduk Indonesia menuju kematiannya, setelah mengalami penyiksaan dan kelaparan dahsyat. Dan Amerika membomatom Hiroshima-Nagasaki. Puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu manusia, menutup hayat.

Dua perang dunia benar-benar tak masuk akal bagi kita. Pada saat itu, kejahatan, kata Arendt dalam The Banality of Evil, telah sedemikian banal, sehari-hari, biasa saja. Justru ketika orang tak bertindak jahat, ia merasa telah melanggar hukum, dan makar serta mungkir dari negara.

Untung saja era itu tak berlangsung terlalu lama. Kemerdekaan negara-negara selatan menjadi batas berakhirnya perang dunia. Meski demikian, luka sejarah yang tumbuh sejak era itu tidak dengan mudah sembuh. Dendam tersimpan, berbiak, dan suatu saat akan meledak, entah siapa bakal jadi korban, entah siapa lagi akan menjadi kambing hitam. Namun, pasti orang sama berharap: semoga era itu tidak akan terulang lagi.

Boleh jadi perang dunia tidak terulang kembali. Tetapi peristiwa yang lebih gawat dan pekat sangat mungkin terjadi. Ambruknya kapitalisme, sistem penopang bangunan ekonomi amerika, menyebabkan inflasi meroket, kemiskinan menjalar cepat, pengangguran membanjir. Revolusi industri, yang telah jalan lebih dari tiga abad, kini mengancam peradaban. Iklim tak lagi bisa diprediksi. Bencana alam datang silih-berganti, tak kenal tempat, tak kenal waktu. Singkat cerita, kita sedang mengalami krisis total, unversal, global.

Amerika sempoyongan, Eropa sekarat. Yang tersisa kini hanya Cina, India, dan Asia Tenggara. Indonesia sebagai pimpinan Asia Tenggara memikul beban berat. Sebagaimana Cina dan India, ia harus secepatnya mengambil alih kemudi peradaban. Sementara itu, Indonesia sendiri tidak sedang berdiri tegak, bahkan memerlukan bantuan negara lain untuk sekedar mengangkat badan, atau mentas dari kubangan bencana alam dan bencana politik.

Apa artinya? Mungkin ini awal bagi kejatuhan peradaban, setelah dua perang dunia. Dalam kondisi mahasuram-mahaseram ini, apa tugas penyair, apa tugas mahasiswa, apa tugas intelektual, apa tugas rohaniawan? Adakah diksi, diktat, dan kabar dari juru selamat, bakal menunda kiamat? Muhammad, aku, si pendosa ini, si munafik ini, si kafir ini, merindukanmu, merindukanmu, merindukanmu.


Wisma tan panama, 13 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon hanya memberi komentar berupa kritik yang membangun. dimohon pula untuk memberi komentar yang tidak melecehkan nama baik pihak tertentu. salam